Sang Ahli Stalking yang Ingin Insaf
Stalking atau kepo terhadap kehidupan orang lain itu awalnya terasa menyenangkan. Jujur saja, dulu ketika masih sekolah atau kuliah, aku sering stalking teman-temanku yang hitz atau populer atau primadona. Mereka adalah orang-orang yang selalu menarik perhatian. Biasanya, untuk tahap awal, aku search di Google, lalu munculah nama sosial media mereka, mulai dari Instagram, Facebook, Twitter, AskFm, hingga LinkedIn. Kemudian, aku telusuri satu per satu foto, video, dan status mereka. Benar-benar kupelototi semua. Dengan mengubek-ubek itu semua, mulanya, aku bangga. Seolah-olah, wawasanku bertambah. Juga, seakan-akan, aku adalah detektif yang bisa mengungkap suatu rahasia. Tapi… Seiring berjalannya waktu, ada rasa tidak nyaman yang menyelimutiku setelah sesi stalking usai: Pertama, aku menyesal sudah membuang-buang waktu berjam-jam —yang sebetulnya bisa kugunakan untuk hal lain yang lebih berfaedah. Kedua, aku jadi tahu sisi gelap, kekurangan, dan kesalahan seseora...