5 Duka Penglaju Sepeda Motor

Kalau biasanya orang-orang menceritakan "anak kos", kali ini saya mau menceritakan kebalikannya, yaitu "anak nglaju". Eh, tapi kok kalau saya nyebut "anak nglaju" jadi terdengar aneh, ya? Baiklah, saya sebut "penglaju" aja. 

Penglaju itu apa, sih? 

Penglaju adalah orang-orang yang melakukan perjalanan pulang-pergi dari rumah menuju ke tempat tujuan (kantor, sekolah, kampus, dsb) setiap hari. Biasanya, jarak antara rumah hingga tempat tujuan itu cukup jauh, bisa belasan hingga puluhan kilometer. 

Saat kuliah dulu, saya adalah mahasiswa penglaju sepeda motor. Setiap hari, saya menempuh total jarak 40 km menggunakan sepeda motor. So, saya sudah merasakan asam garam per-nglaju-an. Seperti yang terpampang di judul, saya tidak akan menceritakan suka-duka, tetapi hanya dukanya saja. 

Apa sajakah itu?
1. Berangkat Kesiangan yang Berujung Disemprit Polisi. 
Sebenarnya, saya sudah tahu, kalau amannya berangkat dari rumah maksimal jam 06.15 untuk kuliah pagi. Tapi, suatu hari, karena bangun kesiangan, alhasil baru berangkat jam 06.30. 

So, di jalan, saya menghalalkan segala cara agar bisa segera sampai kampus. Saya mencari kesempatan dalam kesempitan, yaitu nyelip di celah-celah mobil dan bus. Karena hasilnya kurang signifikan, saya pun nekad melakukan hal yang "lebih" lagi, yaitu menerobos lampu merah karena (((kayaknya))) gak ada polisi. Tapi, saya salah, karena tiba-tiba... 

Priiiiiiiiiittttttt... 

Ada polisi yang membunyikan peluitnya. Setelah disemprit polisi, mau gak mau saya berhenti. Karena lagi buru-buru, saya diperbolehkan hanya menyerahkan SIM dan KTP dulu, kemudian menuju kampus untuk kuliah. Sepulang kuliah, saya harus menemui pak polisi tersebut di pos polisi dekat situ untuk proses tilang. 

2. Nunggu Selama 3 Jam di Tempat Tambal Ban. 
Musibah tidak hanya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, dsb. Tapi juga ban bocor. Yap, ban bocor adalah musibah bagi penglaju sepeda motor. 

Idealnya sih, motor yang bannya bocor tuh jangan dinaiki, tapi dituntun. Tapi, sebagai kaum hawa berbadan mungil, saya gak punya tenaga sekuat itu. So, walau ban bocor, motor tetap saya naiki dengan pelan. Motor pun berjalan dengan meleyot-meleyot semi zig-zag. 

Saya agak ketar-ketir karena saat itu cuma bawa uang 10 ribu. Uang segitu gak mungkin cukup buat ganti ban. Cukupnya cuma buat tambal ban. 

Dua bengkel saya tanyai, tapi semuanya hanya bisa ganti ban. Akhirnya tibalah saya di bengkel ketiga. Bengkel ini bisa nambal ban. "Tapi, ini baru istirahat, mbak, satu jam lagi baru mulai," kata si bapak. Baiklah, mau gak mau saya tunggu, dong. 

Oke, satu jam sudah berlalu. Saya kira, si bapak mau langsung nambal ban. Ternyata tidak. Entah kenapa. Mungkin karena proses tambal ban memang lama, harus menyalakan api, menyiapkan ember berisi air, dst, kali ya? 

"Maaf ya mbak kalau lama nunggunya," kata si bapak, setelah beres menambal ban saya. Saya pun pulang dengan lemas, setelah 3 jam menunggu di situ. 

Saya membayangkan, andai saja saya bawa uang banyak, tentu saya bisa memilih ganti ban aja yang jauh lebih cepat dari tambal ban. 

Sejak saat itu, saya kapok bawa uang mepet. Pokoknya, di dompet harus bawa uang minimal 100 ribu, biar kalau bannya bocor, saya bisa langsung memilih untuk ganti ban saja. 

3. Outfit Seperti Ninja. 
Jauh sebelum korona melanda, saya sudah berdandan ala ninja. 

Alasannya apa? 
Karena gak mau kulitnya belang. 

Saya pakai jaket, lengkap dengan sarung tangan, masker, dan kaos kaki. Soalnya, kalau cuma pakai jaket lengan panjang, itu punggung tangan, wajah, dan punggung kaki saya masih terpapar sinar matahari sehingga warnanya jadi lebih gelap dari bagian tubuh lain. 

Dan saya sudah hafal, bahwa kulit yang sudah terlanjur belang, itu susah banget untuk pulih ke warna semula. 

4. Dipermainkan oleh Hujan. 
Sering saya mengalami, berangkat dari rumah itu kondisi hujan. Maka, saya pakailah jas hujan. Eh, baru 1 kilometer perjalanan, gak hujan, dong. 

Jadi serba salah, sih, mau lepas jas hujan atau tetep dipakai. Mau dilepas, takutnya hujan lagi. Mau tetep pakai jas hujan, kok gak nyaman rasanya. Selain itu, juga diliatin orang. Seolah-olah, orang-orang di jalan pada ghibah, "Ih, gak hujan kok pakai jas hujan." Padahal, itu perasaan saya aja, sih. Kenyataanya, gak ada yang bilang gitu. 

Akhirnya, keputusan yang saya ambil adalah lepas jas hujan, lalu dimasukkan ke jok motor. Saya lanjutkan perjalanan tanpa memakai jas hujan. Tapi, baru 2 kilometer kemudian, ternyata hujan lagi. Ya udah, pakai jas hujan lagi. 

Alhasil, lepas-pasang-lepas-pasang jas hujan saya lakukan beberapa kali karena dipermainkan oleh hujan. 

5. Sulitnya Menebak "Kata Hati" Pengendara Lain. 
Bagi saya, berkendara di lampu lalu lintas itu lebih mudah. Warna ijo, ya lanjut. Warna kuning, ya kurangi kecepatan aja. Warna merah, ya berhenti. Tidak perlu banyak menebak. 

Tapi, kalau jalannya itu gak ada lampu lalu lintas, beda ceritanya. 

Misalnya, saat akan menyeberang jalan. Saya harus bisa membaca "kata hati" pengendara lain. Apakah mereka mau melambatkan kendaraannya? Atau justru menambah kecepatannya? 

Ada kalanya, saya ketemu pengendara lain yang baik hati. Jadi, saat saya mau nyebrang, dia melambatkan kendaraannya. Maka, saya pun nyebrang dengan aman sentosa. 

Tapi, pernah juga, waktu saya masih awal-awal bisa naik motor, saya kira si pengendara lain mau melambatkan kendaraannya. Ternyata dugaan saya salah. Dia menambah kecepatannya. Saya terlanjur nyebrang. Sehingga... 

Brukkkkk... 

Tabrakan terjadi. Itu karena saya salah menafsirkan "kata hati" pengendara lain. 

Tetapi, pernah juga ada kejadian lucu. Saya akan nyebrang. Saya kira, si pengendara lain tidak akan melambatkan kendaraannya. So, saya pilih menunggu dia lewat duluan. Tapi, ternyata, dia mengira saya akan segera nyebrang. Jadi, dia juga berhenti. Saya dengan dia malah saling menunggu. 

Ibaratnya, seperti ada percakapan begini. 

Saya: "Udah, kamu duluan aja." 
Dia: "Kamu dulu aja..." 
Saya: "Kamuuuu..." 
Dia: "Kamuuuuuuuuuuuu..." 

(Jangan lupa, baca dengan nada suara ala Dodit Mulyanto yang lagi Stand Up di acara SUCI KOMPAS TV zaman dulu).

Kami masih eyel-eyelan saling menunggu, hingga akhirnya diklakson orang-orang yang pada emosi karena kami (yang saling menunggu) menyebabkan kemacetan di jalan tersebut.

*** 

Itulah 5 duka penglaju sepeda motor yang pernah saya rasakan. Sebenarnya, di setiap duka selalu ada cara mencegah atau menyelesaikan permasalahannya. 

Komentar

  1. Point 3 ini aku banget!! Wkwkwk. Aku kalau naik motor juga perlengkapan lengkap seperti ninja, berusaha supaya nggak ada celah sedikitpun biar nggak jadi belang πŸ˜‚
    Terus pernah mengalami point nomor 4 juga dan alhasil tabrakan, tapi cuma aku yang jatuh sedangkan pengendara lainnya nggak jatuh dan pergi gitu aja 🀧.
    Oiya, kalau lagi ngendarain motor terus ketemu polisi, jantungku langsung deg-degan lho πŸ˜‚ padahal surat lengkap dan motornya juga dalam kondisi baik, tapi aku selalu deg-degan takut dicari-cari kesalahan dan berujung kena tilang gitu πŸ˜‚

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hqhqhqh rupanya bukan aku aja yg outfitnya seperti ninja.. Aku juga pernah jatuh terus ditinggal, bukan karena tabrakan sih, tp karena aku lagi ngalamun terus masuk selokan di pinggir jalan πŸ˜‚

      Hapus
    2. Walah 😭 terus ada yang bantuin nggak pas masuk selokan? Itu sama motor-motornya juga nyemplung? 😱

      Hapus
    3. Untungnya ada. Dibantuin orang2 yg lagi lewat. Iya, motor nya ikut nyemplung 🀣🀣

      Hapus
  2. Hahaha sumpah ngakak, ini valid banget sih... Sbgai pengendara motor tulen saya mau tambahin lg 1 dukanya yaitu sering disangka kang ojek,, yh karena motorku supra sih hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oo gitu.. Motor supra identik dengan kang ojek ya? Aku pun pernah disangka sebagai mbak2 driver gojek padahal gak pake jaket gojek. Mungkin gara2 penampilanku sangat jauh dari kesan feminin kali ya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…