Gen Tidak Pernah Bohong

Bagiku, omongan orang tentang kemiripan itu sangat jujur dan spontan. Tak ada orang yang rela membohongi kata hatinya. Orang-orang hanya mengatakan apa yang mereka lihat.

Sewaktu masih kecil dulu, orang-orang sering berkata bahwa aku mirip ayah. 

Ketika itu, aku tak terima mendengar komentar tersebut. 

Aku tidak percaya bahwa memang sungguh-sungguh ada fenomena anak mirip orang tuanya. Ketidakpercayaanku itu disebabkan karena ketidakpahamanku. Otakku masih belum sampai. 

Aku membatin, “Bagaimana mungkin, aku yang berjenis kelamin perempuan mirip dengan ayahku yang berjenis kelamin laki-laki?”

Berdasarkan pengamatanku, anak kecil perempuan cenderung tidak suka dimirip-miripkan ayahnya. Fakta ini kuperoleh saat ada saudara sepupuku berjenis kelamin perempuan yang marah setiap orang-orang mengatakan bahwa dia mirip ayahnya. Dia ingin dibilang mirip ibunya.

Lambat laun ketika menginjak bangku SMA, aku menyandingkan fotoku ketika masih bayi umur 6 bulan dengan foto ayah. Ternyata, bukan lagi mirip, melainkan persis. 

Aku baru paham, bahwa fenomena anak mirip orang tuanya itu nyata adanya. Aku pun menarik kesimpulan. Tidak berlebihan jika orang-orang berkata bahwa aku mirip ayah. Padahal, aku tidak pernah janjian dengan ayahku. Tapi, faktanya profil wajahku “menjiplak” profil wajahnya.

Aku butuh validasi. Validasi bahwa aku sungguh mirip ayah. Aku butuh kesaksian orang lain yang objektif. Dan, ternyata momen validasi itu ada saja tanpa pernah direncanakan.

Momen validasi pertama, adalah ketika aku ingin periksa gigi di sebuah klinik. Petugas administrasinya bertanya di mana rumahku. Aku pun menjawab nama dusun tempatku tinggal. 

Dan, coba tebak apa yang terjadi? Si petugas itu langsung bertanya apakah aku ini anaknya pak X (nama ayahku). Aku pun mengiyakan sambil dalam hati semakin yakin bahwa kadar kemiripanku dengan ayahku ini gak main-main.

Momen validasi kedua, adalah saat ayah mengantarku ke bandara untuk berangkat Kuliah Kerja Lapangan. Ada seorang teman kuliahku yang bertanya, apakah orang yang mengantarku itu ayahku. Katanya, aku seperti fotocopy-annya. Dan, saking herannya, temanku itu sampai menceritakan hal ini ke temanku yang lain.

Berarti kemiripan itu termasuk gen yang diwariskan, ya? Itu pun hanya wajah. Sedangkan, wajah hanyalah satu bagian kecil dari seluruh aspek penyusun manusia yang terlihat.

Masih ada aspek penyusun yang tidak terlihat, yang mungkin juga sebagian besar meng-copy-paste genetik orang tua/leluhur. Masih ada hal lain seperti sifat, perilaku, pemikiran, kekuatan fisik dan mental, penyakit, alergi, dan sebagainya yang juga diwariskan ke generasi berikutnya. 

Contohnya, kakakku yang selalu juara dua ketika balapan lari mengelilingi lapangan pada mata pelajaran olahraga. Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata kakakku itu meng-copy-paste kakekku. 

Kakekku, konon adalah atlit lari tingkat nasional. Kakakku tidak pernah berolahraga di rumah. Dia hanya berolahraga pada saat mata pelajaran olahraga di sekolah. Tetapi, “gen lari cepat” itu ada, dan kakakku kebagian, sehingga walau pun dia gak pernah berlatih lari, tapi kecepatannya dalam berlari tetap unggul di bandingkan teman-temannya.

Rasa-rasanya, ungkapan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” itu benar adanya. Ya, walaupun bisa saja perilaku seseorang itu diubah melalui pendidikan. Tetapi, suatu saat entah di generasi ke berapa, kemungkinan besar sifat/watak/perilaku itu akan kembali muncul. Ini bukan masalah siapa yang salah/benar, jahat/baik, terpuji/tercela. 

Pesan moralnya adalah bahwa gen itu tidak pernah bohong.

Kita tidak perlu menyalahkan gen yang kita peroleh, membandingkannya dengan orang lain, lalu merasa orang lain lebih beruntung. Ini sesederhana ungkapan “rumput tetangga selalu lebih hijau”. Sudah normalnya manusia menginginkan apa yang tidak dimilikinya. Padahal di sisi lain, apa yang dimilikinya itu diinginkan oleh orang lain. 

Yang perlu dilakukan adalah mensyukuri gen apa pun yang diperoleh dan mengusahakannya menjadi lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie