Memilih Mingkem

Satu hal yang aku rasakan, bahwa setiap manusia mempunyai "jarak" yang berbeda ketika berinteraksi dengan manusia lain. Well, gampangnya gini. Misal, si A bisa berbicara lepas dengan si B -- mulai dari bercanda, ngebanyol, curhat, dll -- dengan sangat bebas dan ceplas-ceplos. Tapi, si A tidak selepas itu ketika berinteraksi dengan si C. Si A agak jaga jarak sekaligus agak jaga omongan ketika berinteraksi dengan si C. Ringkasnya, si A berjarak dekat dengan si B, tapi si A berjarak jauh dengan si C.

Dulu, waktu masih anak-anak hingga remaja, aku seperti itu. Aku ceplas-ceplos ketika sedang berbicara dengan keluarga intiku, yaitu ibu, ayah, dan kakak. Dan menjaga jarak ketika bicara dengan non keluarga inti.

Aku melakukan itu, karena dulu kupikir, keluarga inti adalah tempat yang "aman" untuk memuntahkan unek-unek. Tapi, seiring bertambahnya usia, aku mendapat wawasan baru, bahwa keluarga intiku pun tidak sepenuhnya aman. 

Bisa saja keluarga intiku membocorkan curhatanku kepada pihak luar, kemudian terjadilah kesalahpahaman. Maksudku "begini", tapi karena keluarga intiku menceritakan kepada pihak luar dengan nada dan pemilihan kata yang kurang tepat, eh, malah si pihak luar menangkapnya "begitu". Melenceng jauh dari apa yang aku maksud. 

Lalu si pihak luar itu pun marah, karena menganggap aku "begitu". Dan, hal ini sudah berulang kali terjadi.

Hanya diawali dari curhatanku kepada keluarga inti, yang sayangnya ketika curhat, aku gak disclaimer dulu, "Jangan bilang ke siapa-siapa, ya" -- berakhir dengan kesalahpahaman, karena keluarga intiku ternyata bilang ke siapa-siapa.

Sejak itu, bahkan, keluarga intiku pun gak bisa aku percaya 100%. Aku jadi khawatir, kalau sampai kejadian itu terulang lagi.

Sekarang, setiap mau ngomong ke keluarga inti, apalagi ke non-keluarga inti, aku benar-benar pikir-pikir dulu. Terkait dengan, apakah aku perlu ngomong begini? Apakah yang sedang aku ajak ngomong adalah orang yang tepat? Apakah omonganku berbahaya atau menimbulkan kesalahpahaman?

Sebelum ngomong ke keluarga inti bahkan, aku timbang-timbang dulu, apakah aku perlu ngomong atau tidak?.

Begitulah. 

Semakin bertambah umur, aku jadi semakin berusaha untuk berhati-hati, ketika nyeletuk hal-hal remeh sekalipun, dan kepada keluarga intiku sekalipun. Karena, bahkan keluarga intiku, tidak bisa aku percaya 100%.

Selain itu, semakin bertambah umur, aku juga semakin memperhitungkan bagaimana caraku merespon dengan tepat terhadap omongan atau perilaku orang lain.

Misalnya, pernah kejadian, ketika aku sedang ke dapur sebentar, aku mendengar, keluarga intiku sedang berbisik-bisik, lalu ketika aku kembali ke hadapan mereka, mereka berhenti bisik-bisik. Bisa aku simpulkan, kemungkinan sewaktu aku ke dapur, mereka membicarakanku. 

Well, perkiraanku ini belum tentu benar, sih. Entah mereka benar membicarakanku ketika aku sedang ke dapur atau tidak, responku adalah: pura-pura tidak tahu kalau tadi mereka bisik-bisik. Aku juga memilih untuk memasang ekspresi seolah tidak terjadi apa-apa. Karena, kalau aku meresponnya dengan bilang, "Kalian ngomongin aku, ya?" Justru memancing konflik yang tidak penting. That's it

Aku memilih untuk mingkem alias tutup mulut saja, dan menjaga jarak, bahkan dengan keluarga intiku sekalipun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…