Postingan

Karena Semua Tak Lagi Sama

Momen mudik lebaran adalah hal yang paling kutunggu. Ke tempat nenek, bertemu sepupu, setengah atau satu jam pertama masih malu-malu, tapi setelahnya berangsur akrab. Lalu main, tidur, belanja, bahkan mandi bareng mereka.  Tapi itu dulu.  Setelah aku dan sepupu-sepupu tumbuh dewasa, kami malu-malunya tidak hanya di setengah atau satu jam pertama, tapi seminggu full .   Entah kenapa, semakin bertambah umur, rasanya semakin kikuk bertemu saudara sendiri. Meskipun pemikir, waktu kecil aku bisa bersenda-gurau dengan saudaraku. Tapi saat dewasa, jangankan bersenda-gurau, menyapa sepatah kata saja rasanya malu, segan, dan takut salah.  Pun juga saudaraku, sebenarnya periang, tapi entau kenapa, saat dewasa, mereka jadi introvert . Mungkin mereka pun juga merasakan awkward padaku, segan kalau mau menyapaku.  Jadilah kami saling diam. Kenal, tapi seperti tak kenal.  Kami tak pernah berdebat apalagi bermusuhan. Kami juga tak pernah mem- bully satu sama lain. Kami baik-baik saja. Tapi entah ken

Capek

Beberapa tahun belakangan, aku menjadi manusia yang punya mentalitas pendebat, semua-muanya pengin aku debatin. Semua omongan dan point of view orang lain aku anggap sebagai hal yang berlawanan denganku. Padahal belum tentu. Padahal orang lain belum tentu bermaksud demikian.  Aku sibuk mengoreksi pemikiran orang lain yang aku anggap salah. Aku sibuk membentur-benturkan dua kubu.  Sebagai contoh, ketika si A sedang membicarakan keburukan si B, aku langsung mendebat si A, "Jangan gitu, emang salah ya kalau si B blablabla, gak ada yang salah, tauk! " Atau, ketika ada berita viral di Instagram, aku scroll satu per satu komentar netizen yang puanjang-puanjang dan bersahut-sahutan itu, selalu ada dua kubu ekstrim dan terkesan hitam putih banget,  padahal belum tentu beneran begitu.  Lama-lama aku ngerasa capek. Dahlah, ketika ada hal yang gak aku setujui dari point of view orang lain, aku mending diam aja, gak mau mikirin dan memperdebatkannya lagi. 

Kecerdasan Emosi

Bisa dibilang, aku adalah orang yang kecerdasan emosinya rendah. Aku kurang bisa mengontrol emosi. Tidak hanya emosi marah, tetapi juga emosi sedih, sebal, kecewa, takut, dan lain sebagainya.  Aku sering tidak bisa mengontrol emosi di depan banyak orang. Misalnya, aku bisa marah-marah di depan orang lain, secara membabi buta. Atau, aku bisa menitikkan air mata, bahkan pernah menangis tersedu-sedu ketika orang lain memarahiku yang baru saja berbuat salah. Atau, pernah pula, aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku saat harus presentasi tugas kuliah, bahkan, suaraku sampai terdengar bergetar hebat dan mukaku sampai terlihat pucat pasi. Iya, sebegitu rendahnya kecerdasan emosiku.  Tetapi, semakin ke sini, aku sadar, bahwa aku tidak bisa begitu terus. Aku harus belajar meningkatkan kecerdasan emosi. Aku harus bisa mengendalikan perasaan. Dan aku juga harus bisa menunjukkan respon yang wajar atas hal apapun yang menimpaku, entah itu aku sedang kesal, aku sedang dimarahi, dibentak, atau apa

Dilema

Per tanggal 19 Oktober 2022 kemarin, aku ganti HP. HP lamaku sudah menemaniku selama 5 tahun lebih 3 bulan, dalam susah maupun senang, suka maupun suka.  Sebenarnya, kemarin-kemarin aku dilema, antara mau ganti HP atau servis HP aja. Di satu sisi, pengin ganti HP aja, karena performa HP lamaku itu udah menurun drastis sehingga amat sangat mengganggu. Tapi, di sisi lain, juga pengin tetap mempertahankan HP lama, karena sayang sama duitnya.  FYI, HP lamaku itu udah rusak tombol powernya. Jadi, karena tombol powernya udah keras banget, alhasil setiap kali mau nyalain HP itu, harus aku colok ke charger dulu supaya layarnya nyala. Alhasil, ke mana-mana aku harus bawa powerbank. Soalnya kalau sampai batrenya habis dan HP nya mati total, aku bakal kesulitan nyalainnya. Kalau udah begitu, aku harus menekan tombol power sekuat tenaga untuk nyalainnya. Seringkali, tanganku sampai sakit karena harus berkali-kali mencet tombol power.  Selain itu, indikator batrenya juga udah error. Pernah suatu ke

Memilih Mingkem

Satu hal yang aku rasakan, bahwa setiap manusia mempunyai "jarak" yang berbeda ketika berinteraksi dengan manusia lain. Well , gampangnya gini. Misal, si A bisa berbicara lepas dengan si B -- mulai dari bercanda, ngebanyol, curhat, dll -- dengan sangat bebas dan ceplas-ceplos. Tapi, si A tidak selepas itu ketika berinteraksi dengan si C. Si A agak jaga jarak sekaligus agak jaga omongan ketika berinteraksi dengan si C. Ringkasnya, si A berjarak dekat dengan si B, tapi si A berjarak jauh dengan si C. Dulu, waktu masih anak-anak hingga remaja, aku seperti itu. Aku ceplas-ceplos ketika sedang berbicara dengan keluarga intiku, yaitu ibu, ayah, dan kakak. Dan menjaga jarak ketika bicara dengan non keluarga inti. Aku melakukan itu, karena dulu kupikir, keluarga inti adalah tempat yang "aman" untuk memuntahkan unek-unek. Tapi, seiring bertambahnya usia, aku mendapat wawasan baru, bahwa keluarga intiku pun tidak sepenuhnya aman.  Bisa saja keluarga intiku membocorkan curhata

Fast Living yang Melekat pada Diri Generasi Z

Kemarin, aku nonton sebuah video di youtube yang isinya mengatakan bahwa Generasi Z (kelahiran 1997 - 2012) adalah generasi yang gak sabaran. Sebagai Gen Z, aku rasa pernyataan itu memang benar, sih. Akibat hidup di tengah perkembangan teknologi yang pesat, Gen Z punya sisi positif berupa: Ingin menyelesaikan segala persoalan dengan efektif dan efisien. Tapi juga sepaket dengan sisi negatif berupa: Ingin hasil instan, gak sabaran dalam menghadapi proses, mudah cemas, overthinking, insecure, dan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Dengan kata lain, filosofi fast living , atau ritme hidup yang ingin cepat, sat set sat set was wes wos itu sangat melekat pada diri Gen Z. Berdasar pengalamanku pribadi, fast living ini bagus untuk memotivasi diri agar segera mencapai target-target yang diinginkan. Tapi di sisi lain, kalau terlalu ekstrim, praktek fast living juga bisa bikin kita stress kalau kita gak bisa mencapai target-target itu. Karena, tercapai atau gaknya suatu t

Ritme Sirkadian

Ada yang tau ritme sirkadian itu apa? Gampangnya, ritme sirkadian adalah ritme biologis tubuh kita. Kapan kita mulai tidur dan kapan kita bangun. Ada orang yang ritme sirkadiannya seperti ini: tidur jam 9 malam, bangun jam 4 pagi.  Ada pula orang yang ritme sirkadiannya seperti ini: tidur jam 12 malam, bangun jam 7 pagi.  Tapi, ada juga yang ritme sirkadiannya gak teratur: tidur kadang jam 12 malam, kadang jam 3 pagi, kadang jam 7 pagi. Dan bangun juga gak teratur, kadang jam 5 pagi, kadang jam 9 pagi, bahkan kadang jam 3 sore baru bangun. Siapa yang gak teratur itu, hehehe? Kayaknya banyak ya, yang semenjak korona ritme sirkadiannya jadi kacau. Aku pun iya, di tahun 2020 dan 2021.  Kalo aku inget-inget, wuih, tahun 2020-2021 tuh kacau banget hidupku. Karena saat itu aku udah lulus kuliah, tapi belum bekerja, ditambah dengan, aku gak cukup tegas dengan diri sendiri, alhasil tubuhku merasa gak punya kewajiban untuk tidur dan bangun tepat waktu.  Waktu itu, aku sering, malam gak tidur ba