Tentang Bakat

Bakat menggambar?

Waktu SD, saya merasa berbakat menggambar. Saya ikut les di sebuah sanggar lukis. Gambar saya dianggap paling bagus satu sekolah. Akhirnya, saya diikutkan lomba. Singkat cerita, saya meraih juara satu di tingkat kecamatan. Dan, masuk 8 besar di tingkat kabupaten. Saya bangga dengan pencapaian itu.

Tetapi, rasa bangga itu terkikis sedikit demi sedikit. 

Kenapa? 

Karena di SMP, beberapa murid punya gambar yang jauh lebih bagus dan kreatif dibandingkan gambar saya. Padahal, saya tau persis, mereka gak pernah ikut les menggambar. 

Dari situ saya berpikir kalau sebenarnya saya gak berbakat menggambar. Selama SD, saya hanya punya akses. Punya akses untuk ikut les, ikut lomba, dan diajari oleh guru yang memang tau teori-teori menggambar.

Gambar saya cuma menang di warnanya yang bergradasi, sementara kreativitasnya gak ada sama sekali. 

Anak-anak lain yang berbakat menggambar, ketika ikut lomba dan diberi tema khusus, misalnya tema Dunia Tumbuhan, mereka punya ide yang out of the box, yaitu Pesta Panen Durian. 

Sementara itu, saya cuma menggambar pemandangan alam yang ada sawah, pohon, dan rumput, karena memang hanya segitu daya imajinasi saya.

Saya merasa, kalau sebenarnya saya gak pantas mewakili kecamatan untuk lomba menggambar, ketika SD dulu. 

Karena, faktanya di luar sana banyak anak yang berbakat menggambar. Hanya saja, mereka tidak punya akses. Mereka tidak tau teori-teori menggambar. Mereka tidak tau kapan ada lomba menggambar. Ketika SD, potensi mereka belum terlihat. 

Guru SD-nya pun belum menyadari bahwa anak itu punya potensi menggambar yang luar biasa. Potensi itu baru muncul ketika mereka SMP. Ketika mereka mulai punya akses. Mulai bisa melihat gambar anak-anak yang juara. 

Mereka bisa menyimpulkan, merekonstruksi, dan menggambarkannya sendiri dengan jauh lebih bagus.

Lalu, saya berpindah haluan. Saya melepaskan diri dari dunia gambar-menggambar. Bahkan, saya seperti punya kesepakatan dengan diri sendiri bahwa saya gak akan menggambar lagi.

Bakat matematika?

Dari les menggambar, saya hijrah ke les matematika. Dan, ya, nilai matematika saya melesat. Saya sering mendapat nilai matematika tertinggi seangkatan. Bahkan, nama saya mulai dinotice oleh guru-guru SMP karena pencapaian itu.

Saat itu, saya merasa berbakat di bidang matematika. Tapi, perasaan itu hangus juga. Di SMA, ternyata ada banyak murid yang gak pernah ikut les matematika, tapi nilai matematikanya lebih tinggi dari nilai saya.

Di SMA, karena satu dan lain hal, saya tidak lagi ikut les matematika. Dan, nilai matematika saya tidak secemerlang ketika SMP. 

Memang, beberapa kali nilai matematika saya tertinggi sekelas, tapi beberapa kali pula saya harus ikut remidi karena nilai saya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Saya pun berpikir kalau matematika bukan bakat saya.

Bakat tata rias?

Saya memulai pencarian lagi. Ketika kuliah, saya menyenangi 1 hal, yaitu tata rias. Jadilah saya mencoba teknik make up ini dan itu. Bahkan, saya sempat bercita-cita, kalau selepas kulihah saya ingin menjadi make up artist.

Ketika semester 3 sampai 5, saya gak bisa keluar rumah tanpa pakai bedak. 

Di semester 6, adanya kesibukan kuliah, praktikum, KKN, dan segala tetek-bengeknya membuat saya cuek pada make up. Saya gak risau lagi kalau ke kampus tanpa sebutir bedak pun menempel di wajah. 

Hal ini mungkin didorong oleh jurusan kuliah saya yang mengharuskan banyak aktivitas di luar ruangan. Jadilah mindset yang tertanam adalah gak usah terlalu feminin

Dari situlah kesadaran itu muncul. Ternyata, saya gak secinta itu dengan tata rias.

Apakah bakat itu ada?

Saya secara pribadi percaya kalau bakat itu ada. Hanya saja, mungkin kadarnya berbeda. Misal, si A dan si B sama-sama punya bakat menyanyi. Tapi, kadar bakat menyanyi si A adalah 90, sementara si B hanya 60.

Itulah kenapa si A paham cara menyanyi dengan baik tanpa ikut les. Suaranya syahdu, bisa dinikmati, dan semua orang yang menonton sepakat kalau suaranya bagus. Baru bersenandung, “hmmm” atau “ooouwoooo” saja, itu mengena banget. 

Sementara itu, si B, kalau pun ikut les menyanyi, yang awalnya fals, sekadar menjadi pas. Tapi, nyanyian si B tetap gak seindah dan gak sesyahdu si A.

Jadi, apa bakat saya?

Akhirnya, yang bisa saya lakukan sekarang adalah menulis. Saya gak tau menulis ini jenis bakat atau bukan. Kalau kata beberapa orang, menulis ini hanyalah keterampilan, bukan bakat. 

Sampai sekarang saya masih bingung apa bakat saya. Bahkan, saking pesimisnya, saya sampai mikir, jangan-jangan saya gak punya bakat? Saya merasa pas-pasan di semua hal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie