Pedagang di Pasar Tradisional: Sebuah Profesi yang Underrated

Waktu masih kecil dulu, saya memandang pasar tradisional dengan sebelah mata.

Kenapa?

Karena pasar tradisional identik dengan tempat kotor, becek, bau, lembab, dan berantakan. Ditambah tempat parkir yang tidak beraturan, membuat beberapa orang malas ke situ.

Begitu pula dengan pedagangnya. Profesi pedagang di pasar terlihat sebagai profesi “rakyat jelata” yang tidak terlihat "wah". Sejauh pengamatan saya, tidak pernah ada anak TK atau SD yang bercita-cita ingin menjadi pedagang di pasar.

Tapi, image seputar pasar dan pedagangnya di benak saya semasa kecil itu, kini sudah terpatahkan.

Sebab, pasar di dekat tempat tinggal saya sekarang sudah berwujud bangunan megah 3 lantai dan bereskalator. Pokoknya, jadi mirip seperti mall. Hanya saja, setelah kita berbelanja, gak diberi nota.

Lalu, bagaimana dengan pedagangnya?

Well, menurut saya, pedagang di pasar adalah profesi yang underrated karena mereka punya kompetensi unggul di bidangnya, tapi belum pernah ada lembaga akreditasi yang bertugas menilainya.

Oke, ini dia kompetensi unggul tersebut:

Pertama: Kemampuan berhitung cepat

Seberapa banyak pun barang atau item yang kita beli, pedagang di pasar akan selalu sigap dan cepat menghitung berapa total harganya. Tanpa kalkulator dan kertas coret-coretan.

Begitu kita menunjuk apa saja yang ingin kita beli, pedagang di pasar akan segera memasukkannya satu per satu ke dalam tas kresek, sembari menghitung harganya di awang-awang, dan voila! Tanpa keraguan, dan sepertinya juga tanpa pernah melakukan kesalahan, pedagang pasar langsung menyebutkan total harga yang harus kita bayar.

Dan ya, kemampuan berhitung cepat ini semakin terasah, seiring dengan semakin tinggi jam terbangnya.

Kedua: Kemampuan komunikasi interpersonal

Interpersonal adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sepanjang pengamatan saya, semua pedagang di pasar itu punya skill komunikasi yang bagus. Mereka bisa mengimbangi dan menyesuaikan diri dengan berbagai tipe pembeli.

Mereka tahu kapan harus melakukan defense mechanism (misalnya saat pembeli menawar harga tidak manusiawi) dan kapan harus memberi diskon (misalnya saat pembeli membeli dalam jumlah banyak).

Mereka juga bisa membangun keterikatan batin dengan pembeli. Beberapa bulan lalu, saya ikut ibu ke pasar. Usut punya usut, si pedagang itu berasal dari daerah asal yang sama dengan ibu saya. Wah, dari situ, si pedagang dan ibu saya ngobrol ngalor-ngidul, membicarakan mereka lahir tahun berapa, kalau bepergian naik transportasi apa, kalau mau mengaji di masjid apa, dan sejak kapan mereka merantau ke sini.

Obrolan itu, sukses membuat ibu saya merasa senasib sepenanggungan dengan si pedagang. Dan tentu, sukses membuat ibu saya belanja banyak!

Lalu, apakah tidak ada pedagang di pasar yang introvert?

Well, mungkin ada. Tapi, mungkin mereka bahkan tidak tahu apa itu introvert. Yang mereka tahu, tuntutan pekerjaan mereka seperti itu. Sehingga, ya, mereka berjualan-berjualan saja, ramah-ramah saja, ceria-ceria saja.

Menurut saya malah bagus. Tidak seperti saya, yang sering menggunakan introvert sebagai alasan untuk malas ngomong dengan orang lain. Hehehe...

Ketiga: Kemampuan meng-influence orang lain

Iya, ternyata, bukan hanya selebgram, artis, atau youtuber saja yang bisa meng-influence. Pedagang di pasar pun tidak kalah unggul.

Hanya dengan bermodalkan kalimat, "Bawang merahnya gak sekalian, Bu?"

Atau, "Wah, ini kelapa parutnya nanggung kalau cuma 2000, cuma dapet dikit. Sekalian aja, 5000 ya, Bu."

Atau, "Ikan asinnya seger-seger lho, Bu."

Begitu saja, sukses membuat para pembeli terutama yang imannya lemah, pasrah. Alhasil, yang awalnya hanya berniat membeli A, B, dan C. Pada akhirnya juga membeli D, E, F, sampai Z.

Para pembeli baru menyadari kalau mereka sudah terkena bujuk rayu pedagang pasar itu, ketika mereka ingin pulang, lalu syok saat ingin mencantolkan kresek ke cantolan di motor, ternyata tidak muat!

Setelah dihitung-hitung, ternyata ada 7 kresek yang semuanya penuh belanjaan!

Keempat: Kemampuan collab dengan pedagang lain

Ini pernah saya saksikan sendiri. Suatu hari, ibu saya mau membeli celana. Tapi, pedagang tersebut tidak menjualnya. Si pedagang pun berkata, "Ibu tunggu di sini dulu. Saya carikan di tempat teman saya. Kayaknya ada."

Jengjeng.. 2 menit kemudian, dia sudah membawa celana yang dicari ibu saya.

Dulu, saya pikir, pedagang di pasar itu sikut-sikutan, saling berkompetisi, dan berlomba-lomba berebut pembeli. Eh, ternyata, mereka mau berkolaborasi dengan pedagang lain kalau memang barang yang ingin dibeli oleh pembeli itu tidak ada di lapaknya.

Saya pikir-pikir, ya, bagus sih, mereka mau collab. Bukankah kalau mereka collab begitu, semua pihak bisa untung? Pembeli tidak perlu capek berkeliling-keliling. Temannya bisa untung karena barang dagangannya terjual. Dia sendiri juga bisa mengambil keuntungan dari situ, walau sedikit.

=======

Di samping kemampuan pada hal-hal teknis tersebut, beberapa pedagang di pasar juga punya kemampuan ekonomi yang tidak bisa dipandang remeh.

Seorang pedagang ikan asin di pasar tradisional dekat tempat tinggal saya misalnya, pernah bercerita bahwa dia bisa membuat rumah hanya dalam waktu 6 tahun setelah berjualan. Dia juga mengatakan bahwa dia tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tapi sekarang punya 3 orang anak yang semuanya kuliah.

Hal ini, sedikit-banyak membuka mata saya, bahwa dunia ini tidak sesuram itu.

Selama ini, saya sering membaca berita dan pengalaman orang lain dan saya pun merasakannya sendiri, bahwa lulusan sarjana saja susah mencari pekerjaan.

Tapi, menyaksikan si penjual ikan asin di pasar itu, saya jadi punya perspektif lain. Bahwa, si penjual ikan asin yang tidak sekolah saja bisa lho, hidup dengan layak. Berarti, yang mengenyam bangku pendidikan, hidupnya jauh lebih layak, dong.

Si penjual ikan asin itu, tentu saja, kalau disuruh membuat CV, pasti CV-nya jauh dari kata ideal, tidak akan menarik bagi perusahaan atau pemberi kerja. Tapi, ya, tidak masalah. Toh dia tidak usah membuat CV, tidak usah melamar kerja, dan tidak usah diwawancarai HRD. Dia "hanya" berjualan ikan asin di pasar. Cara jualannya pun konvensional. Tidak pakai ilmu manajemen perusahaan. Tapi, toh dia bisa "hidup" juga, kan.

Komentar

  1. Hahaha, banyak juga ya kemampuan pedagang pasar tanpa disadari ya.
    Kalau kemampuan berhitung, ada juga yang kadang salah hitung, saya beberapa kali pas belanja, sampai rumah baru ngeh, ternyata dihitung kemahalan, ada kalanya juga pas dimasukin kantung, nggak semua belanjaan saya masuk

    Entah lupa atau gimana.
    Masalahnya, saya juga lemah banget di hitung-hitungan :)

    BalasHapus
  2. Kak Sekar, tulisannya bagus banget 😍. Terakhir aku ke pasar tradisional sekitar tahun lalu dan pasar di daerah rumahku masih tradisional banget jadi kalau hujan agak kurang nyaman 😂 tapi betul kata Kakak, kalau pedagang di pasar tradisional tuh hebat-hebat meskipun nggak punya latar belakang pendidikan yang menunjang. Paling salut karena mereka bisa cekatan berhitung sambil ngelayanin pembeli lain juga 😂 terus pintar mengambil hati para emak-emak juga wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha mbak Lia bisa aja.. Daku jadi tersanjung kan.. Bener kann, pedagang di pasar tuh smart banget

      Hapus
  3. menarik banget ternyata cerita pedagang pasarnya yah, kadang emg pedagang ada juga yang baik hati nih kalo misalnya di tokonya itu barang yang kita mau beli gak ada dia malah kasih tau toko penjual lain yang menjual barang serupa sama dia jadi kita pembeli gak usah cape2 muter nyari lagi tinggal ikutin petunjuknya aja

    BalasHapus
  4. Semesta menyediakan segala yang dibutuhkan untuk "hidup". Kadang kita terlalu banyak berpikir. Sampai-sampai khawatir akan kehidupan. Padahal hidup ini tinggal dijalani saja. Seperti penjual di pasar kayak cerita kakak di atas.

    Semangat.

    https://www.rahmahuda.com/

    BalasHapus
  5. Bagus banget ini tulisannya mbak. Salam kenal yaaa.


    Aku jdi kangen belanja ke pasar. Kalau ke warung kerasa sih level ngitung ngitung dan komunikasi interpersonalnya tidak se expert org2 di pasar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal mb ghina :) Iya, atmosfernya beda yaa...

      Hapus
  6. Beberapa temanku juga ada yang orang tuanya pedagang pasar dan bisa menyekolahkan hingga kuliah dan bekerja di perusahaan. Bahkan setiap pulang pasti tetap bantuin dagang di pasar. Jadi memang nggak boleh memandang sebelah mata apapun pekerjaan orang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mb, pekerjaan yg terlihat biasa saja, kadang malah sebenarnya istimewa. Mereka (pedagang di pasar) itu low profile dan cenderung kurang disorot aja, jadi orang2 pada gak ngeh kalo "kemampuan" pedagang pasar itu di atas rata2.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya