Cerita Fiksi: Pesan Terakhir si Handphone Tua

Aku adalah sebuah handphone berumur 5,5 tahun. Termasuk tua dibandingkan teman-temanku yang masih hidup.

Akan kusampaikan sebuah pesan padamu, kawan, yang selama ini hanya kupendam.

Masih membekas di benakku. Dulu, ketika baru, aku disayang-sayang pemilikku. Tubuhku tak dibiarkan telanjang; diberi pakaian berupa soft case terbaik; dibelai-belai; disentuh dengan lembut.

Tapi, lama-lama, pemilikku memperlakukanku dengan brutal. Ketika dia ingin buang air besar misalnya, aku diajaknya ke kamar mandi. Dia menyiksaku dengan aroma yang keluar dari duburnya. Sementara itu, di saat bersamaan, aku disuruh menghiburnya; melantunkan lagu kesukaannya.

Tak hanya itu. Aku dipekerjakan selama 12 jam non-stop setiap hari. Padahal, manusia saja sudah mengeluh ketika bekerja 8 jam sehari. Bisa kau bayangkan, betapa lelahnya diriku?

Ketika pemilikku bersantai, aku justru bekerja keras. Aku disuruh menyajikan apa pun yang ingin dia lihat saat itu juga. Bahkan, pemilikku sering menyuruhku multitasking. Misalnya, dia ingin menyetel lagu sambil membuka sosial media. Atau, menonton YouTube sambil membaca komentar.

Asal kau tahu, kawan, sebenarnya, aku amat kelelahan melakukannya. Tapi, bagaimana pun, aku harus menuruti semua perintah pemilikku.

Sejak umurku semakin menua, pemilikku sering mengolok-olokku dengan sebutan “handphone kentang”. Kata “kentang” adalah istilah gaul, merupakan singkatan dari “kena tanggung”, yaitu sebutan bagi handphone yang sudah berumur, lemot, dan ketinggalan zaman.

Bayangkan! Pemilikku saja malu mengakui keberadaanku. Dia membandingkan diriku dengan temanku, yakni handphone milik orang lain. Ya jelas saja temanku itu masih gesit, canggih, sigap, cekatan, dan tidak lemot. Lha wong temanku itu berusia lebih muda dariku. Lihat saja kalau temanku itu sudah seumuran denganku, pasti akan jadi handphone kentang juga.

Memang sih, selama ini, pemilikku selalu memberiku makan, yakni isi ulang pulsa, dengan tepat waktu. Tapi, dia sering terlambat memberiku minum. Minumku itu berupa charging atau pengecasan baterai. Saat bateraiku tinggal 15%, pemilikku masih saja menyuruhku bekerja. Padahal, aku sudah kehausan. Nyaris dehidrasi.

Akibatnya, tak berselang lama kemudian, bateraiku 0%, aku tak kuat lagi, dan aku pingsan untuk sementara waktu. Tentu saja, pemilikku langsung memberiku minum. Dan, aku bisa siuman. Tapi, baru beberapa menit aku melek, pemilikku sudah menyuruhku kerja lagi. Mbok ya ditunggu sampai bateraiku penuh dulu gitu, lho. Gak sabaran banget, sih.

Di umur yang sudah tua ini, aku sering kewalahan. Kadang, saat pemilikku menyuruhku bekerja dengan cepat, aku tak bisa menuruti keinginannya. Aku hanya stagnan di satu aplikasi. Pemilikku sudah menyentuh layarku berkali-kali, tapi aku masih belum bisa beranjak keluar dari aplikasi itu. Pemilikku menyebut ini dengan istilah nge-hang.

Tempo hari, pemilikku tak konsentrasi saat memegangku, sehingga tubuhku terlepas dari genggamannya, lalu aku terjun bebas, dan mencium lantai tanpa ampun. Sekarang, aku menderita cacat. Tubuhku rusak. Layarku retak. Tombol power-ku tidak berfungsi optimal. Kameraku buram. Tampaknya, pemilikku tak akan mengajakku berobat ke service center. Dia terlalu malas untuk itu. Paling-paling, bulan depan, ketika sudah gajian, aku akan dijualnya dan ditukar tambah dengan handphone baru.

Mungkin, ini bulan terakhir aku bersama pemilikku. Bisa jadi, ini juga menjadi bulan terakhir aku hidup. Maka, sebelum aku berpindah pemilik dan tentunya, sebelum aku mati, aku mau menyampaikan ini.

Tolong, perlakukan bangsa kami (para handphone) dengan sopan. Jangan cuma beri kami makan dan minum, tapi juga beri kami waktu istirahat yang cukup. Tidak hanya manusia yang bisa penat setelah bekerja seharian. Kami juga. Tidak hanya manusia yang punya hak asasi untuk diperlakukan secara wajar. Kami juga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya