Takut Tampil Beda

Umumnya, kita tidak berani jika harus berbeda dengan orang kebanyakan. 

Kita cenderung mencari pasukan atau rombongan, lalu mengekor di belakangnya. Kita menganggap bahwa golongan mayoritas itu pasti benar, sementara sisanya salah. 

Padahal, tidak menutup kemungkinan, justru sebaliknya.

Enggan tampil beda dimulai dari hal-hal kecil di masa kanak-kanak. 

Ada satu peristiwa yang masih saya ingat sampai sekarang. Waktu saya kelas 4 SD, ibu berencana membelikan sebuah sepeda. 

Singkat cerita, kami berdua berangkat ke sebuah toko sepeda. Sesampainya di sana, saya langsung menunjuk sepeda mini merk Phoenix warna biru yang harganya 500.000, sementara ibu menyuruh saya agar memilih model lain saja yang harganya 1.000.000. 

Kata ibu, sepeda yang harganya lebih mahal pasti kualitasnya lebih bagus. Tapi, saya ngotot memilih sepeda 500.000, karena banyak teman sekelas yang memakai sepeda model itu. Saya malu kalau punya sepeda yang modelnya beda sendiri.
 
Akhirnya, selama SD saya senang-senang saja memakai sepeda Phoenix biru tersebut. Nah, ketika SMP, sepeda saya mulai banyak kerusakan. Di titik inilah saya baru paham arti kualitas. Saya pun menyesal kenapa waktu SD tidak memilih sepeda yang harga 1.000.000 saja. Saya membayangkan, andai dulu saya memilih sepeda 1.000.000 itu, pasti saya bisa bersepeda dengan lebih nyaman.

Lewat pengalaman remeh memilih sepeda itulah, saya bertekad tidak mau mengulanginya untuk hal lain yang lebih besar. Akhirnya, saya memutuskan jadi diri sendiri dalam hal:

Memilih SMA

Waktu saya lulus SMP, saya dihadapkan pada 2 pilihan. Pertama, pilih daftar SMA di kabupaten tempat saya tinggal. Kedua, pilih daftar SMA di luar kabupaten tempat saya tinggal. 

Ketika itu, belum ada sistem zonasi, jadi masih bisa bebas memilih. Saya memilih mendaftar SMA di luar kabupaten tempat saya tinggal (sebut saja SMA X). Bukannya apa-apa, tapi sejak lama saya memang ingin sekolah di sana. 

Lagi pula, rumah saya terletak di perbatasan. Jarak rumah saya ke SMA X lebih dekat dibandingkan jarak rumah saya ke SMA-SMA lain di kabupaten tempat saya tinggal.

Di SMA X, kuota bagi pendaftar luar daerah hanya dibatasi 20%. Orangtua sempat ragu, apakah akan diterima. Tapi, berbekal keyakinan dan searching berapa nilai minimal anak-anak luar daerah yang bisa diterima di SMA X itu pada tahun-tahun sebelumnya, saya mantap hanya mendaftar di SMA X tersebut. Dan, saya benar-benar diterima.

Mendaftar Perguruan Tinggi

Waktu saya lulus SMA, saya sengaja mendaftar di perguruan tinggi secara step by step. Saya hanya mendaftar SNMPTN, SBMPTN, dan Ujian Mandiri di satu PTN. Rencananya, kalau memang melalui 3 jalur itu semuanya gagal, barulah saya mendaftar Ujian Mandiri di PTN lain atau PTS. 

Beberapa teman saya ada yang panik sehingga dia mendaftar nyaris di semua kampus. Tapi, saya sudah memutuskan, bahwa saya mau daftar satu per satu saja. Saya mau menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Dan, akhirnya saya diterima lewat jalur Ujian Mandiri di PTN yang saya incar itu.

Memilih Tema Skripsi

Ketika memasuki semester 7, saya dihadapkan pada pemilihan tema skripsi. Saya sempat bimbang terkait tema seperti apa yang harus saya pilih. Di antara sekian banyak tema, pasti ada tema yang dianggap bergengsi dan tema yang dianggap kurang spektakuler. Selain itu, pasti ada dosen pembimbing yang diidolakan dan dosen pembimbing yang ditakuti oleh banyak mahasiswa.

Tapi, kemudian saya menyadari 1 hal. Bahwa, skripsi itu adalah tugas mandiri. Artinya, yang akan bergelut dengan skripsi, mencari literatur ke sana kemari, membuat pembahasan, hingga menarik kesimpulan adalah diri saya sendiri. Jadi, lebih baik saya menambil tema skripsi yang memang sesuai dengan minat dan kemampuan saya.

Setelah menimbang ini dan itu, saya pun memilih satu tema skripsi. Tema tersebut kurang populer dan tampak tidak istimewa. Bahkan, di angkatan saya, hanya saya seorang yang mengambil tema tersebut. 

Dan, saya mendapatkan seorang dosen pembimbing yang tampak tidak terlalu istimewa. Tapi, sungguh, yang terjadi di luar dugaan. Dosen tersebut sangat mempermudah jalan saya dalam pengerjaan skripsi. Pada akhirnya, skripsi saya selesai tepat waktu walau pun dengan tema dan dosen pembimbing yang biasa-biasa saja.

***

Di antara berbagai keputusan saya untuk berani beda itu, ada 1 benang merahnya. Bahwa, saya tidak ngawur dalam melakukan itu. saya memperhitungkan kapasitas diri. Saya tahu mana yang sebaiknya saya lakukan, mana yang tidak. Saya mengerti, hal apa yang bagus diterapkan di orang lain, tapi tidak bagus diterapkan pada diri saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya