Sumber: unsplash.com/@elizabethlies
Baca sebelumnya: Part 12
Pukul 05.00 di hari Minggu, alarm-mu berdering. Rencananya, kau ingin mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan Senin pagi. Kau tak kunjung bangun. Alarm-mu terus kau tunda.
Sekarang, sudah 5 menit berlalu. Dan, alarm kembali berbunyi. Namun, kau masih tidur. Entah sudah berapa kali kau menunda-nunda alarm.
Ketika matamu terbuka sepenuhnya, jam sudah menunjukkan angka 09.00. Kau pun bangkit menuju meja belajar. Ingin mengerjakan tugas.
Baru 10 menit menatap layar laptop, kau sudah gagal fokus. Kau ambil handphone di samping laptop. “Lima menit aja main handphone, gak apa-apa lah, ya,” batinmu. Tapi, sosial media dengan segala daya tariknya, terlalu sayang untuk ditinggalkan.
Semula hanya membuka feed Instagram. Lalu, bergulir ke bagian explore, yang entah kenapa dipenuhi postingan nyaris seragam. Rupanya ada berita viral. Ada seorang artis yang sedang terkena kasus.
Berita viral itu menjadi trending topic di mana-mana. Dalam waktu singkat, akun sosial media artis yang bersangkutan diserbu komentar netizen. Ada yang menghujat, membela, bahkan menganggapnya setting-an belaka. Dan kau, terus membaca ribuan komentar itu, satu per satu.
Melihat pemberitaan itu dalam sekelebat saja kau sudah heran. Tapi, kau ketagihan. Kau ingin mengorek fakta yang lebih menggegerkan lagi, sambil bertanya-tanya, “Masak sih, si anu itu begitu?”
Tidak terasa, 2 jam sudah kauhabiskan waktumu untuk memelototi berita itu. Berlama-lama duduk di kursi, membuat punggungmu pegal. Maka, secara refleks, kau menuju kasur untuk rebahan.
“Aku mau dengerin satu lagu saja di YouTube,” batinmu.
Tapi, algoritma YouTube sangat cerdik. Mereka memahami kebiasaanmu dan keinginanmu. Di bawah video clip lagu yang sedang kau setel, ada banyak related video yang juga kau sukai. Kau tak mampu menahan gerakan jempolmu. Pada akhirnya, lagu yang kau putar tidak hanya 1, tapi 10.
Kau sangat betah rebahan sambil bergonta-ganti tontonan. Tak terasa, hari sudah larut malam. Tugasmu masih belum kausentuh, padahal, deadline-nya besok pagi.
Kau pun kembali membuka laptopmu. Baru kausadari bahwa tugasmu rumit dan banyak. Sebenarnya, kau diberi waktu selama seminggu untuk mengerjakannya. Tapi, kau baru akan menyentuhnya sekarang, kurang dari 1 hari menjelang deadline.
“Aduh, mana bisa selesai?” gerutumu sambil mengacak-acak rambut karena putus asa.
Maka, kau menggarap tugas seperti orang kesetanan. Segala kekuatan kaukerahkan. Tak ada lagi waktu untuk berleha-leha. Bahkan, kau rela begadang, tidak tidur semalam suntuk.
Tanpa terasa, azan Subuh sudah berkumandang. Tugasmu, masih ada yang kurang. Deadline mengumpulkan tugas tinggal 3 jam lagi. Sementara itu, matamu sudah lengket sebab selama semalam belum kaupicingkan walau sedetik. Kau terus berkutat dengan tugasmu.
Akhirnya, satu jam menjelang deadline pegumpulan, tugasmu selesai juga.
Pagi ini, tak ada hal lain yang kaupikirkan selain mengumpulkan tugas. Kau tidak mandi, hanya membasuh muka dan menggosok gigi sekenanya. Kau rela tidak sarapan, hanya minum segelas air putih dan mencomot sebuah roti tawar. Dan kau, salat Subuh saat matahari sudah terang benderang, dengan amat terburu-buru.
Tugasmu memang sudah selesai. Namun, jujur, kau merasa tak puas sebab tugasmu masih belum maksimal. Kau pun kapok, lalu berkata, “Aku ingin berubah,” lanjutmu, “next time, aku ingin nyicil mengerjakan tugas dari jauh hari, gak mau lagi mepet deadline.”
Tapi, penyesalan hanya datang pada hari itu. Setelahnya, kau kumat lagi. Kapok lagi. Begitu seterusnya.
Dan, akibat terbiasa begadang semalam suntuk, kau tak pernah bisa bangun pagi. Siklus hidupmu terbalik. Kau tidur di siang hingga sore, dan terjaga pada malam hingga pagi. Kau ingin hidup normal. Tapi, kau hanya ingin, tidak menindaklanjutinya.
Keresahanmu mendorongmu untuk mencari solusi di internet. Artikel “Cara Cepat Tertidur, “Cara Mengatasi Insomnia”, dan “Cara Agar Tidak Kecanduan Gadget” sudah kaubaca semua. Dan kau, tidak menemukan jawaban gamblang di dalamnya. Inti artikel-artikel itu hanya mengimbau agar kau bisa mengendalikan diri.
Sadarkah kau bahwa perihal rebahan ini unik?
Ketika mengikuti Masa Orientasi Siswa, kau berusaha mendapatkan benda-benda yang harus kaubawa, walaupun aneh dan sulit diperoleh. Sebab, ada Komisi Kedisiplinan yang akan menghukummu jika kau tak patuh.
Setelah menjadi siswa di sekolah tersebut, kau berusaha datang ke sekolah tepat waktu. Sebab jika terlambat, ada guru Bimbingan Konseling yang memberimu skors.
Lalu, saat mengendarai motor di jalan raya, kau berhenti ketika lampu merah menyala. Karena, ada polisi yang akan menilangmu jika kau melanggar.
Sayangnya, untuk masalah rebahan berlebihan, tidak ada pihak luar yang akan menghukummu. Kau punya peran ganda. Kau adalah pelaku rebahan, sekaligus “polisi” untuk dirimu sendiri.
Percuma saja kau membuat jadwal, menyetel alarm, dan memasang kata-kata motivasi di wallpaper handphone, jika kau tidak mematuhinya. Memang, masa-masa transisi menuju kebiasaan baru itu berat. Kau harus babak belur melawan godaan rebahan di kasur empuk. Tapi, setidaknya, kau hanya tersiksa saat itu, dan ringan setelahnya. Lebih berat mana, jika dibandingkan dengan akumulasi kegagalan yang harus kaupikul kelak di kemudian hari?
Baca selanjutnya: Part 14