Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Aneka Mahzab dalam Dunia Kepenulisan

Mahzab, dalam hal ini artinya aliran, versi, slogan, dan pendapat yang dianut setiap penulis. Berdasarkan analisis cetek saya, ada beberapa mahzab yang dianut penulis. Pertama, ada penulis yang berprinsip, kejarlah kuantitas dulu, urusan kualitas itu belakangan . Biasanya, dalam workshop kepenulisan, penulis jenis ini akan menyarankan kita untuk menulis minimal sekian ribu kata per hari. Tulislah apa pun. Lakukan secara konsisten. Penulis jenis ini berpendapat, bahwa kualitas akan membaik setelah kita rutin melakukan aktivitas menulis secara berulang-ulang. Ada pula yang berprinsip sebaliknya. Yakni, untuk tahap awal, tulislah kalimat-kalimat yang singkat. Jangan berusaha memanjang-manjangkan kalimat agar tulisannya terkesan banyak. Biasanya, penulis jenis ini berprinsip, apalah artinya tulisan panjang kalau banyak pengulangan dan kalimat tidak efektif. Kedua, setiap penulis punya kecocokan bentuk tulisan . Ada yang ahli menulis cerpen, seperti AS Laksana dan Bernard Batubara.

Menjadi Seorang Tante

“Ih, kayak tante-tante,” adalah kalimat yang sering diucapkan orang untuk menggambarkan remaja perempuan yang dandan menor. Kenapa dandan menor diidentikkan dengan tante-tante? Padahal, tidak semua tante menor, lho. Tante itu menor , sebenarnya hanyalah stereotip dan generalisasi belaka. Artinya, kita menganggap, semua tante begitu. Hal ini juga pernah saya lakukan. Ketika masih kecil, jika mendengar kata “tante”, maka yang terbayang di benak saya adalah perempuan yang sudah agak berumur, suka bergosip, suka nyinyir, dan ber- make up tebal. Sampai suatu ketika, saya menjadi tante,  di usia 21 tahun. Ini terjadi setahun lalu, tepatnya saat keponakan pertama saya, alias anak dari kakak saya, lahir di dunia. Selama keponakan saya itu masih di dalam kandungan ibunya, saya sering bertanya-tanya. Mulai dari pertanyaan standar seperti, “Muka dia mirip siapa, ya? Jenis kelaminnya apa, ya?” Hingga pertanyaan nyeleneh seperti, “Kalau aku besok jadi tante, rasanya gimana, ya?” Gimana rasanya

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Judul saya tidak mengada-ada. Beneran ada kejadiannya. Jadi, ada seorang tetangga saya, sebut saja Mawar, yang sangat fanatik terhadap mie instan merk Indomie. Saking fanatiknya, sampai-sampai, seorang pemilik warung (yang juga tetangga saya), sebut saja Melati, hafal kebiasaan si Mawar.  Konon katanya, ketika datang ke warung Melati, Mawar langsung to the point , menanyakan keberadaan Indomie. Dan, jika Melati menjawab tidak ada (karena stock Indomie habis), Mawar rela pulang dengan tangan kosong. Mawar tidak mau membeli mie instan selain Indomie.   ***  Kita tentunya sudah tidak asing dengan cerita di atas. Di kehidupan nyata, orang seperti Mawar itu ada banyak. Tidak hanya Mawar tetangga saya, tetapi juga ada Mawar-mawar yang lain. Bahkan, bisa jadi, kita termasuk Mawar.  Kalau kita analisis, sebenarnya, apa sih yang dipikirkan oleh Mawar? Mawar adalah tipikal orang yang maniak terhadap merk tertentu. Maniak ini sudah bukan hanya setia, ya. Tapi, sampai pada level terobsesi. Obsesi

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya

Saya percaya, semua orang suka mengabadikan momen di hidupnya melalui foto. Lewat foto, kita bisa bernostalgia. Mengingat berbagai kejadian mengesankan di masa lalu. Saya suka mengamati perubahan yang terjadi di kehidupan ini melalui foto. Sesaat setelah foto diambil, foto itu terlihat waw . Tapi, seperti yang kita tahu, foto itu, lama-lama akan terlihat jadul. Apa saja isi foto-foto jadul itu? Oke, langsung saja kita ke pembahasannya: Sebagian besar anak-anak kelahiran 1990-an mempunyai gaya berfoto yang khas. Mereka biasanya pernah merasakan yang namanya berfoto di studio. Anak perempuan menggunakan rok terusan di bawah lutut serta rambutnya dikuncir dua. Lalu, anak laki-laki memakai baju kemeja lengan pendek yang dimasukkan rapi, dalam celana sepanjang tiga per empat, serta rambutnya dibelah tengah. Tak lupa, ibu mereka mengarahkan bagaimana mereka harus berekspresi di depan kamera. Seringkali, mereka tampak seperti dipaksa senyum. *** Di zaman tahun 2008-2012, media sos

Mengambil Seragam Olahraga Berujung Celaka

Ketika masih sekolah, kita sering dihadapkan pada kekhawatiran. Misal, khawatir karena belum mengerjakan PR, khawatir kalau ditunjuk guru untuk mengerjakan soal matematika di depan kelas, khawatir karena lupa bawa topi saat ada upacara bendera, khawatir karena akan ada ulangan, hingga khawatir karena seragam olahraga ketinggalan.  Kalau kita yang sudah dewasa ini melihat itu semua, kita akan mikir, "Alah, gitu doang kok dipikirin." Tapi jangan salah. Bagi anak SD, ketakutan yang timbul karena lupa tidak bawa LKS suatu mata pelajaran misalnya, itu tidak dibuat-buat, lho. ***  Saya ingat, waktu SD pernah berbuat konyol hanya gara-gara lupa bawa seragam olahraga.  Jadi, suatu hari, saya lupa bawa seragam olahraga, padahal ada jadwal pelajarannya sebentar lagi. Saya langsung panik. Dan, yang terlintas di benak saya adalah, saya harus segera mengambil seragam olahraga di rumah. Sebab, saya takut dihukum oleh guru karena tidak pakai seragam olahraga saat jam pelajaran olahraga berl

Kok Kamu Udah Gedhe Banget, Sih?

Dulu, saya sering mendengar kalimat itu. Umumnya, yang ngomong begitu adalah orang yang usianya jauh lebih tua dari saya, misalnya om, tante, nenek, dan kakek. Kalimat itu biasanya ditujukan kepada saya, di acara keluarga, hajatan, dan lebaran. Mereka ngomong begitu kepada saya, setelah sekian lama tidak melihat saya, dan baru ketemu saya lagi pada hari itu. Jujur, saya heran dengan hal itu. Batin saya, “Kenapa sih, kok orang-orang tua itu kayak heran banget liat aku? Perasaan, aku biasa aja, deh.” Lambat laun, saya mulai paham. Bahwa, keheranan orang-orang itu terjadi karena pangling . Bagaimana tidak? Katakanlah, mereka itu kan, mengenal saya dari bayi baru lahir. Mereka masih terbayang-bayang, bagaimana rupa saya ketika masih anak-anak. Setelah sekian lama, saya sudah dewasa. Mereka takjub. Mereka heran, betapa cepat waktu berlalu. Mereka tidak menyangka, saya sudah besar. Dan, setelah menginjak usia 20 tahunan, saya pun perlahan-lahan menjadi seperti orang-orang tua itu. Saya,

Kok Kamu Betah di Rumah Terus?

Saya sering ditanyai, "Kok kamu betah di rumah terus?" Jika sudah begini, saya jawab, "Iya, aku lebih suka di dalam rumah aja." Tapi, seringkali, si penanya masih belum puas. Terlihat dari ekspresi heran mereka. Dan saya hanya tersenyum irit, karena malas meladeni dan "berdebat" panjang lebar. Dari kecil hingga dewasa, saya memang sangat menikmati momen-momen di rumah. Saya sangat betah berlama-lama di rumah. Jarang keluar, kecuali untuk urusan beli bensin, pulsa, dan sembako. Saya sempat bertanya-tanya, "Apakah ada yang salah denganku?" Sebab, mayoritas orang yang saya kenal, lebih suka keluar rumah. Bahkan, mereka terkesan tidak kerasan tinggal di rumah. Sedangkan saya? Berkebalikan dari mereka. Saya pun waswas, jangan-jangan, saya mengidap kelainan. Sebab saya tampak beda sendiri. ***  Ketika tahun baru misalnya, saya selalu di rumah saja. Percaya atau tidak, saya belum pernah main mercon atau kembang api, lho. Untuk tahun baruan, saat masih T

Hari Gini Masih Nulis di Blog?

Aku membuat blog ini tahun 2015, saat kelas 2 SMA. Waktu itu, ada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Salah satu materi pembelajarannya adalah membuat blog . Jadilah aku mulai membuatnya. Tapi, isinya masih asal-asalan copy paste dari Wikipedia. Ya, aku hanya menggugurkan kewajiban agar dapat nilai saja, sih . Kemudian, tahun 2016, aku kembali menulis di blog. Ketika itu, aku sedang ospek, dan kampus mewajibkanku menulis pengalaman menjadi mahasiswa baru di blog . Aku pun kembali asal-asalan mengisi blog. Setidaknya, aku bisa lulus ospek dan dapat sertifikat. Begitu pikirku. Bertahun-tahun kemudian, blog ini terbengkalai. Tulisan-tulisan tahun 2015 hingga 2016 kuhapus semua. Dan, pada bulan Oktober tahun 2020, aku mengurusnya lagi. Pertanyaannya, apakah nge- blog di tahun 2020 masih worth it ? Atau, sudah ketinggalan zaman?     Aku akan menjabarkan alasanku masih nge- blog di tahun 2020: Semua Bermula dari Pencarian Hobi Dulu, aku adalah manusia yang

Ilmu

Apakah ilmu atau keterampilan yang kita pelajari di masa kecil itu tidak akan berguna saat kita dewasa? Memang, kita sering menjumpai, bahwa, sesuatu yang kita pelajari di masa lalu tidak ada hubungannya dengan bidang yang kita jalani sekarang. Namun, apakah berarti, ilmu yang telah kita pelajari itu sia-sia? Menurut saya, tidak. Walau tidak berhubungan langsung, tapi pasti ada sedikit keterkaitan. Waktu kelas 4 SD, saya pernah menjuarai lomba menggambar. Karena itulah, ibu memasukkan saya ke sebuah sanggar menggambar. Ibu merasa, saya punya sedikit talenta di bidang ini. Jadi, harapannya, kemampuan menggambar saya bisa meningkat. Memang benar, setelah ikut les di situ rutin setiap 2 kali seminggu, skill menggambar saya sedikit mengalami kemajuan. Gambar saya membaik. Setidaknya, saya tahu ada istilah perspektif, garis kontur, garis cakrawala, background , dan gradasi warna. Lomba menggambar dan mewarnai pun semakin intens saya ikuti. Beberapa kali juara. Sisanya tidak. Ketika

Pintar Olahraga adalah Privilege

Sebagian besar murid, mungkin, tidak menyukai mata pelajaran matematika. Tidak dengan saya. Sepanjang sekolah, dari SD hingga SMA, pelajaran yang saya benci adalah olahraga. Mungkin hal ini terkesan aneh. Pasalnya, olahraga identik dengan pelajaran santai dan main-main, yang semua orang sepertinya bisa mengikuti. Tapi, tunggu dulu, benarkah demikian? Kenyataannya, tidak. Pelajaran olahraga tidak semudah itu. Saya sangat kesulitan mengikuti pelajaran olahraga. Khususnya, olahraga yang berhubungan dengan bola, baik itu sepak bola, futsal, voli, basket, bahkan kasti. Entah kenapa, saya tidak punya ketertarikan dengan bola. Apa saja peraturannya, istilah yang digunakan, hingga nama-nama klubnya, tidak saya ketahui sedikit pun. Kalau orang lain, ketika main bola, berusaha mengejar bola itu, saya malah sebaliknya, ketika ada bola mendekat, justru saya menghindar. Jadi, saya cukup pusing ketika pelajaran olahraga di SMA mensyaratkan jumlah minimal dribel, servis, dan lain-lain, dalam satu

Susah Move On

Menurut saya, kelahiran 1990-an adalah Generasi Susah Move On . Mungkin, tidak semua. Tapi, mayoritas begitu. Dan saya, termasuk salah satu di antaranya. Iya, saya, susah move on. Susah move on yang saya maksud di sini bukan perihal melupakan cinta di masa lalu, seperti: mantan gebetan , cinta pertama, cinta dalam diam, cinta tak terbalas, atau pun sudah putus tapi masih berharap. Bukan itu. Move on yang saya maksud adalah move on dalam hal masa kanak-kanak dan masa remaja. Generasi 1990-an, masih suka terngiang-ngiang masa kecilnya. Sampai sekarang. Dari mana saya tahu? Dari isi komentar YouTube. Saya seringkali dengan sengaja mencari video clip lagu-lagu pop grup band Indonesia zaman dulu. Peterpan, Kangen Band, ST 12, Vierra, Geisha, dan kawan-kawannya. Kalau tidak salah, grup band -grup band tersebut berjaya sekitar tahun 2004-2013 di Indonesia. Entah kenapa, ketika sedang rebahan, tangan saya refleks mencarinya. Dan, dengan segera, saya pasang headset di telinga. Lalu

Motivasi

Kita sering mendengar pernyataan, “Milikilah motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan.” Motivasi merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu. Dengan memiliki motivasi, konon katanya, kita akan lebih fokus dalam mencapai keinginan. Sementara itu, ketiadaan motivasi, akan membuat kita sulit mencapai tujuan. Namun yang jadi pertanyaan, apakah motivasi selalu berdampak positif? Menurut saya, tidak selalu. Ada kalanya, dengan memiliki motivasi, kita bekerja lebih giat sehingga bisa cepat mendapatkan pencapaian. Tapi, tak jarang, motivasi justru membuat kita hanya fokus mencapai tujuan. Kita hanya sibuk memvisualisasikan dan membayangkan hasil yang kita inginkan. Kita malah tidak menikmati proses. Bahasa kasarnya, kita jadi terlalu perhitungan. Kita jadi sibuk menimbang untung-rugi, modal-hasil, dan sejenisnya. Jadi, apakah salah kalau kita punya motivasi? Menurut saya, tidak ada salahnya kita punya motivasi. Tetapi, kita perlu meluruskan motivasi. Kita perlu menetapkan motivasi yang