Pengendara Motor Ter-cemen

Jika di dunia ini ada Sayembara Pengendara Motor Ter-cemen, pasti akulah juaranya. Serius. Padahal, aku sudah delapan tahun menjadi pengendara motor, tapi skill masih gini-gini aja: 

1. Takut Naik Motor Bebek
Bagiku, mengendarai motor bebek jauh lebih sulit dibanding mengendarai motor matic. Ketika naik motor bebek, kita harus paham kapan waktunya pakai gigi satu, dua, tiga, atau empat. Well, tidak apa-apa sih kita cuek terhadap penggunaan gigi, misalnya kecepatan 60 km/jam tapi pakai gigi satu, tapi siap-siap saja motornya bakal bergetar hebat dan sebagai akibatnya... pantat kita kesemutan a.k.a gringgingen dalam bahasa Jawa.

Aku pernah belajar naik motor bebek di jalan raya. Niat hati ingin menyalip sebuah truk. Maka, aku memacu kecepatan. Harusnya aku iringi dengan menambah gigi dengan cara menginjak pedal gas bagian depan, kan. Eh, tapi aku justru melakukan sebaliknya, yakni menginjak pedal gas bagian belakang! Aku salah injak! Motor bebek yang aku kendarai syok kali ya, sehingga aku hampir saja terjungkal dari motor. Untung baru sebatas hampir, tidak terjungkal beneran.

Sejak saat itu dan sampai sekarang, aku trauma naik motor bebek. Aku lebih memilih naik motor matic yang prosedur operasionalnya jauh lebih mudah, tinggal gas dan rem saja, semuanya pakai tangan. Jadi, tidak ada lagi istilah salah injak.

2. Pilih Belok Kiri Instead Of Belok Kanan. Andaikata ada dua rute untuk menuju suatu tempat. Rute pertama, hanya ada belok kiri. Rute kedua, ada belok kanannya. Maka jelas, aku pilih rute pertama. Soalnya, menurutku belok kiri lebih gampang dibanding belok kanan. 

Ketika akan belok kiri, aku lebih berani. Aku hanya perlu mengendarai motor di sisi kiri jalan. Sesimpel itu. 

Tapi, ketika akan belok kanan, aku sering deg-degan. Terlebih di gang sempit yang pagar rumahnya tinggi-tinggi dan mepet jalan. Karena, menurutku belok kanan lebih unpredictable dibanding belok kiri. 

Ketika belok kanan, aku sering ragu, apakah aku harus mepet kanan pol atau agak kiri dikit. Aku sering mengalami, ketika belok kanan, awalnya terlihat aman-aman saja. Eee lha dalah, tiba-tiba mak bedunduk, ternyata ada motor dari arah berlawanan. Rasanya itu, mak tratap, kaget banget. Kami hampir tabrakan. Fiuh. 

Oleh karena itu, sebisa mungkin, aku menghindari rute belok kanan. Kalau pun terpaksa harus belok kanan, baca bismilah dulu, berharap semoga tidak ada kendaraan dari arah berlawanan. 

Kalau do'aku terkabul, means tidak ada kendaraan dari arah berlawanan yang mengagetkan, aku memanjatkan puja dan puji syukur, "Alhamdulillah ya Allah..." 

Tapi kalau ternyata ada, wah, refleks istighfar, "Astogfirullah..." 

3. Menyeberang di Jalan Ramai Tanpa Bangjo adalah Mimpi Buruk
Bangjo adalah penyelamatku. Dengan adanya bangjo, aku bisa nyebrang jalan tanpa mikir.

Kalau terpaksa harus naik motor di jalan tak ber-bangjo, aku baru berani nyebrang kalau jalan sudah benar-benar sepi. Kalau jalan masih ramai, aku takut nyebrang. Aku memilih untuk nunggu dulu.

Makanya, aku kagum sama pengendara motor yang bisa nyebrang dengan cepat sat set sat set was wes was wos, langsung berani nyebrang dengan lincahnya. Sementara aku, harus nunggu sampai jalan benar-benar sepi dulu, baru berani nyebrang, itu pun gerakan motorku kaku, tidak seperti mastah-mastah sekalian yang luwes meliuk-liuk. 

4. Jaraknya Lebih Jauh Tidak Apa-apa, Asalkan Jalannya Bagus.
Kalau ada dua pilihan, yakni pilihan pertama jalannya bagus tapi jauh, lalu pilihan kedua jalannya jelek tapi dekat, aku lebih pilih yang pertama. Definisi jalan bagus versiku adalah jalan yang halus, mulus, dan lebar. Sementara jalan jelek versiku adalah jalan yang nggronjal-nggronjal dan sempit. 

Kenapa aku pilih jalan yang bagus walau jauh dan membutuhkan waktu tempuh lebih lama? 

Ya buat cari aman, lah.

Aku cuma khawatir, kalau sampai aku, dengan skill cemen ini nekat naik motor melewati jalan yang nggronjal-nggronjal dan sempit, aku dan motorku kenapa-napa gimana, misalnya jatuh atau apa gitu. Malah ribet kan? 

5. Saran Mekanik di Tempat Servis Itu Bagaikan Resep Obat.
Aku tuh betul-betul awam dengan istilah-istilah suku cadang motor beserta gangguannya. Aku cuma ngerti ban bocor dan bensin habis. Udah, itu thok.

Bagiku, nama-nama bagian motor itu seperti bahasa Latin yang untuk diucapkan saja susah. Maka, ketika servis rutin, mas-mas Mekanik yang menservis motorku bilang bahwa ada suku cadang yang harus diganti, aku nurut saja, wong aku tidak paham apa-apa. Jadi aku percayakan sepenuhnya pada beliau.

Mending kalau suku cadang yang perlu diganti itu harganya murah dan uang yang aku bawa cukup, bisa langsung diganti saat itu juga. 

Masalahnya, kadang, suku cadang yang perlu diganti itu namanya asing banget bagiku, dan harganya mahal pula, duit yang aku bawa tidak cukup. 

Jadi, mas Mekaniknya bilang, "Mbak, ini asdfghjkl-nya perlu diganti." 

(Note: asdfghjkl ini perumpamaan nama suku cadang yang seperti bahasa Latin).

Sumpah, aku bahkan tidak paham aadfghjkl itu apa dan di bagian mana. 

Aku pun mensiasatinya dengan ngomong gini, "Nama suku cadang yang perlu diganti itu ditulis aja mas, besok aja nggantinya." 

Padahal itu mah alasanku aja, karena saat itu duitku di dompet cuma cukup buat bayar servis rutin, dan tidak cukup kalau ditambah biaya ganti suku cadang. 

Plus, aku juga sadar diri, pasti aku tidak ingat nama suku cadang tersebut karena bagiku namanya asing, sulit diingat, apalagi dilafalkan. 

Kan tidak lucu, kalau keesokan harinya aku ke situ lagi untuk ganti suku cadang, tapi aku tidak bisa menyebutkan nama suku cadang yang mau diganti. 

Komentar

  1. Naik motor bebek enek loh, tapi gitu memang kalau ga terbiasa, pas keepatan tinggi kena injek persnelling belakang jadinya langsung kayak brontak. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe iya kata orang2 yg terbiasa naik motor bebek enak katanya, cocok buat jalan nanjak juga, lebih hemat bensin juga. Tp aku terlalu penakut πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…