Mengambil Seragam Olahraga Berujung Celaka

Ketika masih sekolah, kita sering dihadapkan pada kekhawatiran. Misal, khawatir karena belum mengerjakan PR, khawatir kalau ditunjuk guru untuk mengerjakan soal matematika di depan kelas, khawatir karena lupa bawa topi saat ada upacara bendera, khawatir karena akan ada ulangan, hingga khawatir karena seragam olahraga ketinggalan. 

Kalau kita yang sudah dewasa ini melihat itu semua, kita akan mikir, "Alah, gitu doang kok dipikirin." Tapi jangan salah. Bagi anak SD, ketakutan yang timbul karena lupa tidak bawa LKS suatu mata pelajaran misalnya, itu tidak dibuat-buat, lho.

*** 
Saya ingat, waktu SD pernah berbuat konyol hanya gara-gara lupa bawa seragam olahraga. 

Jadi, suatu hari, saya lupa bawa seragam olahraga, padahal ada jadwal pelajarannya sebentar lagi. Saya langsung panik. Dan, yang terlintas di benak saya adalah, saya harus segera mengambil seragam olahraga di rumah. Sebab, saya takut dihukum oleh guru karena tidak pakai seragam olahraga saat jam pelajaran olahraga berlangsung. 

Karena rumah saya lumayan jauh, yakni sekitar 3 kilometer dari sekolah, maka saya harus naik sepeda.

Singkat cerita, saya naik sepeda dengan sengebut-ngebutnya. Saat perjalanan dari sekolah ke rumah, saya tidak menemui kendala. Seragam olahraga berhasil saya ambil. Namun, ketika perjalanan dari rumah ke sekolah, saya tertimpa musibah ringan.

Di suatu jalan yang curam, saya terjatuh dari sepeda. Sepeda saya terpental beberapa meter. Dan, dengkul saya menghantam jalan. Jadilah darah mengucur deras dari dengkul saya. 

Sampai sekolah, saya segera mengganti seragam merah putih dengan seragam olahraga yang baru selesai saya ambil. Celana olahraga saya pendek selutut. Jadilah luka di dengkul saya amat terlihat. 

Namun, saya tak mau ada seorang pun yang mengetahui keberadaan luka itu. Akhirnya, celana olahraga sedikit saya pelorotkan ke bawah agar menutupi luka di dengkul. Sepanjang pelajaran olahraga di lapangan berlangsung, saya hanya fokus meringis menahan perih. 

Saya sengaja tidak menceritakan luka itu pada siapa pun, termasuk pada guru olahraga. Sebenarnya, saya ingin ke UKS untuk sekadar meminta obat merah dan kapas. Tapi, saya terlalu khawatir, kalau-kalau, nanti saya ditanya-tanyai kenapa dengkulnya bisa berdarah begitu. Saya membayangkan, kalau saya ke UKS dan berterus terang bahwa saya baru saja jatuh dari sepeda ketika mengambil seragam olahraga yang tertinggal di rumah, nantinya saya akan disalahkan, "Lha kamu ngapain pulang? Kan rumahmu jauh. Seharusnya, kamu gak usah pulang. Seharusnya, kamu jujur saja pada guru olahraga bahwa seragam olahragamu ketinggalan."

Lihat pengalaman saya di atas. Betapa saya sebagai anak SD (ketika itu), terlalu khawatir, tapi tidak pada tempatnya. Seragam olahraga saya ketinggalan. Alih-alih ingin menyelesaikan masalah itu (dengan cara pulang dan mengambilnya di rumah), malah tertimpa masalah baru (jatuh dari sepeda). Dengan kata lain, saya menyelesaikan masalah dengan masalah.

Kalau dipikir sekarang. Kenapa saya dulu sampai sebegitunya, ya? 

Padahal, kalau ketika itu saya pasrah saja, dan bilang terus terang saja ke guru olahraga bahwa seragam olahraga saya ketinggalan, mungkin, guru olahraganya tidak menghukum saya, lho. Bisa jadi, saya gak dihukum dan malah diperbolehkan menonton teman-teman yang sedang olahraga dari pinggir lapangan. Atau, pait-paitnya, paling-paling, saya dikasih tugas pengganti. Kalau pun saya merasa malu karena dihukum, paling-paling, malunya hanya di hari itu. Setelahnya, teman sekelas udah pada lupa. Saya tidak akan dikeluarkan dari sekolah hanya gara-gara lupa bawa seragam olahraga. Intinya, walaupun lupa bawa seragam olahraga, saya tetap bakalan hidup.

*** 
Eh, tapi, ada lho, fenomena seorang murid meninggal dunia hanya gara-gara seragam olahraga.

Begini ceritanya. Ada seorang murid SMA yang lupa bawa seragam olahraga. Dia pun pulang ke rumahnya untuk mengambil seragam olahraga dengan mengendarai sepeda motor. Perjalanan dari sekolah menuju rumah tidak masalah. Seragam olahraga berhasil digenggamnya.

Namun, ketika dia mengendarai motor dari rumah ke sekolah, dia tertimpa kecelakaan. Mungkin karena saking buru-burunya, dia memacu motornya secepat mungkin. Malang tak dapat ditolak. Dari arah berlawanan, ada truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka tabrakan. Dan, si bocah SMA meninggal saat itu juga dengan organ otaknya mencelat keluar.

*** 
Dua cerita di atas, yaitu cerita pengalaman saya ketika SD dan cerita pengalaman si murid SMA, punya kesamaan. Saya dan murid SMA tersebut sama-sama bocah. Pemikirannya juga masih kebocah-bocahan. Kami sama-sama memandang masalah tidak sesuai proporsinya. Masalah sepele kami anggap besar. Masalah besar kami anggap sepele. 

Dalam hal ini, lupa bawa seragam olahraga sebenarnya merupakan masalah sepele. Cara mengatasinya, ya, cukup dihadapi saja. Ngaku saja ke guru olahraga. Mungkin akan dihukum, mungkin juga tidak. Kalau pun memang dihukum, hukumannya masih ringan, kan?

Sementara itu, keselamatan, sebenarnya merupakan masalah serius. Seharusnya, kalau dengkul saya sudah terlanjur babak belur, ya, berterus terang saja. Dengkul saya bisa segera diobati sehingga penyembuhannya lebih cepat. Ngomong-ngomong, gara-gara waktu itu gak segera diobati, waktu pemulihan luka di dengkul saya jadi lama, lho. Selama berhari-hari mengeluarkan nanah yang harus selalu dibersihkan tiap beberapa jam sekali. Bahkan, sampai sekarang, masih ada bekasnya.

Saya masih beruntung. Setidaknya, hanya dengkul saya yang melayang. Cukup dengan diobati rutin, katakanlah, selama seminggu sudah membaik. 

Sementara itu, si murid SMA harus merelakan nyawanya yang melayang. Lebih tepatnya, yang harus rela adalah keluarga dan sanak saudara yang ditinggalkannya.

*** 
Itulah pola pikir seorang bocah. Yang membedakan bocah dengan orang dewasa adalah ruang lingkup pengetahuannya. Ruang lingkup pengetahuan bocah masih amat terbatas. Jumlah masalah yang pernah dihadapinya masih sedikit. Jadi, bocah menganggap masalah yang sedang menimpanya itu adalah masalah serius. Tapi, dia menyelesaikannya dengan caranya sendiri, yang sayangnya, sering tidak tepat.

Sementara itu, ruang lingkup pengetahuan orang dewasa sudah lebih luas. Jumlah masalah yang pernah dihadapinya juga lebih banyak. Jadi, ketika tertimpa masalah, orang dewasa tahu seberapa tingkatannya, apakah termasuk masalah serius atau masalah kecil. Dan, orang dewasa sudah punya cukup banyak amunisi dan kejernihan pikiran untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara yang tepat.

Jika ada dua orang (satu orang sudah dewasa dan satunya masih bocah) tertimpa masalah yang sama, pasti respon dalam menghadapi masalah itu berbeda.

Jika kita masih bocah, kita cenderung belum logis dalam menyelesaikan masalah. Ketika tertimpa satu masalah, kita berusaha selesaikan. Masalah awal bisa selesai, sih. Tapi, timbul masalah baru. Kalau kata pepatah, "Sudah jatuh, tertimpa tangga pula."

Tapi, lain halnya jika kita sudah dewasa. Saat tertimpa masalah, kita merenung dulu, dan berpikir dulu, hal logis apa yang bisa kita lakukan. Sehingga, masalah kita benar-benar selesai. Tanpa melebar ke mana-mana. Dan tentunya tidak menyeret masalah baru.

Komentar

  1. Aku waktu sd penakut banget kalo urusan sekolah gak selesai kaya pr ya auto nangis wkwk ah kalo di inget malu"in dan cemen banget :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya