Digital Minimalism
Satu bulan lalu, saya menghapus akun Facebook, Twitter, Line, Pinterest, Researchgate, Linkedin, Medium, dan Wattpad secara permanen. Saya juga uninstall aplikasinya di handphone. Sebenarnya, sudah sejak lama saya ingin melakukan ini. Tapi, masih maju mundur. Dan, baru satu bulan yang lalu itulah saya mantap melakukannya, tanpa keraguan dan kekhawatiran. Satu bulan lalu, saya merasa sudah tidak ada lagi hal yang mau saya lakukan di platform-platform tersebut. Saya juga merasa tidak ada lagi sesuatu yang saya dapatkan dari sana. Dengan kata lain, urusan saya dengan platform-platform tersebut sudah selesai. Dan, jadilah kini di ponsel saya hanya ada aplikasi WhatsApp dan Telegram untuk sosial medianya.
Lantas, di zaman modern ini, kenapa sih, saya malah memilih sedikit "menyingkir" dari gegap gempita dunia digital? Pertama, saya melakukan ini karena terinspirasi dari seorang profesor bernama Cal Newport yang membuat campaign "Digital Minimalism".
Cal Newport mengatakan,"Sosial media akan membuat fokus kita terbagi-bagi. Prinsip pembuatan sosial media itu mengadopsi mesin judi di Las Vegas. Adanya fitur refresh feed atau timeline, itu terinspirasi dari fitur tarik tuas di mesin judi. Jadi, ketika kita me-refresh feed, kita akan mendapatkan postingan orang yang terbaru, dan otak kita merasa puas akan hal ini."Newport juga merasa prihatin dengan generasi modern yang susah konsentrasi. Padahal, kata beliau,
"Jika kita tidak bisa konsentrasi, maka kita akan semakin tidak relevan dengan abad ke-21 ini."
Selain Cal Newport, saya juga terkesan dengan videonya Marissa Anita di Greatmind yang juga membahas perlunya perilaku minimalisme di dunia digital. Nasihatnya Marissa ini intinya sama dengan Cal Newport. Bedanya, cara penyampaian Marissa ini menurut saya lebih soft, ya. Kalau Cal Newport agak sedikit nge-gas dan straight to the point. Tapi saya suka dua-duanya. Dan, saya merasa, digital minimalism ini adalah keputusan yang tepat untuk diri saya.
Apa sih digital minimalism itu? Kita mungkin sudah familiar dengan gaya hidup minimalis yang populer 3 tahun belakangan, yaitu gaya hidup seperlunya, misalnya hanya menggunakan beberapa potong pakaian polos, satu atau dua sepatu, ukuran rumah yang kecil, desain kamar yang simpel, dan sebagainya. Tapi, pernahkah kita coba mempraktikkan gaya hidup minimalis ini di ranah digital, khususnya internet?
Digital minimalism adalah sebuah perilaku seseorang yang menggunakan sosial media atau apa pun di internet hanya untuk sesuatu yang esensial. Dan, untuk diri saya, nyatanya, yang benar-benar saya butuhkan hanyalah segelintir sosial media.
Balik lagi ke alasan saya melakukan digital minimalism. Alasan kedua, saya ingin hidup dengan fokus. Sementara itu, keberadaan saya di banyak platform sosial media membuat saya gampang terdistraksi.
Kenapa hal ini bisa terjadi?"Karena sosial media memang didesain agar penggunanya kacanduan. Dan, hanya ada 2 produsen yang menyebut konsumennya sebagai pengguna, yakni produsen narkoba dan sosial media. Perusahaan sosial media itu memang merekrut para ahli yang terus meneliti perilaku manusia, agar bagaimana caranya supaya kita kembali lagi, lagi, dan lagi ke situ. Mereka merekrut attention engineer yang mengerti bagaimana supaya kita mencurahkan perhatian ke sosial media. Juga merekrut ahli psikologi yang paham betul kondisi psikis manusia. Dan, merekrut graphics designer yang bisa mendesain layout-nya sedemikian rupa sehingga kita betah lama di dalamnya."
Alasan ketiga saya melakukan digital minimalism adalah, saya tidak ingin tahu lagi dengan gosip yang tidak relevan untuk saya. Saya sering merasa sebal ketika saya terpaksa harus membaca judul gosip atau artikel yang tiba-tiba muncul di beranda saya. Misalnya, tentang perselingkuhan artis, hubungan romansa selebgram, konflik internal keluarga artis, dan lain-lain. Padahal, saya tidak mau tahu dengan gosip tersebut. Ya, memang begitulah cara kerja mereka. Mereka menyodorkan dengan paksa sederet gosip dan artikel itu begitu saja.
Lalu, apa yang saya lakukan untuk menghindari distraksi? Sekarang saya setting mute di Opera Mini (browser yang sering saya gunakan) agar tidak ada lagi artikel nangkring di bagian home. Saya juga menonaktifkan Google News dan Google Voice yang ternyata juga menyumbang keberadaan artikel-artikel yang tidak saya inginkan itu. Saya juga unsubscribe semua channel Youtube dan website agar tidak ada lagi notifikasi yang memenuhi kotak masuk e-mail. Untuk hiburan, saya hanya mengandalkan novel dan buku kumpulan cerpen yang sesekali saya pinjam di iPusnas. Atau, nonton video Youtube yang hanya boleh saya akses jam 10 malam, maksimal selama 30 menit per hari, itu pun setelah saya menunaikan semua kewajiban dan tugas. Saya masih memakai Instagram, tapi tidak upload apa pun, karena memang tidak ada yang mau saya upload. Saya hanya pakai Instagram untuk mendapatkan info yang memang saya perlukan.
Oh iya, satu lagi kebiasaan digital minimalism yang coba saya terapkan. Yaitu, saya menjauhi akun-akun yang saya tahu cukup kontroversial atau yang valuenya tidak cocok dengan value yang saya anut. Saya juga berusaha tidak membaca komentar para netizen di video-video Youtube atau posting Instagram yang saya lihat, karena dulu saya sering emosi sendiri ketika membaca komentar netizen yang tidak saya sukai. Agar saya tidak berlama-lama pakai Youtube dan Instagram, saya juga uninstall 2 aplikasi itu, dan hanya melihatnya dari browser, yang tentu saja tidak senyaman pakai aplikasinya langsung, dan memang itu tujuan saya. Dan, setelah saya "menyingkir" sedikit dari belantara sosial media, nyatanya sampai hari ini tidak ada yang menanyai ke mana saya.
Sebab, saya yakin,"Mereka yang memang ada keperluan dengan saya, pasti menyimpan nomor kontak saya. Kalau pun tidak, mereka pasti tahu ke mana harus mencari saya, atau kepada siapa mereka harus bertanya untuk bisa minta nomor kontak saya."
Sekarang, handphone saya sunyi. Dan saya sangat menyukai hal ini. Oh iya, menurut saya, digital minimalism ini tidak harus dilakukan oleh semua orang, kok. Sebab, saya yakin, di luar sana memang ada orang-orang yang pekerjaannya di dunia digital, misalnya mengelola akun sosial media perusahaan, menjadi content creator, dan sebagainya. Jadi, kalau kamu merasa menggunakan banyak sosial media dan baik-baik saja, silakan lanjutkan saja. Saya melakukan ini karena menurut saya ini baik untuk saya, dan keadaan saya memungkinkan untuk melakukan ini. Saya tidak punya banyak engadgement atau pencapaian atau follower yang banyak. Sehingga, saya tidak merasa rugi dan sayang ketika melakukan ini.
Oh iya, sekarang di handphone saya cuma ada aplikasi ini di layar depan. Ini adalah beberapa aplikasi (yang paling sering saya pakai). Dan, ini adalah total semua aplikasi yang ada di handphone saya. Apakah kamu tertarik mencoba ini? Atau bahkan kamu sudah mempraktikkannya?
Hi Kak Sekar, kunjungan balik ke sini 😁
BalasHapusAku suka banget sama tulisan Kakak yang iniii. Sedikit banyak, aku setuju sama poin-poin yang dijabarkan karena sama banget dengan yang aku alami dan aku rasakan 🥺. Awal-awal aku tertarik digital minimalism juga karena Carl N. hahaha keren banget sih beliau bisa nggak punya medsos sama sekali, hanya blog aja sebagai media komunikasi dengan dunia luar.
Setelah 2 tahun aku nggak pakai IG, nyatanya nggak ada yang benar-benar nyariin dan bahkan nggak sadar akan "kehilangan"ku 😂. Aku ngerasa menghilang seperti ini lebih baik sih wkwk pikiran juga jadi nggak penuh dengan hal-hal yang nggak diinginkan, kita juga jadi bisa lebih fokus ngerjain hal yang lain, aku malah menemukan dunia baru yaitu blog setelah aku off dari medsos 🤭. Semangat menempuh jalan hidup ini, Kak Sekar 💪🏻
Makasih kunjungannya kak Lia. Wah, lama juga ya udah 2 tahun. Iya kak, pikiran jadi gak penuh. Hmmm, pikiran kita ini kayak memori penyimpanan gitu kali ya. Jadi kalo diisi terus terusan ya penuh sesak.
Hapusakupunnnnnn telah menghapus akun pinterest, tumbler, linkedin, dan sosial media lainnyaa..
BalasHapussempet deaktiv ig, twitter, fb dan sekarang mau gamau harus aktif lagi karena urusan kantor.
hidup lebih enak sih, gak melulu ngikutin ini itu dan terkena fomo syndrom.
lebih rilex dan tak terdistraksi.
tp skrg maugamau terdistraksi, tp udah mulai menahan diri mengurangi sosmed2 itu. kalau gak karena kantor mahh itu akun udah ntah kemana.
Kalo sudah menyangkut pekerjaan mah, gimana lagi ya kak, kudu dilakukan, kalo gak mau melakukan, ya kita salah. Yaa, karena eranya sudah seperti ini, kita gak mungkin "bersih" 100% dari distraksi. Palingan sekedar meminimalisir aja ya kak.
Hapus