Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Sebagai seorang introvert kebablasan, saya sering negative thinking kalau harus menghadiri acara kumpul-kumpul. Baik itu pertemuan keluarga besar, reuni sekolah, buka puasa bersama, first gathering, dst. 

Berbagai pertanyaan menghinggapi kepala. 

Apa yang harus saya lakukan di acara tersebut? Bagaimana saya harus mengatur gerak-gerik? Apa yang harus saya katakan pada orang-orang yang baru pertama kali saya temui nanti?

Selama ini, saya sering berupaya membolos dari kegiatan-kegiatan itu. Bila ada orang yang mengajak secara langsung, tak jarang saya hanya menjawab, “Aku belum bisa memastikan bisa datang atau tidak.” 

Padahal, saya tahu, ujung-ujungnya saya tidak hadir. Mayoritas ketidakhadiran itu bukan karena saya tidak bisa, melainkan karena tidak mau.

Orang yang mengundang atau mengajak kumpul-kumpul, sebenarnya sudah tahu bahwa pada akhirnya, kemungkinan saya hadir itu kecil. Mereka tahu bahwa jawaban saya yang “belum bisa memastikan” itu adalah penolakan halus. Jadi, kalau sampai saya hadir, bagi mereka adalah peristiwa langka.

Saya tidak mengerti secara pasti apa penyebab keengganan saya untuk kumpul-kumpul. 

Berdasarkan beberapa artikel, ada kemungkinan ini terjadi pada seseorang yang pernah trauma, entah itu dipermalukan, dimarah-marahi, dll. 

Lalu, saya berusaha mengingat-ingat apakah saya pernah tertimpa kejadian seperti itu. Dan, sepertinya saya tidak pernah mendapat perlakukan tidak mengenakkan yang sampai sebegitu parahnya.

Saya tidak tahu apakah keanehan saya ini tergolong kelainan atau masih dalam batas wajar ke-introvert-an. 

Sebab, belum pernah sekali pun saya menemui psikolog. Saya tidak mau mendiagnosis diri sendiri, misalnya dengan searching di Google, mencocok-cocokkan pada diri saya, lalu melabeli diri bahwa saya tergolong antisosial.

Dulu, saya berpikir kalau hidup ini yang penting esensinya. Saya juga berpikir kalau basa-basi itu gak perlu. 

Jadi, sering kali saya mempertanyakan. Apa sih pentingnya kumpul-kumpul? Apa sih esensi dari merayakan ulang tahun, memberi kejutan, hadiah, dekor ruangan, dll, dst?

Saya sempat menganut prinsip, “Diam itu emas” dan “Tong kosong nyaring bunyinya”. Sebenarnya, itu hanya bentuk defense mechanism

Semua peribahasa itu benar. Tapi, saya sering menjadikannya tameng untuk membenarkan keburukan-keburukan saya. Artinya, saya sering menempatkan peribahasa tidak pada tempatnya.

“Diam itu emas” bagus diterapkan pada saat ada suatu konflik memanas antara 2 pihak, atau saat ada orang yang berkomentar buruk di belakang kita. Lebih baik kita diam agar tidak memperkeruh suasana. 

Tapi, “Diam itu emas” tidak berlaku saat kita presentasi atau sidang skripsi.

Begitu pula dengan “Tong kosong nyaring bunyinya”. Memang benar, kalau orang semakin berilmu itu semakin tidak banyak omong, semakin rendah hati, semakin tidak sombong, dan semakin tidak banyak tingkah. 

Tapi, di situasi tertentu, bunyi itu sangat diperlukan. Di kondisi tertentu, lebih baik kosong tapi bunyi, dari pada penuh tapi gak mau bunyi. 

Misalnya, ketika kita sedang berduka cita karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia, tentu kita butuh orang yang menghibur dan menguatkan, terlepas dari orang itu pintar atau bodoh. Di situasi itu, kita butuh orang yang bunyi dan yang menggembirakan, walau pun si orang itu hanya basa-basi.

Ya, basa-basi itu penting di situasi tertentu. Tidak melulu hanya esensinya. Sering kali, kita harus melihat pernak-perniknya. Perintilannya.

Dan, jujur, inilah yang masih menjadi PR saya. Saya sering berpikiran macam-macam. Menganggap kumpul-kumpul dan sejenisnya itu tidak esensial dan tidak ada gunanya. 

Padahal, saya adalah manusia. Dan, saya hidup di tengah manusia-manusia. Bagaimana pun, manusia itu punya aspek yang tidak miliki makhluk dan benda lain. Manusia butuh humanisme, perasaan, serta interaksi.

Saya pernah mencoba mendobrak batas-batas kemalasan saya dalam berkumpul-kumpul ria ini. Dua bulan lalu, ada keponakan saya yang ulang tahun. Kebetulan kami tinggal di satu rumah yang sama. 

Sebelumnya, seperti biasa, saya berpikir yang tidak-tidak. Kenapa ulang tahunnya harus dirayakan, sih? Kenapa harus mengundang tetangga? Kenapa uangnya gak dihemat aja buat hal-hal lain yang lebih mendesak? Ah, pasti ribet persiapannya.

Di hari H, sejak bangun tidur sampai pukul 10.00, saya masih di dalam kamar. Beberapa menit setelahnya, saya keluar. Saya menuju ke dapur. Sesaat, saya masih bingung harus melakukan apa. Lalu, saya mencoba membantu menata mangkuk, piring, sendok, dan apa pun yang bisa saya lakukan. 

Nah ternyata itu intinya. Lakukan. Lakukan. Lakukan. 

Kalau ada yang salah, ya tinggal dibetulkan. Kalau ada yang jelek, ya tinggal diperbaiki. Dan, dengan melakukan inilah, saya merasa menjadi manusia berguna. 

Selama ini, saya terlalu banyak mikir. Padahal, ada hal yang hanya perlu dilakukan, tidak perlu dipikir. Untuk melakukan, kadang ada rasa ragu di awal, terus lakukan saja, maka akan lega di akhir.

Dan, acara perayaan ulang tahun itu ternyata tidak melulu soal biaya, waktu, dll. Ini adalah upaya mengungkapkan cinta dan penghargaan kepada keluarga. Perayaan ulang tahun adalah bentuk kepedulian. Simbol bahasa kasih.

Saya masih punya tugas. Kalau pikiran negatif sudah berlebihan, saya harus bisa menepisnya. Kalau ada sesuatu yang harus saya lakukan, saya harus tega pada diri sendiri untuk melakukannya, walau pun ada rasa tidak nyaman di awal. Sebab, ternyata, yang namanya “melakukan” tidak seburuk itu. 

Ternyata, selama ini saya sering mempersulit diri. Padahal, semestinya hidup yang memang sudah rumit ini disederhanakan, bukan malah dizholimi dengan pikiran-pikiran sendiri.

Komentar

  1. ...aku belum bisa memastikan bisa datang atau tidak. Padahal, saya tahu, ujung-ujungnya saya tidak hadir...

    wahaha, aku juga gitu yaa, trnyata banyak yg sama. Mungkin, sebabnya kalo kita langsung menolak ada rasa tidak enak di hati yaa

    BalasHapus
  2. Saya rasa memang wajar mbak kalau kita merasa malas kumpul-kumpul keluar, lebih baik diam diri di rumah daripada buang-buang tenaga😂 sebab sebagai introvert pun saya begitu, dan memang alamiahnya lebih condong menghabiskan banyak waktu di ruang sendiri daripada di luar secara ramai-ramai. Kalaupun banyak berkegiatan di luar, pasti akan balik ngisi energi yang sudah habis di kamar dengan nggak ketemu siapa-siapa.

    Sejujurnya saya pun dulu mikirnya negatiiivee aja, takut nggak bisa membaur lah, begini lah, takut orang-orangnya gak asik lah. Pintar-pintar memilih aja kapan saatnya kita butuh berinteraksi, dan dengan siapa kita mampu berinteraksi pada saat bersosialisasi tersebut😬

    Anyway salam kenal ya mbak! Hihi👋🏻

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya