Diet

Kalau mendengar kata “diet”, apa yang terlintas di benak kita? Mayoritas akan membayangkan diet adalah upaya mengurangi porsi makan untuk menurunkan berat badan. Tidak makan nasi, tidak makan gorengan, dan tidak minum manis. Itu yang membekas di kepala kita.

Padahal, sebenarnya diet adalah upaya mengatur pola makan. Jadi, tidak selalu ditujukan untuk menurunkan berat badan. Seseorang yang ingin menaikkan berat badan lalu menambah porsi makannya juga tergolong diet.

***

Oh, iya. Diet yang akan saya tulis di sini hanyalah diet dalam perspektif ibu saya. Ibu saya bukan dokter atau ahli gizi. Jadi, tulisan di bawah ini tidak berisi teori-teori diet ideal menurut kesehatan, tetapi lebih ke aspek filosofisnya. Tidak ada maksud menyinggung, menghina, menyalahkan, atau menyudutkan siapa pun dalam tulisan ini.

Tulisan berikut lebih membahas diet untuk menghasilkan berat badan yang wajar. Ibu saya sudah berumur 60 tahun namun berat badannya masih tergolong stabil. Beliau punya pengalaman dan pandangan tersendiri mengenai diet. Mungkin akan bermanfaat jika saya tuliskan poin-poinnya:

Kurangi Jumlah, Bukan Jenis

Idealnya, kita memang hanya memakan makanan yang clean. Maksudnya, makanan yang alami. Hanya melalui satu atau dua kali proses pemasakan. Tidak mengandung micin, gula, garam, dst. Jika kita bisa menghindari makanan seperti itu, tentu bagus sekali.

Namun, kehidupan nyata itu tidak ada yang ideal. Pun kita, sebagai manusia, juga jauh dari ideal. Jadi, menurut ibu saya, tak masalah makan apa pun, asal dalam jumlah wajar. Maksudnya, seleranya tidak diumbar terus-terusan. Secukupnya saja.

Misal, kita ingin makan suatu makanan, sebut saja X. Ya sudah, makanlah. Tapi, cukup 2 hingga 3 potong saja, jangan satu wajan dihabiskan semua. Juga, jika kita sudah terbiasa makan X, jangan lantas dihentikan total, tidak makan X sama sekali. Itu bisa bahaya. Kenapa? Karena, jangan-jangan, tubuh kita memang membutuhkan asupan X. Dan, jika tiba-tiba X itu “dicabut” begitu saja, tubuh bisa kaget dan bisa jadi menimbulkan penyakit yang tidak-tidak.

Menu Makanan Sederhana

Makanan yang sederhana itu seperti apa, sih?

Maksud makanan sederhana dalam hal ini adalah makanan rumahan, seperti tahu, tempe, sayur, ikan, dan sejenisnya. Makanan seperti ini harganya lebih murah dibandingkan makanan “enak” seperti daging sapi, ayam, udang, dan sejenisnya.

Siapa sih, yang tidak suka makan “enak”? Tentu semua orang menyukainya tanpa diajari. Namun, mayoritas makanan yang “enak” itu biasanya menggugah selera. Jika kita memakan tempe, paling-paling, cukup satu piring. Namun, jika kita memakan daging sapi, kita ingin tambah. Sepiring saja tidak cukup. Kita ingin sepiring lagi, lagi, dan lagi.

Jadi, memakan makanan yang sederhana adalah upaya diet secara alami. Otomatis, kita hanya akan makan dalam jumlah yang wajar atau bahkan sedikit, jika makanan yang ada di hadapan kita tergolong sederhana.

Mengatur Budget Makan

Walau terdengar sepele, sesungguhnya persoalan budget makanan itu penting diperhatikan. Diakui atau tidak, budget makan, jika tidak dibatasi sesuai kemampuan, akan membuat kita bangkrut.

Keuangan kita akan “bocor halus” jika tidak membatasi pengeluaran untuk makan.

Keuangan yang bocor karena membeli barang mewah, misal tas, kendaraan, liburan, dan sejenisnya lebih mudah ditanggulangi. Kita tinggal berhenti membeli barang-barang mewah itu, maka selesai urusannya.

Sementara itu, “bocor halus” karena boros membeli makanan seringkali tidak kita sadari. Karena, makanan itu sekilas terlihat remeh dan sepele. Misal, sekali jajan, kita mengeluarkan uang 20.000. Jika kita melakukannya setiap hari selama sebulan penuh, tentu berpengaruh pada kondisi keuangan kita. Apalagi, jika ekonomi atau pemasukan kita pas-pasan.

Kita tidak sadar karena mengeluarkan uangnya terlihat sedikit demi sedikit. Namun, seperti kata pepatah, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, kan? Itu artinya, lama-lama keuangan kita berantakan begitu saja akibat boros membeli makanan.

Bertahan dengan Masakan yang Ada

Ibu saya selalu menekankan agar kami sekeluarga mau memakan makanan yang sudah dimasaknya. Menurut ibu, walau masakannya terlihat itu-itu saja, tidak mewah, tidak menggugah selera, ya, tetap harus dimakan.

“Kalau ibu sudah memasak, lantas, karena tidak ‘enak’, misalnya, kamu makan ayam di luar, kakakmu beli bakmi di luar, dan ayahmu ingin sate di luar, itu namanya tidak bertanggung jawab,” ibu melanjutkan, “kalau ibu sudah memasak, dan masakannya tidak sesuai seleramu, ya, anggap itu sebagai ujian. Bahwa, tidak selamanya kamu berhadapan dengan yang ‘enak’. Bahwa, kadangkala, kamu, harus menghadapi keadaan yang tidak sesuai keinginanmu.”

Saya berusaha mencerna perkataan ibu. Saya pikir, ada benarnya juga apa yang ibu sampaikan. Jadi, sejak saat itu, saya berusaha menahan diri. Dulu, ketika masakan ibu tidak sesuai keinginan saya, biasanya saya akan meminta tolong ayah untuk beli sate di luar. Tapi, sejak ibu bilang seperti itu, saya merasa harus menghentikan kebiasaan saya itu.

Jika masakan ibu tak sesuai selera, saya tetap berusaha memakannya, walau dengan porsi yang lebih sedikit dari biasanya. Tidak apa-apa, anggap saja sebagai upaya diet alami.

Jadi, begitulah diet versi ibu saya. Intinya, diet harus realistis. Tidak perlu menyiksa diri karena itu hanya merepotkan diri sendiri dan orang lain.

Segala sesuatu sudah ada hitungannya. Semua hanya berkutat pada kalori masuk dan kalori keluar. Jika kalori masuk jauh lebih besar dari kalori keluar, tentu akan tertimbun menjadi lemak. Dan, kalori, erat kaitannya dengan jumlah dan jenis makanan yang kita konsumsi.

***

Masih berhubungan dengan porsi makan, saya teringat perkataan salah seorang guru SMP. Beliau berujar, “Orang gemuk itu mengaku hanya makan sedikit, tapi, kok, tetap gemuk? Padahal, iya, dia makan sedikit, tapi hanya nasinya. Di luar itu, dia ngemil banyak, tapi tidak sadar.”

Saya tersenyum mendengar kalimat itu. Eh, tapi rupanya masih ada lanjutannya, “Sebaliknya, orang kurus itu mengaku sudah makan banyak, tapi, kok, tetap kurus? Padahal, dia hanya mengambil banyak makanan, tapi tidak dihabiskan. Atau, dia hanya banyak makan nasi, tapi tidak doyan ngemil.”

Mendengar kalimat kedua ini, senyum saya tambah lebar, karena ini persis sekali dengan kebiasaan saya. Benar, saya merasa sudah makan banyak tapi badan tetap kecil. Padahal, saya hanya “merasa” sudah makan banyak. Kenyataannya, masih jauh dari katagori “banyak” ini.

Ya, begitulah manusia. Baik yang gemuk maupun yang kurus, seringkali mengeluhkan keadaan badannya. Lebih parah lagi, menganggap dunia tidak adil karena merasa sudah berupaya keras tapi hasilnya masih tidak sesuai harapan.

Padahal, bisa jadi, usahanya belum cukup nyata. Bagaimana mungkin, kita mengharapkan hasil yang nyata sementara upayanya hanya ada di angan-angan?

Termasuk saya. Sudah dari zaman kapan ingin menambah berat badan. Tapi, jangankan ngemil yang banyak. Makan tiga kali sehari saja masih sering bolong-bolong.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya