Merasa Salah Jurusan

Waktu kuliah semester 2, saya merasa salah jurusan. Bukan jurusannya yang salah. Tapi, saya yang gak pas memilih jurusan. Atau, dengan kata lain, jurusan itu gak cocok buat saya.

Seiring berjalannya waktu, saya semakin bertanya-tanya. Apa penyebab saya merasakan kebimbangan itu? Apakah saya sungguh salah jurusan? Atau itu perasaan saya saja?

Dan, sekarang, setelah lulus, saya mulai bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jawabannya adalah:

Saya gak bisa mengatakan jawaban ini benar 100%. Tapi, setidaknya sekarang saya sudah bisa melihat secara lebih utuh. Kalau dulu ketika masih kuliah, pikiran saya masih dipengaruhi emosi-emosi sesaat, sekarang saya bisa melihat secara lebih objektif.

Pada dasarnya, anak SMA belum sepenuhnya tahu perihal jenis-jenis jurusan kuliah. Oke, kalau nama-nama jurusan, fakultas, dan kampus, siapa pun bisa bertanya pada Google, alumni, guru, dan orang tua. Tapi, perihal detail di dalamnya, itu seringkali tidak ada informasinya. 

Anak lulusan SMA hanya bisa memilih jurusan kuliah yang menurutnya sesuai untuknya. Lalu terjadi hal-hal di luar ekspektasi yang baru muncul di tengah-tengah perkuliahan.

Hal ini bisa terjadi karena adanya keterbatasan. Bayangkan saja, anak kelas 3 SMA itu pusingnya seperti apa. Mereka dituntut fokus Ujian Nasional, memilih jurusan kuliah, sekaligus bersaing untuk bisa diterima di dalamnya. 

Guru-gurunya saja bingung bagaimana cara menjejalkan seember materi pelajaran dari kelas 1 hingga 3 dalam waktu singkat. Padahal, belajar itu tidak bisa instan. 

Secara alami, seharusnya proses pemasukan informasi ke otak itu sedikit demi sedikit, ibaratnya sesendok demi sesendok. Ketika ini dilanggar, yakni seember materi pelajaran itu langsung dijejalkan, maka informasi itu tidak mengendap, tapi hanya transit sebentar lalu keluar lagi. Dan, masih ada agenda lain, yakni memilih jurusan kuliah, dan bersaing untuk bisa diterima di dalamnya. Jadilah semuanya campur aduk tak keruan.

Hasilnya, jurusan kuliah yang diambil tidak sesuai ekspektasi. Saya tidak menyangka bahwa jurusan kuliah saya sangat berkaitan erat dengan komputer, pemrograman, pengukuran, dst. 

Ternyata, ada banyak hal yang saya kira tidak berhubungan dengan jurusan saya, tapi harus saya hadapi. 

Dan, ini juga pernah diceritakan oleh ibu saya. 

Ibu saya kuliah jurusan pendidikan Bahasa Jawa. Tapi, ternyata ada mata kuliah Bahasa Sanskerta dan Bahasa Arab. Ini karena ada kosa kata dalam Bahasa Jawa yang berasal dari bahasa-bahasa lain. Semua itu harus dipelajari sampai ke akar-akarnya. 

Dan, mungkin begitulah semua jurusan kuliah. Ibaratnya, ketika kita sudah terlanjur menyelam, kita harus benar-benar menyelam, bahkan hingga menyentuh dasar kolam.

Kembali ke topik awal, apakah saya salah jurusan?

Saya tidak benar-benar salah jurusan. Saya hanya bosan dan malas. Ada rasa tidak enak, tidak mudah, dan tidak terduga semasa saya mempelajari ilmu jurusan kuliah tersebut. Saya hanya kurang menikmati, kurang menyelami, dan kurang menghayati jurusan tersebut ketika itu.

Ada mata kuliah yang sulit, tapi itu harus saya tempuh. Praktikum tidak ada henti-hentinya. Laporan yang harus segera dikumpulkan, padahal rasanya sudah mentok, gak tahu apa lagi yang harus ditulis di pembahasan. Dan, berbagai persoalan sebarek lainnya.

Intinya, semua itu adalah kesulitan. Rasanya tidak mudah, tidak nyaman, tidak enak, dan tidak-tidak lainnya. 

Padahal, mungkin ya memang begitulah menuntut ilmu – sekolah atau pun kuliah. 

Tidak ada yang enak dalam menuntut ilmu. Tidak ada yang nyaman dalam belajar. 

Bahkan, konon katanya belajar atau berpikir adalah hal tersulit yang dilakukan manusia. 

Dan, belajar tidak bisa diwakilkan. Padahal, ibadah ada yang bisa diwakilkan – misalnya, ibadah haji yang boleh diwakilkan kepada orang lain, jika orang yang bersangkutan tidak bisa berangkat. 

Sementara itu, belajar dan berpikir harus dilakukan secara mandiri. Saking sulitnya, banyak orang yang akhirnya rela membayar orang lain untuk berpikir – misalnya, mahasiswa yang rela membayar berjuta-juta kepada orang lain untuk membuatkan skripsinya, karena dia sudah mentok dengan pengerjaan skripsi.

Saya gak tahu ada berapa persen mahasiswa yang merasa salah jurusan. 

Tapi, fenomena merasa salah jurusan ini tidak dapat diukur secara pasti, karena setiap orang punya level toleransi yang berbeda. 

Ada orang yang merasa salah jurusan karena kesulitan mengikuti perkuliahan, nilainya jelek, dan tidak secemerlang mahasiswa lain. Tapi, kalau kita bedah lebih dalam, perihal nilai jelek itu subjektif. Ada orang yang nilainya B sudah merasa jelek, lalu merasa salah jurusan. Ada juga yang nilainya C tidak merasa jelek-jelek amat, dan tidak merasa salah jurusan barang secuil pun.

Ketika menyadari bahwa saya merasa salah jurusan, saya menceritakannya pada orang tua. 

Dan, tanggapan mereka tidak seperti yang saya duga. 

Sebelumnya, saya kira mereka akan marah dan menyalahkan saya. Kenyataannya, tanggapan mereka begitu tenang. 

Ibu saya hanya bilang, “Kalau kamu mau pindah jurusan, ya sana, segera mengurus pengunduran diri. Pilih jurusan lain yang kamu inginkan.” 

Jawaban itu telak membuat saya bengong. Ibu benar-benar mengenal watak saya. Jika semakin dimarahi, disudutkan, dan dimaki-maki, saya malah semakin memberontak. 

Jadi, kalau saja ibu dulu itu memarahi saya dengan sumpah serapah, saya mungkin bakal benar-benar mogok kuliah. 

Tapi, jawaban tenang ibu itu justru membuat saya luluh. Mendengar jawaban ibu saya itu, saya malah merasa bersalah. Saya merasa betapa saya ini anak tidak tahu diri. 

Semenjak itu, saya merasa ada tanggung jawab yang saya emban – setidaknya saya harus menjalani kuliah dengan wajar, dan lulus tepat waktu.

Kenapa saya tidak memutuskan pindah jurusan, pindah kampus, atau berhenti kuliah saja? 

Karena saya adalah orang yang gak mau ribet, gak suka cari masalah, dan gak suka menghambur-hamburkan energi. 

Bagi saya, pindah jurusan atau pindah kampus itu membutuhkan effort lebih. Saya harus beradaptasi, mengeluarkan uang, mengulang semuanya dari awal. 

Dan, tidak ada jaminan bahwa jurusan baru itu akan benar-benar cocok untuk saya. Bisa jadi, saya malah gak betah dengan jurusan atau kampus baru.

Jadi, bagi para mahasiswa yang sedang merasa salah jurusan, ini pesan saya:

Kenali betul, apakah kalian benar-benar salah jurusan, atau hanya merasa salah jurusan. Sebab, itu 2 hal yang berbeda. 

Dan, kalau kalian benar-benar salah jurusan, memangnya apa parameter yang kalian gunakan? 

Apakah parameter-parameter itu sudah valid untuk mengidentifikasi bahwa kalian benar-benar salah jurusan?

Kalau kalian sudah yakin, identifikasilah kalian termasuk tipe orang seperti apa:

Orang tipe pertama, adalah kalian yang berpikiran praktis, pragmatis, gak siap menanggung risiko besar, dan belum tahu maunya apa. 

Kalian sangat perhitungan soal untung-rugi, waktu, dan biaya. Kalian belum tahu apa passion, minat dan bakat kalian. Kalian tidak yakin apakah jurusan yang kalian idam-idamkan itu benar-benar cocok untuk kalian. 

Maka, sebaiknya pertahankan jurusan kuliah kalian sekarang. Segera kebut semua mata kuliah wajib, pilih mata kuliah pilihan yang setidaknya nyrempet dengan minat kalian, lalu pilihlah tema skripsi yang memang tipe kalian banget.

Saya termasuk orang bertipe pertama ini. Bagi saya, waktu 1 tahun itu lumayan, bisa dapat 48 SKS. Uang SPP 1 tahun juga banyak. Adaptasi yang saya lakukan juga sudah lumayan jauh. Jadi, saya memutuskan untuk bertahan di jurusan saya hingga lulus.

Orang tipe kedua, adalah kalian yang berpikiran idealis, standarnya tinggi, tidak takut akan risiko, dan sudah tahu mau jadi apa. 

Kalian tidak perhitungan soal waktu. Bagi kalian, apalah artinya waktu 1 tahun, dibandingkan umur 70 tahun hidup di dunia – ini hanya perumpamaan. Maksudnya, kalian gak resah kalau kalian harus mengulang semuanya dari awal. Kalian tidak takut dengan penilaian orang lain. Kalian juga sudah yakin perihal apa yang sungguh kalian inginkan. 

Maka, kalau memang ingin pindah jurusan, pindahlah segera. Pilih jurusan yang kalian inginkan.

Tipe manakah kalian, dan keputusan apa yang akan kalian ambil, catatannya hanya 1. 

Kalian harus melakukannya dengan total. 

Jika kalian memutuskan untuk tidak pindah jurusan, maka kalian harus menikmati sepenuhnya jurusan kalian itu. Tapi, jika kalian memutuskan untuk pindah jurusan, maka lakukanlah dengan sepenuh hati. 

Dan, jangan menoleh ke belakang. 

Apa pun yang terjadi dengan jurusan baru yang kalian pilih, ya harus kalian terima. Jangan menyesali apa yang sudah kalian putuskan. Jangan membanding-bandingkan kelemahan jurusan baru dengan keunggulan jurusan lama, lalu kalian meratapi keputusan kalian. Itu hanya membuat luka lama semakin menganga.

Jadi, yang sekarang bisa saya katakan adalah:

Bisa jadi jurusan kuliah saya adalah potensi terbesar saya yang sesungguhnya, bisa jadi tidak. Mungkin, ada potensi lain di diri saya, di luar jurusan itu, entah di bidang apa. 

Tapi, toh saya sudah berhasil lulus. Toh, saya bisa mengikuti perkuliahan dengan wajar. Toh, nilai saya baik-baik saja – walau pun tidak tertinggi seangkatan. 

Kelak, ke manakah jurusan kuliah saya akan membawa diri saya, saya belum tahu. Setidaknya, satu langkah sudah saya tempuh. Ini adalah pendapat saya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya