Fast Living yang Melekat pada Diri Generasi Z

Kemarin, aku nonton sebuah video di youtube yang isinya mengatakan bahwa Generasi Z (kelahiran 1997 - 2012) adalah generasi yang gak sabaran. Sebagai Gen Z, aku rasa pernyataan itu memang benar, sih.

Akibat hidup di tengah perkembangan teknologi yang pesat, Gen Z punya sisi positif berupa: Ingin menyelesaikan segala persoalan dengan efektif dan efisien. Tapi juga sepaket dengan sisi negatif berupa: Ingin hasil instan, gak sabaran dalam menghadapi proses, mudah cemas, overthinking, insecure, dan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Dengan kata lain, filosofi fast living, atau ritme hidup yang ingin cepat, sat set sat set was wes wos itu sangat melekat pada diri Gen Z.

Berdasar pengalamanku pribadi, fast living ini bagus untuk memotivasi diri agar segera mencapai target-target yang diinginkan. Tapi di sisi lain, kalau terlalu ekstrim, praktek fast living juga bisa bikin kita stress kalau kita gak bisa mencapai target-target itu.

Karena, tercapai atau gaknya suatu target itu dipengaruhi banyak faktor X, antara lain berupa keberuntungan dan momentum. Mau kita sengotot apa pun, kalau ndilalah kita belum beruntung, dan atau momentumnya belum pas, ya, target tersebut belum bisa tercapai.

Dulu, aku gak percaya dengan yang namanya faktor X. Dulu, aku taunya, selama aku udah berusaha maksimal dan berdo'a maksimal juga, maka pasti targetku tercapai langsung seketika. 

Ternyata gak sesimpel itu. 

Ternyata ada banyak faktor di luar diriku yang bisa aja "mengganjal" jalan yang aku tempuh. Lalu, ketika ini terjadi, aku stress, dan merasa hidupku gak cukup "bagus". Padahal memangnya hidup yang "bagus" itu yang seperti apa? Yang semua targetnya selalu tercapai dalam satu kali percobaan? Yang gak pernah gagal?.

Padahal, setiap manusia itu unik. Dan terkadang keunikan tersebut jauh dari definisi "ideal" yang selama ini menjadi patokan kita.

Oke katakanlah idealnya manusia itu begini: Lulus kuliah usia 22 tahun dan mulai kerja usia 23 tahun.

Lalu, bagaimana dengan manusia yang gak bisa begitu? Yang baru lulus kuliah di usia 25 tahun? Dan baru mulai bekerja di usia 27 tahun? Apakah berarti manusia ini hidupnya "terlambat"? Mungkin iya, kalau merujuk pada kesepakatan "ideal" tadi. Tapi, aku rasa, gak sepenuhnya begitu.

Aku punya seorang kakak kelas. Dia masuk kuliah tahun 2008, dan baru lulus di bulan Mei 2018, di usia 27 tahun. Bayangkan, masa studinya 10 tahun. Sangat molor, kalau merujuk pada masa studi ideal yang hanya 4 tahun. Di usia 27 tahun itu dia sama sekali belum punya pengalaman kerja. Apakah masa depannya auto suram? Gak juga. Di tahun 2018 itu juga, dia diterima bekerja di salah satu kementrian.

Aku juga punya seorang tante. Lahir tahun 1965, masuk kuliah tahun 1985, lulus kuliah tahun 1993. Yang artinya, masa studinya 8 tahun, serta baru lulus kuliah umur 28 tahun. Tanteku ini, di umur 28 tahun, sama sekali belum punya pengalaman kerja. Apakah tanteku ini menjadi manusia gagal? Gak juga. Di tahun 1998, atau di usia 33 tahun, beliau diterima bekerja di salah satu pemda (pemerintah daerah). Sekali lagi aku ulangi ya, tanteku ini antara umur 28-33 tahun belum dapat pekerjaan. Dan baru mulai bekerja di umur 33 tahun.

Oh iya, di sini aku gak mengagung-agungkan bekerja di kementrian atau pemda, ya. Aku cuma ngasih contoh. Juga, bukan berarti kita harus nelat. Kalau bisa cepat mah, gas aja. Tapi kalau belum bisa cepat, nah coba lihat kisah hidup 2 orang di atas.

Mungkin dari segi waktu, pencapaian mereka termasuk tidak "ideal". Pencapaian mereka lebih slow, bahkan bahasa kasarnya lebih "telat" dari mayoritas orang. Tapi, toh hal itu gak menjadikan mereka manusia gagal. 

Bentar, bentar, lagipula manusia gagal itu seperti apa? 

Toh, mereka bisa "hidup" dengan jalan mereka sendiri, yang katakanlah, mungkin berbeda dengan jalan mayoritas manusia.

Aku menulis ini untuk menampar diriku sendiri yang selama ini maunya cepat dalam segala hal.

Teruntuk diriku sendiri, dahlah, santai dikit. Gak usah grusa-grusu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…