Sebuah Pengalaman Interview Kerja yang Mengesankan

Awalnya, aku cuma melamar pekerjaan yang khusus diperuntukkan bagi lulusan S-1, sebagaimana pendidikan terakhirku. Tapi, dari 54 lamaran yang aku kirim, hanya ada :

2 e-mail berisi balasan penolakan pada tahap seleksi administrasi,

1 e-mail berisi kegagalanku di tes tertulis,

1 panggilan interview yang berujung dengan penolakan,

dan 50 sisanya… tidak ada kabar sama sekali.

Itu baru yang aku catat. Masih ada beberapa yang gak aku catat.

Lalu, aku pun menurunkan standar. Walau Pendidikan terakhirku S-1, aku coba melamar pekerjaan untuk lulusan SMA/SMK. Pokoknya, aku gak pilih-pilih lagi.

Aku pun mengirim lamaran sebagai Staff Admin di salon kecantikan, Staff Packing di toko kue, bahkan aku juga melamar sebagai tukang cuci dan setrika baju di tempat laundry.

Hasilnya?

Tidak ada balasan.

Aku terus mencari.

Suatu hari, aku melihat sebuah lowongan pekerjaan untuk lulusan SMA sebagai Staff Produksi di sebuah UMKM yang membuat produk hampers dan parcel. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghubungi contact person yang tertera dan mengatakan keinginanku untuk melamar pekerjaan di situ.

Mbaknya—selaku owner UMKM tersebut—pun membalas WA-ku. Beliau bilang, silakan langsung datang saja besok buat interview langsung.

Di hari-H, pagi-pagi jam 9, aku bersiap berangkat menuju tempat interview. Jaraknya lumayan jauh dari rumah orangtuaku, sekitar 20 km. Karena aku belum tau tempatnya, jadi aku ke situ pakai Google Maps. Aku berdo’a, semoga nanti di tengah jalan sinyalnya gak hilang tiba-tiba. Soalnya, kalau di tengah jalan sinyalnya hilang, mampus lah aku, bisa-bisa nyasar.

Singkat cerita, aku sampai di lokasi interview dengan selamat.

Tempatnya itu, seperti rumah pada umumnya. Dari luar terlihat rumah biasa. Tapi, di dalamnya ada bertumpuk-tumpuk kardus yang digunakan untuk membungkus hampers dan parcel.

Ternyata, ada beberapa orang yang juga melamar pekerjaan di situ. Total ada 5 orang. Aku datang di urutan ke 4. Jadi, aku harus nunggu 3 orang yang diinterview terlebih dahulu.

Hingga akhirnya, jeng jeng jeng… Tibalah waktuku  diinterview.

Aku dipersilakan duduk di sebuah kursi. Yang menginterview itu owner-nya langsung. Mereka adalah sepasang suami istri. Mereka menginterview sambil menggendong anaknya yang masih bayi.

Aku pun memperkenalkan nama, umur, tempat tinggal, pendidikan terakhir, dan nama kampusku dulu (sebut saja kampus X).

Intinya, dari interview tersebut, aku menarik kesimpulan bahwa mereka menganggap aku overqualified. Mereka seperti segan dan takut untuk mempekerjakanku karena aku adalah lulusan sebuah kampus yang menurut orang-orang adalah kampus favorit.

Mereka terang-terangan bilang begini ke aku:

“Maaf ya mbak. Sepertinya kami tidak bisa menerima mbaknya. Bukan karena kompetensi mbaknya kurang bagus. Saya yakin, mbaknya sebagai lulusan kampus X, pasti pinter banget. Tapi, rasanya, kami malah kasihan, kalau mbaknya sebagai lulusan kampus X, hanya bekerja sebagai Staff Produksi di sini. Terus terang aja nih mbak, kami lebih memilih mempekerjakan anak-anak lulusan SMA/SMK, atau, kalau pun kami menerima lulusan S-1, kami lebih memilih lulusan kampus Y yang tidak se-favorit kampus X.”

Terus, mereka tanya lagi:

“Lha kok mbaknya sebagai lulusan kampus X, kok mau melamar kerja di tempat sekecil ini tuh kenapa?”

Aku bilang begini:

“Saya sudah melamar pekerjaan (untuk kualifikasi pendidikan S-1) ke mana-mana tapi belum ada yang nyantol. Ya sudah, saya mulai realistis aja. Saya gak pilih-pilih lagi. Saya sebar lamaran di mana pun, walau kualifikasi yang dibutuhkan adalah SMA/SMK, sedangkan saya S-1.”

Terus, mereka tanya lagi:

“Emang mbaknya udah nyebar lamaran di mana aja?”

Aku jawab:

“Owh, di mana-mana, mas, mbak. Di salon kecantikan, di toko kue, bahkan saya juga melamar sebagai tukang cuci dan setrika baju di tempat laundry. Tapi, belum ada yang menerima saya sampai saat ini.”

Mereka bilang:

“Ya ampun mbak. Ngapain mbaknya melamar kerja di laundry segala. Ya jelas aja, mbaknya gak diterima. Mbaknya kan lulusan kampus X. Pemilik laundry-nya takut lah kalau mau mempekerjakan mbaknya.”

Terus, aku mulai curcol-curcol gak jelas:

“Lha gimana lagi, mas, mbak. Saya udah bosen nganggur. Saya frustrasi…”

And then, mereka bilang:

“Gak usah frustrasi, mbak. Kalau mbaknya frustrasi, malah tambah down dan tambah minder. Teruslah berusaha dan berdo’a. Suatu saat, pasti mbaknya menemukan tempat yang tepat. Tapi, mungkin bukan di sini tempatnya. Jadi gitu ya mbak. Kami menolak mbak, bukan berarti mbaknya bodoh. Bukan begitu. Semoga mbaknya segera menemukan tempat yang tepat. Semangat ya…”

Sesi interview pun berakhir.

Lagi, lagi, dan lagi, aku membawa pulang penolakan.

Tapi, wejangan-wejangan dari suami-istri pemilik usaha pembuatan hampers dan parcel itu cukup menyejukkan hatiku. Kalimat-kalimat mereka membawa energi positif untukku.

Tadinya aku frustrasi. Tapi, berkat nasihat-nasihat suami istri itu, aku jadi seperti punya kekuatan untuk bangkit lagi.

Mendengar petuah-petuah dari suami istri itu, aku jadi punya harapan. Harapan untuk hari esok yang lebih baik. Harapan bahwa aku bisa. Harapan bahwa “badai” ini pasti berlalu.

Selain usaha dan do’a, harapan lah yang bisa menguatkan manusia untuk hidup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…