Cerita Fiksi: Pesan Terakhir si Handphone Tua
Akan kusampaikan
sebuah pesan padamu, kawan, yang selama ini hanya kupendam.
Masih membekas di benakku. Dulu, ketika baru, aku disayang-sayang pemilikku. Tubuhku tak dibiarkan telanjang; diberi pakaian berupa soft case terbaik; dibelai-belai; disentuh dengan lembut.
Tapi, lama-lama,
pemilikku memperlakukanku dengan brutal. Ketika dia ingin buang air besar
misalnya, aku diajaknya ke kamar mandi. Dia menyiksaku dengan aroma yang keluar
dari duburnya. Sementara itu, di saat bersamaan, aku disuruh menghiburnya;
melantunkan lagu kesukaannya.
Tak hanya itu. Aku
dipekerjakan selama 12 jam non-stop setiap hari. Padahal, manusia saja
sudah mengeluh ketika bekerja 8 jam sehari. Bisa kau bayangkan, betapa lelahnya
diriku?
Ketika pemilikku
bersantai, aku justru bekerja keras. Aku disuruh menyajikan apa pun yang ingin
dia lihat saat itu juga. Bahkan, pemilikku sering menyuruhku multitasking.
Misalnya, dia ingin menyetel lagu sambil membuka sosial media. Atau, menonton
YouTube sambil membaca komentar.
Asal kau tahu, kawan,
sebenarnya, aku amat kelelahan melakukannya. Tapi, bagaimana pun, aku harus
menuruti semua perintah pemilikku.
Sejak umurku semakin menua,
pemilikku sering mengolok-olokku dengan sebutan “handphone kentang”.
Kata “kentang” adalah istilah gaul, merupakan singkatan dari “kena tanggung”,
yaitu sebutan bagi handphone yang sudah berumur, lemot, dan ketinggalan
zaman.
Bayangkan! Pemilikku
saja malu mengakui keberadaanku. Dia membandingkan diriku dengan temanku, yakni
handphone milik orang lain. Ya jelas saja temanku itu masih gesit,
canggih, sigap, cekatan, dan tidak lemot. Lha wong temanku itu berusia
lebih muda dariku. Lihat saja kalau temanku itu sudah seumuran denganku, pasti
akan jadi handphone kentang juga.
Memang sih, selama
ini, pemilikku selalu memberiku makan, yakni isi ulang pulsa, dengan tepat
waktu. Tapi, dia sering terlambat memberiku minum. Minumku itu berupa charging
atau pengecasan baterai. Saat bateraiku tinggal 15%, pemilikku masih saja
menyuruhku bekerja. Padahal, aku sudah kehausan. Nyaris dehidrasi.
Akibatnya, tak
berselang lama kemudian, bateraiku 0%, aku tak kuat lagi, dan aku pingsan untuk
sementara waktu. Tentu saja, pemilikku langsung memberiku minum. Dan, aku bisa
siuman. Tapi, baru beberapa menit aku melek, pemilikku sudah menyuruhku kerja
lagi. Mbok ya ditunggu sampai bateraiku penuh dulu gitu, lho. Gak sabaran
banget, sih.
Di umur yang sudah tua
ini, aku sering kewalahan. Kadang, saat pemilikku menyuruhku bekerja dengan
cepat, aku tak bisa menuruti keinginannya. Aku hanya stagnan di satu aplikasi.
Pemilikku sudah menyentuh layarku berkali-kali, tapi aku masih belum bisa
beranjak keluar dari aplikasi itu. Pemilikku menyebut ini dengan istilah nge-hang.
Tempo hari, pemilikku
tak konsentrasi saat memegangku, sehingga tubuhku terlepas dari genggamannya,
lalu aku terjun bebas, dan mencium lantai tanpa ampun. Sekarang, aku menderita
cacat. Tubuhku rusak. Layarku retak. Tombol power-ku tidak berfungsi
optimal. Kameraku buram. Tampaknya, pemilikku tak akan mengajakku berobat ke service
center. Dia terlalu malas untuk itu. Paling-paling, bulan depan, ketika
sudah gajian, aku akan dijualnya dan ditukar tambah dengan handphone
baru.
Mungkin, ini bulan
terakhir aku bersama pemilikku. Bisa jadi, ini juga menjadi bulan terakhir aku
hidup. Maka, sebelum aku berpindah pemilik dan tentunya, sebelum aku mati, aku
mau menyampaikan ini.
Tolong, perlakukan bangsa kami (para handphone) dengan sopan. Jangan cuma beri kami makan dan minum, tapi juga beri kami waktu istirahat yang cukup. Tidak hanya manusia yang bisa penat setelah bekerja seharian. Kami juga. Tidak hanya manusia yang punya hak asasi untuk diperlakukan secara wajar. Kami juga.
Komentar
Posting Komentar