Kecanduan Nonton YouTube
Sosial media yang
dimaksud adalah Facebook, Twitter, Line, dan Instagram. Banyak orang yang
mengatakan, alasan mereka detoks sosial media adalah karena di sosial media, ada
banyak hal toksik, banyak orang pamer, dan lain sebagainya, yang menyebabkan mereka
insecure.
Saya pun sependapat
dengan mereka. Ya, sudah beberapa minggu belakangan, saya melakukan detoks
sosial media. Masih menggunakan, tapi sangat saya kurangi durasi pemakaiannya.
Tapi, bagaimana dengan istilah “detoks YouTube”?
Banyak orang yang
sudah menyadari dirinya kecanduan sosial media. Dan untuk itu, mereka melakukan
detoks sosial media. Tapi, belum banyak orang menyadari bahwa dirinya kecanduan
YouTube.
Berdasarkan pengamatan
saya, sebagian besar orang yang detoks sosial media itu larinya ke YouTube. Jika
dulunya dalam sehari scroll Instagram 2 jam dan nonton YouTube 2 jam, sekarang,
scroll Instagam cuma setengah jam sih, tapi, nonton YouTube-nya jadi 4
jam.
Dengan kata lain,
YouTube jadi pelampiasan. Selain itu, banyak orang berpendapat bahwa YouTube
lebih bagus ketimbang sosial media. Benarkah demikian?
Bisa dibilang,
YouTube adalah platform idola kita semua untuk saat ini.
Bagaimana tidak. Kita bisa
mengaksesnya dengan amat mudah. Kapan pun dan di mana pun.
Lagi rebahan, nonton
YouTube.
Lagi makan, nonton
YouTube.
Lagi duduk santai,
nonton YouTube.
Bahkan, lagi berak di
kamar mandi, juga nonton YouTube.
Jujur, saya akui,
YouTube itu bagus banget.
Saya bisa melihat
video dengan kualitas ciamik. Saya juga bisa belajar banyak hal.
Tapi, akhir-akhir
ini, saya merasa sudah kecanduan.
Oke, saya sudah tidak
lagi kecanduan sosial media. Tapi, faktanya, saya kecanduan YouTube. Walaupun
YouTube bukan sosial media, tapi, intinya saya masih kecanduan.
Dalam sehari, saya
bisa menghabiskan waktu 2 hingga 4 jam hanya untuk nonton YouTube. Entah kenapa,
refleks, jari tangan saya ini otomatis nge-klik YouTube, meskipun, sebenarnya,
saya tidak sedang ingin.
Saya merasa ada yang
salah. Jadi, saya memutuskan detoks YouTube. Saya tetap nonton YouTube. Hanya saja,
durasi dan frekuensinya saya kurangi.
***
Kalau dijabarkan, berikut
alasan saya memutuskan detoks YouTube:
Pertama, boros
paket internet.
Setahun belakangan,
dalam satu bulan, saya bisa menghabiskan paket internet 18 GB per bulan. Dan,
coba tebak, aplikasi apa yang paling banyak saya gunakan sampai-sampai
menghabiskan kuota internet sebanyak itu? Tentu saja YouTube.
Oke, mungkin bagi
orang lain, angka 18 GB ini tidak boros. Tapi bagi saya, ini sudah melampaui
batas kewajaran. Saya ingat, dulu, tahun 2015, waktu pertama kali punya HP
android, saya cuma menghabiskan kuota internet 3 hingga 5 GB per bulan. Jadi,
pikir saya, kalau dulu aja bisa, kenapa sekarang gak bisa? Mungkin, kalau saya
pengin berubah, dari 18 GB per bulan ke 5 GB per bulan itu gak manusiawi,
terlalu frontal. Maka, sekarang saya membatasi, maksimal saya hanya menggunakan
kuota internet 8 GB per bulan.
Kedua, saya susah
fokus pada diri sendiri.
Menonton YouTube dalam
batas wajar memang menyenangkan. Sedangkan saya selama ini? Terlalu banyak
menonton kehidupan orang lain di YouTube. Oke, katakanlah, saya sering mencari
tutorial, motivasi, dan pengalaman orang lain. Tapi, saya hanya fokus menonton,
menonton, dan menonton, tanpa pernah mempraktikkannya.
Konsentrasi saya
gampang buyar. Dikit-dikit cek hp, buka YouTube. Lebih dari itu, terlalu banyak
menonton dan mendengarkan pendapat orang di YouTube, saya jadi bingung dengan
diri saya sendiri. Saya seperti kehilangan arah. Saya jadi bertanya-tanya,
sebenarnya, apa tujuan hidup saya? Apa yang saya inginkan? Apa yang ingin saya
capai? Value apa yang saya anut? Dan, seringkali, pertanyaan-pertanyaan
itu, tak kunjung terjawab. Karena, setelah mengucapkan pertanyaan itu pada diri
sendiri, saya malah kembali buka YouTube dan tenggelam di dalamnya. Bukannya
berusaha mencari jawabannya.
Ketiga, video
YouTube bisa menyetir suasana hati saya.
Saat saya sedang bad
mood, lalu saya menonton seorang YouTuber sedang bahagia di vlognya, saya
jadi ikut senyam-senyum sendiri.
Atau, saat semula saya
merasa baik-baik saja, lalu, saya menonton sebuah video yang sensasional dan
kontroversial, tiba-tiba, saya ikutan marah. Saya jadi ingin mengutuk
orang-orang yang terlihat sebagai tokoh antagonis dalam video itu.
***
Kemudian, hal-hal
apa saja yang saya lakukan untuk mengurangi kecanduan YouTube?
Pertama, saya meng-uninstall
aplikasi YouTube dari HP.
Setelah di-uninstall,
memang masih ada icon-nya. Tapi, paling tidak, ketika tangan saya masih
gatal, dan icon YouTube itu saya klik, saya tidak lagi mendapati deretan
video menarik. Saya hanya akan menemukan tulisan, “Silakan upgrade ke
versi terbaru”. Dan, kalau sudah melihat tulisan itu, saya berkata begini, “Malas
ah, kalau harus install lagi”.
Kedua, saya
menetapkan jadwal.
Saya hanya
memperbolehkan diri sendiri untuk menonton YouTube pada jam 22.00 melalui website
di Google Chrome. Nonton YouTube di website, bagi saya, tidak senyaman
nonton di aplikasinya langsung. Saya sengaja menciptakan ketidaknyamanan ini
supaya saya tidak berlama-lama menonton YouTube.
Ketiga, saya
menyiapkan penggantinya.
Saya sadar, kalau saya
memutuskan detoks YouTube, artinya, saya harus punya alternatif tontonan. Sejauh
ini, saat sedang dilanda kebosanan, jika biasanya saya langsung buka aplikasi
YouTube, saat ini, saya memilih aktivitas lain.
Saya baca blog orang
lain. Atau, saya search di Google, siapa saja nama-nama penulis di
Indonesia. Lalu, saya buka aplikasi iPusnas, dan saya baca novel atau cerpen
karya-karya penulis tersebut.
Intinya, durasi waktu
yang dulunya saya alokasikan untuk nonton YouTube, sebagian saya alihkan ke
kegiatan membaca.
***
YouTube itu sifatnya
netral. Menjadi baik atau buruk, tergantung penggunanya. Sayangnya, selama ini,
saya bukanlah pengguna yang baik. Saya menggunakannya secara berlebihan, yang
mengakibatkan saya tidak fokus menjalani hidup.
Dengan mengurangi nonton
YouTube, saya ingin lebih fokus pada diri sendiri. Jika selama ini, saya sering
mendengar kata-kata begini, “Jangan lupa subscribe channel ini ya,
Guys. Dan, nyalakan bel notifikasinya supaya kamu gak ketinggalan update
terbaru dari aku.”
Sekarang, saya ingin lebih intensif mendengar kata hati. Sebab, seringkali, hati itu mengeluarkan bisikan-bisikan, terkait apa yang harus saya lakukan, ke mana saya harus melangkah, dan keputusan apa yang harus saya ambil. Tapi, memang, bisikannya pelan. Teramat pelan. Saya tidak bisa serta-merta memperbesar volumenya, seperti ketika nonton video YouTube. Untuk bisa mendengarnya, saya harus fokus.
Komentar
Posting Komentar