Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2021

4 Tips Mencegah Mabuk Kendaraan yang Gak Berefek di Aku

Aku baru menyadari bahwa aku mengidap mabuk kendaraan itu waktu study tour ke Bali zaman SMP.  Waktu itu, pagi-pagi sekali aku berangkat dari rumah.  Begitu aku masuk ke dalam bus pariwisata, bau-bau kendaraan langsung menyergap hidungku. Bau-bau yang menurutku sangat menyengat. Entah, itu tuh bau busnya, mesinnya, bensinnya, atau mungkin wewangiannya yang langsung membuatku mual.  Selama beberapa jam perjalanan, aku masih bisa "mengakali" ketidaknyamananku dengan cara bernapas lewat mulut. Tetapi, lama-lama, ketika bus sudah sampai daerah Nganjuk, Jawa Timur, aku gak kuat lagi. Mulutku mulai terasa asin.  Tiba-tiba...  Hoeeekkkkkk ... Aku muntah.  Untung sebelumnya aku sudah membuka plastik kresek dan mengarahkan mulutku ke situ, sehingga muntahanku aman, tidak kena teman di sampingku.  Tapi tetap saja, rasanya gak enak. Dan, gara-gara suara muntahku yang cukup nyaring itu, semua orang di bus menoleh ke arahku.  Sejak saat itu, aku jadi sering trial and error , mencoba b

Tentang Nama Panggilan

Sebagaimana kita ketahui, bahwa ada orang yang nama panggilannya adalah nama depan. Misal, nama lengkapnya Wiwik Sulastri, nama panggilannya Wiwik.  Ada juga yang nama panggilannya adalah nama tengah atau nama belakang. Misal, nama lengkapnya Vita Wulandari, nama panggilannya Wulan.  Ada pula nama panggilan yang tercipta karena cadel sewaktu kecil, dan akhirnya keterusan sampai dewasa. Misal, nama lengkapnya Alisa Cahya. Sebenarnya, orang tua si Alisa Cahya ini sudah menyiapkan nama panggilan untuknya, yaitu Cahya. Tapi, karena waktu kecil si Cahya masih cadel, belum bisa ngomong Cahya, bisanya ngomong Aya, jadilah hingga dewasa nama panggilannya adalah Aya.   Kasus seperti Aya ini menurutku masih mending. Setidaknya, Alisa Cahya masih mengandung unsur "Aya".  Eh, tapi ada juga yang nama panggilannya sama sekali gak ada di nama lengkapnya. Misal, nama lengkapnya Yaumil Husna, nama panggilannya Sasa. Itu "Sasa" dari mananya, cobak? Yaumil Husna kan gak ada unsur Sasa

Panitia Remidi

Ada satu istilah lucu di zaman aku sekolah dulu, yakni panitia remidi .  Saat Ujian Akhir Semester (UAS) berakhir, nilai-nilai siswa dipajang di papan pengumuman. Siswa yang nilainya di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), harus ikut remidi. By the way , mengenai bentuk remidinya seperti apa, itu macem-macem. Ada yang disuruh mengerjakan ulang soal UAS, ada yang dikasih soal baru, ada juga yang disuruh bikin rangkuman. Tapi, mayoritas disuruh mengerjakan ulang soal UAS. Jawabannya ditulis di kertas folio bergaris. So , folio bergaris menjadi barang dagangan yang laris manis di koperasi sekolah. Nah, siswa yang hampir semua nilainya di bawah KKM sehingga harus ikut banyak remidi disebut panitia remidi.  Biasanya, di setiap kelas pasti ada aja murid yang ternobatkan sebagai panitia remidi karena sebegitu seringnya ikut remidi. Biasanya orang-orang sampai hafal siapa saja murid yang langganan remidi. Sampai-sampai, kalau tuh murid gak ikut remidi satu kali aja, rasanya kaya ada yan

Pengalaman Rebutan Paling Berkesan

Berbicara mengenai rebutan, aku adalah orang yang sering kalah dalam hal rebutan. Entah karena orang-orang yang pada gercep atau aku aja yang terlalu lemot. Kalau menyangkut rebutan, aku angkat tangan.  Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, dalam hidup ini, kita akan sering berhadapan dengan yang namanya rebutan. Ada kalanya, kita harus ikut rebutan, untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.  So, di sini aku mau curhat mengenai beberapa pengalaman rebutan yang...waktu menjalaninya sih sebel, tapi kalau dipikir-pikir, lucu juga:   1. Rebutan tempat duduk waktu ulangan harian zaman SMA.  Entah, ini hanya berlaku di SMA-ku atau berlaku juga di SMA lain. Jadi, di SMA-ku (lebih tepatnya kelasku) dulu, ada semacam peraturan tidak tertulis bahwa tempat duduk ter-ideal saat mengikuti ulangan harian adalah tempat duduk belakang.  Sementara itu, barang siapa yang waktu ulangan dapet tempat duduk depan, dianggap kena kutukan, hahaha. Alasannya? Simpel. Kalau duduk di belakang kan (harapannya)

Lula dan Anak-anak Lainnya

Namanya Lula. Dia adalah seorang anak perempuan kelas 2 SD yang satu tahun belakangan mengikuti les privat membaca di tempat ibuku --- pensiunan guru SD yang membuka les privat di rumah.   Satu hal yang patut diacungi jempol dari Lula adalah sifat tahan bantingnya.  Dia selalu datang tepat waktu, bahkan 5 menit sebelum les dimulai.  Fokus, mencurahkan perhatiannya pada apa yang sedang dipelajarinya.  Tidak mengeluh capek, walau dijejali materi pelajaran selama 1,5 jam lamanya.  Tidak mengeluh bosan walau dia harus datang 2 kali dalam seminggu.  Tidak cemberut ketika masih terseok-seok mengeja huruf demi huruf.  Ketika dia ditanya tetapi tidak mengetahui jawabannya, dia hanya bilang, "Nggak tau...", tanpa mengeluh bahwa ini sulit.  Satu tahun lalu, saat mulai ikut les, Lula benar-benar masih awam dalam hal membaca. Butuh waktu 3 bulan untuk menghafal 26 huruf abjad. Di bulan ke 6, dia baru bisa merangkainya menjadi kata. Dan baru di bulan ke 12 (atau setelah satu tahun) dia ba

Ketakutan Konyol di Masa Kecil

Aku lagi senang banget karena tadi malam, waktu internetan, aku search salah satu blog kesukaanku, yaitu blog-nya Kak Eno , ternyata sudah dibuka kembali. Aku pun membuka-buka postingan Kak Eno yang lama, dan aku menemukan tulisan Kak Eno tentang ketakutannya pada hal-hal berbau horor dan mistis.  Membaca postingan itu, aku jadi teringat ketakutanku di masa kecil, yang kalau dipikir-pikir sekarang, terkesan konyol dan gak masuk akal.  Oke, langsung aja yuk ke poin-poinnya. Jadi, inilah 4 ketakutan konyolku di masa kecil:   1. Takut gak naik kelas.  Kejadian ini terjadi waktu aku TK. Waktu itu, sedang masa liburan setelah penerimaan raport. Aku masih TK nol kecil yang sebentar lagi naik ke nol besar.  Suatu hari, aku menebalkan tulisan di raport menggunakan pulpen. Kalau ditanya motivasinya apa, gak ada sih, hehehe. Cuma pengin aja.  Selang sehari setelahnya, ibuku melihat bahwa tulisan di raportku aku tebalkan.  Ibu berkata, "Kalau kamu tebelin begini, besok kamu gak naik kelas,

Membakar Buku Diary

Tiga hari lalu, aku membuat sebuah keputusan yang cukup besar: membakar buku diary. Sebetulnya, sudah sejak lama aku ingin melakukannya. Tapi, dulu masih maju mundur antara iya, enggak, iya, enggak, iya, enggak, begitu terus.  Hingga akhirnya... tiga hari lalu, pada sore hari sebelum mandi, bulat sudah keputusanku untuk membakar buku diary.   Jadi, sore itu, aku mengendap-endap menuju kebun di belakang rumah. Kubakar buku diary-ku di situ, di antara tumpukan daun-daun kering. Aku lega sekali karena proses pembakaran berlangsung lancar. Tidak ada orang lain yang melihat. Sebab, kalau sampai aku ketangkap basah sedang membakar sesuatu, pasti aku bingung harus mengatakan apa. Ya kali aku bilang lagi bakar-bakar buku diary? Hehehe...  Kenapa sih, kok aku sampai berpikiran harus bakar diary-ku?  Jadi begini. Buku diary yang kubakar itu aku miliki sejak SMP. Dan sejak saat itu jugalah, diary tersebut aku isi beraneka ragam curhatan. Segala macam peristiwa dan permasalahan aku tulis di situ t