Sang Ahli Stalking yang Ingin Insaf
Jujur saja, dulu ketika masih sekolah atau kuliah, aku sering stalking teman-temanku
yang hitz atau populer atau primadona. Mereka adalah orang-orang yang selalu
menarik perhatian.
Biasanya, untuk tahap
awal, aku search di Google, lalu munculah nama sosial media mereka,
mulai dari Instagram, Facebook, Twitter, AskFm, hingga LinkedIn. Kemudian, aku
telusuri satu per satu foto, video, dan status mereka. Benar-benar kupelototi
semua.
Dengan mengubek-ubek
itu semua, mulanya, aku bangga. Seolah-olah, wawasanku bertambah. Juga, seakan-akan,
aku adalah detektif yang bisa mengungkap suatu rahasia.
Tapi…
Seiring berjalannya
waktu, ada rasa tidak nyaman yang menyelimutiku setelah sesi stalking
usai:
Pertama, aku
menyesal sudah membuang-buang waktu berjam-jam—yang sebetulnya bisa kugunakan untuk hal lain
yang lebih berfaedah.
Kedua, aku jadi
tahu sisi gelap, kekurangan, dan kesalahan seseorang di masa lalu.
Ketiga, aku merasa
sudah masuk terlalu jauh ke dalam kehidupan seseorang. Misalnya, seputar kisah percintaan si A dan
si B. Aku tahu kapan mereka jadian. Betapa romantisnya kebersamaan mereka. Hingga
akhirnya mereka putus. Lalu, mereka menghapus semua posting-an yang
dulu-dulu.
Dan, yang lebih parah
lagi adalah, ketika mereka yang sudah putus itu (si A dan si B), sudah move
on dan berbahagia dengan pasangan baru masing-masing, aku masih saja terbayang-bayang
ketika mereka (si A dan si B) masih bersama.
Di titik ini, aku
merasa, kebiasaanku stalking sudah tidak sehat. Bagaimana bisa, orang
yang menjalani saja sudah move on, lha kok, aku yang hanya sebagai
penonton ini, malah repot sendiri?
Selain itu, belum lama ini, aku mengalami kejadian yang tidak biasa.
Jika dulu aku adalah pelaku stalking,
baru-baru ini, aku menjadi objeknya. Dengan kata lain, ada seseorang yang nge-stalking
aku.
Jadi, suatu pagi, aku
baru bangun tidur. Aku dikagetkan oleh sebuah notifikasi. Rupanya ada seseorang
yang baru saja melihat profil LinkedIn-ku. Aku kaget atas 2 hal. Pertama,
ternyata LinkeIn itu merekam semua aktivitas pengguna—sampai-sampai,
memberitahu siapa saja yang telah membuka profil kita. Kedua, ngapain orang itu
membuka profil LinkedIn-ku? FYI, aku sudah lost contact dengannya sejak
bertahun-tahun lalu.
Baru kali ini aku tahu bagaimana rasanya di-stalking orang lain.
Rasanya itu antara bingung, ingin tertawa,
sekaligus waswas. Jangan-jangan, dulu, selama aku nge-stalking orang
lain, juga meninggalkan jejak? Bisa saja kan, waktu aku buka sosial media
orang lain, eh, gak sadar memencet tombol likes.
Akhirnya, aku berusaha mengurangi aktivitas stalking.
Tidak usah menjadi ahli sejarah atas hidup orang lain. Ingin insaf
sajalah.
Lalu, aku melakukan
beberapa cara yang bisa mengurangi intensitas stalking:
Pertama, aku
sengaja meng-kudet-kan diri. Aku
berusaha mengurangi aktivitas menonton kehidupan orang lain. Aku sengaja nge-hide,
unfollow, unfriend, dan memblokir akun, story, atau pun status orang
lain yang mengganggu. Tontonan atau pemberitaan yang penuh drama sengaja
kuhindari. Berita viral yang sekiranya meresahkanku juga kujauhi. Biarlah aku
jadi manusia kudet alias kurang update.
Kedua, aku berusaha
menikmati aktivitas sekecil apa pun yang sedang kulakukan. Dulu, aku sangat tidak menikmati momen-momen
yang terasa remeh seperti mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur baju, dan
menguras bak mandi. Dulu, ketika menjalani aktivitas itu, yang ada di otakku
hanya satu, yaitu ingin cepat selesai. Sekarang, aku berusaha menghayatinya. Mengerjakannya
step by step, hingga bersih dan tuntas. Dan, ternyata cukup
menyenangkan. Setidaknya, untuk beberapa saat, keinginanku untuk stalking
itu teralihkan.
Apakah sekarang aku
sudah 100% bersih dari aktivitas stalking?
Oh, tentu tidak. Kadang, jempolku masih gatal ingin klik sana
klik sini, scroll sana scroll sini. Tapi, setidaknya,
durasinya sudah berkurang. Jika dulu aku bisa nge-stalking Instagram
seseorang hingga posting-an pertamanya (padahal ada ribuan foto yang
sudah dia posting). Sekarang, aku mencoba untuk membatasi. Jadi, kalau
sekiranya aku sudah hampir nge-scroll terlalu jauh, aku langsung close
Instagram saat itu juga.
Ya memang harus pelan-pelan. Kan, kemampuan stalking-ku sudah level ahli. Segala teknik dan metode stalking itu sudah amat mendarah daging di diriku. Jadi, untuk melepasnya, perlu proses yang tidak instan. Sedikit demi sedikit.
Komentar
Posting Komentar