Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Sebelum pandemi menyerang, berkonsentrasi bukan hal sulit bagi saya walaupun aktivitas di luar rumah sedang padat. Saya tinggal menyisihkan waktu, duduk rileks dan fokus, maka pikiran sudah terkonsentrasi pada hal yang ingin dituju.

Namun, semua berubah setelah pandemi terjadi. Kebetulan, pandemi bertepatan dengan kelulusan saya. Ya, saya adalah seorang Sarjana Jalur Corona. Saya punya banyak waktu luang di rumah. Tapi untuk bisa fokus melakukan aktivitas itu susahnya luar biasa. Ada saja godaannya.

Beginilah saya semenjak pandemi ini:

Baru 5 menit belajar, tangan gatal untuk scrolling sosial media. Baru 10 menit menulis, tubuh sudah lemas ingin rebahan. Dan, baru 15 menit membaca, langsung gagal fokus saat mendengar celoteh keponakan yang sedang lucu-lucunya (btw kami tinggal serumah).

Entah kenapa, saya selalu refleks memanjakan diri, padahal seharian tidak melakukan aktivitas berat.

Ini sudah terjadi selama 8 bulan. Jangka waktu yang tidak sebentar. Seharusnya sudah cukup untuk beristirahat. Seharusnya saya sudah lari kencang. Tapi, saya masih jalan di tempat.

Saya merasa hanya menjadi penonton. Penonton atas kesenangan, kebahagiaan, dan keberhasilan orang lain.

Ada seorang teman SMA yang mulai menekuni hobinya—membuat souvenir pernikahan.

Ada seseorang yang dulu kakak tingkat, sekarang sudah bekerja sesuai bakatnya—menjadi  desainer grafis.

Ada juga seorang kawan kuliah yang kreatif—mendirikan  start up bimbingan belajar untuk adik tingkat.

Dalam penglihatan saya, mereka bisa fokus melakukan apa yang mereka sukai. Mereka menjalaninya dengan khidmat, passionate, dan yakin.

Sedangkan saya?

Masih meraba-raba apa yang sebenarnya saya inginkan.

Singkat cerita, saya mendaftar ke sebuah layanan online mentoring berbasis psikologi. Dalam layanan itu, saya bisa menceritakan permasalahan pada mentor. Lalu, mentor akan memberikan saran solutif. Mentor adalah seorang sarjana psikologi yang sudah terlatih. Jadi bukan psikolog, ya.

Akhirnya, saya menceritakan kegelisahan terkait susah konsentrasi tadi kepada mentor. Dan, akhirnya saya menemukan jawabannya.

Jadi, susah berkonsentrasi itu dikarenakan saya sedang punya kecemasan. Konon katanya, kecemasan dalam batas wajar itu diperlukan agar kita punya semangat untuk memperbaiki diri. Namun, kadar kecemasan berlebih justru tidak baik. Dan, kadar kecemasan saya sudah tergolong berlebih. Itulah kenapa, aktivitas saya sudah sangat terganggu.

Kecemasan adalah hal yang lumrah dihadapi oleh orang yang baru lulus kuliah. Fresh graduate khawatir menghadapi ketidakpastian masa depan. Ditambah adanya pandemi yang mengakibatkan tidak banyak hal yang bisa dilakukan—minimnya  lapangan pekerjaan yang sesuai jurusan kuliah dan kalau pun ada, mayoritas di luar kota.

Jadi, yang bisa saya lakukan adalah:

Saat pikiran buruk datang, tarik napas dalam-dalam lewat hidung dan embuskan perlahan melalui mulut.

Tulis berbagai kekhawatiran di kertas, lalu katakan pada diri sendiri, “Ini semua gak terbukti. Ini cuma fantasi liar. Ini hanya pikiran, bukan kenyataan.”

Menulis hal-hal apa saja yang berada di luar kendali. Lalu, stop menyalahkan diri atas hal-hal tersebut.

Fokus pada hal yang bisa dilakukan.

Dari sesi online mentoring ini, saya menyimpulkan bahwa kecemasan akan kita tanggung sendiri-sendiri. Orang lain hanya bisa memberikan ketenangan dan saran. Sementara itu, yang masih terus berhadapan dengan kecemasan adalah diri kita sendiri.

Pada akhirnya, kita semua akan menormalisasi kecemasan dengan berkata pada diri sendiri, “Ah, kayak gitu aja dipikirin.”

Atau, berharap agar bisa lupa dengan sendirinya—bahwa  kita sedang cemas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…