Postingan

Something yang Missed

Seiring bertambahnya usia, aku mengamati bahwa banyak orang dewasa yang terjebak dalam lingkaran setan, yakni dendam kepada manusia lain. Ini bisa bervariasi, mulai dari rasa tidak suka, tidak cocok, yang akhirnya semakin jauh berkembang menjadi dendam kesumat. Bahkan, seringkali rasa tidak suka/tidak cocok ini dimulai dari hal-hal sepele. Well, karena aku suka mengamati komen netizen di Instagram, perdebatan bisa seputar IRT vs working mom, sekolah negeri vs swasta, pembalut disposable dicuci dulu vs langsung dibuang. Netizen akan balas-balasan komen sampai panjang sekali. Bahasannya jadi ke mana-mana, semakin memanas, dan seringkali jadi keluar jalur. Dan, inilah fenomena baru yang menjamur kira-kira 3 tahun belakangan, yakni netizen semakin gencar menulis komen, kalimatnya semakin panjang. Pun platform media sosial seperti YouTube dan Instagram juga memfasilitasi hal ini dengan menyediakan kolom komen yang ukurannya semakin besar.   Lalu, menurutku jaman sekarang orang juga...

Avoidant Attachment Style

Berdasarkan perenungan sekian lama, sepertinya aku memiliki tipe attachment Avoidant Attachment Style. Ini lebih kepada bagaimana sikap kita saat berhubungan dengan orang lain.  Avoidant atau penghindaran, artinya orang dengan tipe attachment seperti ini cenderung menghindar dari orang lain pada situasi tertentu. Menurut Google, orang dengan tipe attachment ini menghindar saat hubungannya dengan orang lain semakin dekat / intim.  Aku sendiri misalnya, suatu ketika membeli bakso di sebuah warung. Karena rasanya enak, aku pun beberapa kali kembali ke warung itu untuk membeli bakso lagi. Katakanlah seminggu sekali aku beli bakso di warung itu.  Awalnya aku merasa nyaman di warung itu. Tapi, semuanya berubah ketika... Penjual baksonya mulai mengenali diriku. Mulai hafal wajahku. Dan penjual tersebut pun mulai tanya-tanya ke aku.  Sebenarnya biasa saja sih. Pertanyaan template. Kayak,  kuliah atau kerja di mana mbak? oh kerja, itu kantornya bergerak di bidang apa mba...

Karena Semua Tak Lagi Sama

Momen mudik lebaran adalah hal yang paling kutunggu. Ke tempat nenek, bertemu sepupu, setengah atau satu jam pertama masih malu-malu, tapi setelahnya berangsur akrab. Lalu main, tidur, belanja, bahkan mandi bareng mereka.  Tapi itu dulu.  Setelah aku dan sepupu-sepupu tumbuh dewasa, kami malu-malunya tidak hanya di setengah atau satu jam pertama, tapi seminggu full .   Entah kenapa, semakin bertambah umur, rasanya semakin kikuk bertemu saudara sendiri. Meskipun pemikir, waktu kecil aku bisa bersenda-gurau dengan saudaraku. Tapi saat dewasa, jangankan bersenda-gurau, menyapa sepatah kata saja rasanya malu, segan, dan takut salah.  Pun juga saudaraku, sebenarnya periang, tapi entau kenapa, saat dewasa, mereka jadi introvert . Mungkin mereka pun juga merasakan awkward padaku, segan kalau mau menyapaku.  Jadilah kami saling diam. Kenal, tapi seperti tak kenal.  Kami tak pernah berdebat apalagi bermusuhan. Kami juga tak pernah mem- bully satu sama lain. K...

Capek

Beberapa tahun belakangan, aku menjadi manusia yang punya mentalitas pendebat, semua-muanya pengin aku debatin. Semua omongan dan point of view orang lain aku anggap sebagai hal yang berlawanan denganku. Padahal belum tentu. Padahal orang lain belum tentu bermaksud demikian.  Aku sibuk mengoreksi pemikiran orang lain yang aku anggap salah. Aku sibuk membentur-benturkan dua kubu.  Sebagai contoh, ketika si A sedang membicarakan keburukan si B, aku langsung mendebat si A, "Jangan gitu, emang salah ya kalau si B blablabla, gak ada yang salah, tauk! " Atau, ketika ada berita viral di Instagram, aku scroll satu per satu komentar netizen yang puanjang-puanjang dan bersahut-sahutan itu, selalu ada dua kubu ekstrim dan terkesan hitam putih banget,  padahal belum tentu beneran begitu.  Lama-lama aku ngerasa capek. Dahlah, ketika ada hal yang gak aku setujui dari point of view orang lain, aku mending diam aja, gak mau mikirin dan memperdebatkannya lagi. 

Kecerdasan Emosi

Bisa dibilang, aku adalah orang yang kecerdasan emosinya rendah. Aku kurang bisa mengontrol emosi. Tidak hanya emosi marah, tetapi juga emosi sedih, sebal, kecewa, takut, dan lain sebagainya.  Aku sering tidak bisa mengontrol emosi di depan banyak orang. Misalnya, aku bisa marah-marah di depan orang lain, secara membabi buta. Atau, aku bisa menitikkan air mata, bahkan pernah menangis tersedu-sedu ketika orang lain memarahiku yang baru saja berbuat salah. Atau, pernah pula, aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku saat harus presentasi tugas kuliah, bahkan, suaraku sampai terdengar bergetar hebat dan mukaku sampai terlihat pucat pasi. Iya, sebegitu rendahnya kecerdasan emosiku.  Tetapi, semakin ke sini, aku sadar, bahwa aku tidak bisa begitu terus. Aku harus belajar meningkatkan kecerdasan emosi. Aku harus bisa mengendalikan perasaan. Dan aku juga harus bisa menunjukkan respon yang wajar atas hal apapun yang menimpaku, entah itu aku sedang kesal, aku sedang dimarahi, dibentak,...

Dilema

Per tanggal 19 Oktober 2022 kemarin, aku ganti HP. HP lamaku sudah menemaniku selama 5 tahun lebih 3 bulan, dalam susah maupun senang, suka maupun suka.  Sebenarnya, kemarin-kemarin aku dilema, antara mau ganti HP atau servis HP aja. Di satu sisi, pengin ganti HP aja, karena performa HP lamaku itu udah menurun drastis sehingga amat sangat mengganggu. Tapi, di sisi lain, juga pengin tetap mempertahankan HP lama, karena sayang sama duitnya.  FYI, HP lamaku itu udah rusak tombol powernya. Jadi, karena tombol powernya udah keras banget, alhasil setiap kali mau nyalain HP itu, harus aku colok ke charger dulu supaya layarnya nyala. Alhasil, ke mana-mana aku harus bawa powerbank. Soalnya kalau sampai batrenya habis dan HP nya mati total, aku bakal kesulitan nyalainnya. Kalau udah begitu, aku harus menekan tombol power sekuat tenaga untuk nyalainnya. Seringkali, tanganku sampai sakit karena harus berkali-kali mencet tombol power.  Selain itu, indikator batrenya juga udah error. P...

Memilih Mingkem

Satu hal yang aku rasakan, bahwa setiap manusia mempunyai "jarak" yang berbeda ketika berinteraksi dengan manusia lain. Well , gampangnya gini. Misal, si A bisa berbicara lepas dengan si B -- mulai dari bercanda, ngebanyol, curhat, dll -- dengan sangat bebas dan ceplas-ceplos. Tapi, si A tidak selepas itu ketika berinteraksi dengan si C. Si A agak jaga jarak sekaligus agak jaga omongan ketika berinteraksi dengan si C. Ringkasnya, si A berjarak dekat dengan si B, tapi si A berjarak jauh dengan si C. Dulu, waktu masih anak-anak hingga remaja, aku seperti itu. Aku ceplas-ceplos ketika sedang berbicara dengan keluarga intiku, yaitu ibu, ayah, dan kakak. Dan menjaga jarak ketika bicara dengan non keluarga inti. Aku melakukan itu, karena dulu kupikir, keluarga inti adalah tempat yang "aman" untuk memuntahkan unek-unek. Tapi, seiring bertambahnya usia, aku mendapat wawasan baru, bahwa keluarga intiku pun tidak sepenuhnya aman.  Bisa saja keluarga intiku membocorkan curhata...