Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2020

Cerpen #1: Apollo Merah Nanda

Wisuda sarjana keguruanku sudah seminggu berlalu. Pagi tadi, aku melangsungkan pernikahan di sebuah KUA kecamatan.  Dengan diwakilkan paman tertua karena ayah telah tiada, aku dan dia, resmi menjadi suami-istri. Kami adalah sepasang guru. Dia, seorang laki-laki yang dulunya adalah mahasiswa 2 tingkat di atasku. Kami pertama kali bertemu ketika masa orientasi jurusan berlangsung. Kini, dia menjadi guru tetap yayasan di sebuah SD swasta. Sementara itu, sejak semester akhir kuliah aku sudah bekerja sebagai guru tidak tetap di SD negeri.  Setelah menikah, kami hidup di rumah orangtuaku yang kini tinggal ibu. Sebenarnya, kami ingin mengontrak saja agar tidak merepotkan, tetapi ibu meminta kami tinggal bersamanya agar ia tak kesepian. Aku dan suami selalu berangkat bersama karena sekolah tempat kami mengajar searah. Bedanya, di lampu lalu lintas pertama dari rumah aku akan belok kiri sementara dia terus lurus. Kami mengendarai motor masing-masing.  Walaupun masih berstatus guru tidak te

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…

Jika ditanya, siapa orang beruntung di dunia, maka Ibu saya adalah jawabannya. Jawaban ini didasarkan pada hasil pengamatan kecil-kecilan yang saya lakukan. Tentu, parameternya saya buat dan tetapkan sendiri. Jadi, mungkin akan valid bagi saya, tapi tidak bagi orang lain. Ibu saya adalah produk tahun 1960. Berbeda jauh dengan saya yang kelahiran 1998. Selisih umur mendatangkan perbedaan signifikan di antara kami, dari segi pola pikir, kebiasaan, dan kesulitan. Akhir-akhir ini, perbedaan-perbedaan tersebut menggelitik saya. Saya tertarik untuk mengulik, lalu membandingkannya. Dan, berdasarkan kesimpulan saya, ternyata Ibu punya sederet kemudahan yang tidak saya miliki. Sederet kemudahan yang mungkin menurut ibu biasa saja, tapi menurut saya itu suatu kemewahan. Oke, langsung saja saya jabarkan. Ibu saya beruntung dalam hal: Tidak Pernah Merasa Salah Jurusan Ibu saya mengenyam pendidikan di SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Alasannya, bukan karena sudah punya passion ingin jadi gur

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Sebelum pandemi menyerang, berkonsentrasi bukan hal sulit bagi saya walaupun aktivitas di luar rumah sedang padat. Saya tinggal menyisihkan waktu, duduk rileks dan fokus, maka pikiran sudah terkonsentrasi pada hal yang ingin dituju. Namun, semua berubah setelah pandemi terjadi. Kebetulan, pandemi bertepatan dengan kelulusan saya. Ya, saya adalah seorang Sarjana Jalur Corona . Saya punya banyak waktu luang di rumah. Tapi untuk bisa fokus melakukan aktivitas itu susahnya luar biasa. Ada saja godaannya. Beginilah saya semenjak pandemi ini: Baru 5 menit belajar, tangan gatal untuk scrolling sosial media. Baru 10 menit menulis, tubuh sudah lemas ingin rebahan. Dan, baru 15 menit membaca, langsung gagal fokus saat mendengar celoteh keponakan yang sedang lucu-lucunya (btw kami tinggal serumah). Entah kenapa, saya selalu refleks memanjakan diri, padahal seharian tidak melakukan aktivitas berat. Ini sudah terjadi selama 8 bulan. Jangka waktu yang tidak sebentar. Seharusnya sudah cukup

Pentingnya Bagi Tugas

Dulu, saya berpikir bahwa pembagian tugas hanya perlu diterapkan di bangku sekolah dan kuliah.  Waktu sekolah, kita punya jadwal piket. Kita wajib mengurus kebutuhan kelas seperti mengisi ulang tinta spidol, menghapus papan tulis yang penuh tulisan, dan menyapu.  Sementara saat kuliah, kita akrab dengan tugas kelompok. Selalu ada pembagian tugas – si A mencari bagian ini dan si B mengumpulkan materi bagian itu. Semua itu bertujuan memudahkan, meringankan, dan menyeimbangkan beban setiap anggota. Baru setelah sarjana, saya menyadari 1 hal. Bahwa, pembagian tugas juga penting diterapkan di keluarga. Walau pun keluarga itu kesannya santai dan tidak ilmiah, tapi tanggung jawabnya tidak kalah berat dibandingkan piket anak sekolah dan tugas presentasi kelompok anak kuliah.  Bahkan, ibu saya pernah berkata, “Urusan rumah tangga itu ketatnya melebihi urusan dinas.” Ibu saya lalu menambahkan, “Contohnya, si orang tua lagi dikejar deadline pekerjaan. Kebetulan anaknya sakit. Ya, entah bagaima

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Sebagai seorang introvert kebablasan, saya sering negative thinking kalau harus menghadiri acara kumpul-kumpul. Baik itu pertemuan keluarga besar, reuni sekolah, buka puasa bersama, first gathering , dst.  Berbagai pertanyaan menghinggapi kepala.  Apa yang harus saya lakukan di acara tersebut? Bagaimana saya harus mengatur gerak-gerik? Apa yang harus saya katakan pada orang-orang yang baru pertama kali saya temui nanti? Selama ini, saya sering berupaya membolos dari kegiatan-kegiatan itu. Bila ada orang yang mengajak secara langsung, tak jarang saya hanya menjawab, “Aku belum bisa memastikan bisa datang atau tidak.”  Padahal, saya tahu, ujung-ujungnya saya tidak hadir. Mayoritas ketidakhadiran itu bukan karena saya tidak bisa, melainkan karena tidak mau. Orang yang mengundang atau mengajak kumpul-kumpul, sebenarnya sudah tahu bahwa pada akhirnya, kemungkinan saya hadir itu kecil. Mereka tahu bahwa jawaban saya yang “belum bisa memastikan” itu adalah penolakan halus. Jadi, kalau samp

Takut Tampil Beda

Umumnya, kita tidak berani jika harus berbeda dengan orang kebanyakan.  Kita cenderung mencari pasukan atau rombongan, lalu mengekor di belakangnya. Kita menganggap bahwa golongan mayoritas itu pasti benar, sementara sisanya salah.  Padahal, tidak menutup kemungkinan, justru sebaliknya. Enggan tampil beda dimulai dari hal-hal kecil di masa kanak-kanak.  Ada satu peristiwa yang masih saya ingat sampai sekarang. Waktu saya kelas 4 SD, ibu berencana membelikan sebuah sepeda.  Singkat cerita, kami berdua berangkat ke sebuah toko sepeda. Sesampainya di sana, saya langsung menunjuk sepeda mini merk Phoenix warna biru yang harganya 500.000, sementara ibu menyuruh saya agar memilih model lain saja yang harganya 1.000.000.  Kata ibu, sepeda yang harganya lebih mahal pasti kualitasnya lebih bagus. Tapi, saya ngotot memilih sepeda 500.000, karena banyak teman sekelas yang memakai sepeda model itu. Saya malu kalau punya sepeda yang modelnya beda sendiri.   Akhirnya, selama SD saya senang-senang s

Ikhlas

Dulu, ketika mendengar kata “ikhlas”, maka yang terbayang di benak saya adalah ikhlas ketika kehilangan barang kesayangan, diperlakukan tidak baik, dan ditinggalkan orang tercinta. Sekarang, saya menyadari 1 hal. Bahwa, ruang lingkup ikhlas tidak sesempit itu. Ikhlas, dalam pengamatan saya, ternyata juga berkaitan dengan pendidikan tinggi. Dunia pendidikan tinggi (kuliah), tidak pernah menjanjikan apa-apa.  Kuliah hanya mengajarkan kita tata cara belajar, mengulur akal, sehingga harapannya kita bisa punya bekal lebih untuk bertahan hidup. Dan, sungguh, kuliah tidak menjamin bahwa setelah lulus kita pasti akan punya penghidupan lebih baik, lebih mudah, dan lebih mulus. Dengan kuliah, harapannya adalah wawasan kita meningkat, sehingga kesempatan kita ikut bertambah luas. Namun, ternyata tidak jarang, jarak pandang kita justru menyempit ketika lulus kuliah. Misalnya, kita mengambil jurusan X. Dan, pengetahuan kita menjadi hanya berkutat terbatas di bidang jurusan X tersebut. Tentu ini b

Merasa Salah Jurusan

Waktu kuliah semester 2, saya merasa salah jurusan. Bukan jurusannya yang salah. Tapi, saya yang gak pas memilih jurusan. Atau, dengan kata lain, jurusan itu gak cocok buat saya. Seiring berjalannya waktu, saya semakin bertanya-tanya. Apa penyebab saya merasakan kebimbangan itu? Apakah saya sungguh salah jurusan? Atau itu perasaan saya saja? Dan, sekarang, setelah lulus, saya mulai bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jawabannya adalah: Saya gak bisa mengatakan jawaban ini benar 100%. Tapi, setidaknya sekarang saya sudah bisa melihat secara lebih utuh. Kalau dulu ketika masih kuliah, pikiran saya masih dipengaruhi emosi-emosi sesaat, sekarang saya bisa melihat secara lebih objektif. Pada dasarnya, anak SMA belum sepenuhnya tahu perihal jenis-jenis jurusan kuliah. Oke, kalau nama-nama jurusan, fakultas, dan kampus, siapa pun bisa bertanya pada Google, alumni, guru, dan orang tua. Tapi, perihal detail di dalamnya, itu seringkali tidak ada informasinya.  Anak lulusan SMA hanya b

Silau

Sejak di bangku Sekolah Dasar, kita sudah diajarkan perihal jenis-jenis kebutuhan. Ketika itu, kita sangat lancar menyebutkan definisi dan apa saja yang termasuk kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.  Tapi, kenapa setelah tumbuh dewasa kita kesulitan mempraktikkannya? Kita seolah sulit membedakannya? Seolah antara ketiga jenis kebutuhan itu tidak ada batas yang gamblang? Saat kelas 4 SD misalnya, kita bisa dengan lantang menyebutkan bahwa kebutuhan primer manusia adalah sandang, papan, dan pangan. Tapi, seiring bertambahnya usia, kenapa “itu” seolah hanya menjadi teori? Kalau membahas ini, sebaiknya kita menilai diri kita sendiri.  Kita tidak bisa menganggap semua orang punya prioritas dan kemampuan yang sama persis dengan kita.  Maksudnya begini. Misal, kita menganggap bahwa membeli handphone seharga 20.000.000 adalah pemborosan. Ya sudah. Cukup terapkan pada diri sendiri – bahwa kita tidak akan membeli handphone seharga 20.000.000.  Tapi, ketika ada orang lain yang membeli han