Keresahan Zaman Sekolah

Pertama, Gak Bawa Topi dan Dasi.

Gak bawa topi dan dasi di hari Senin, atau hari yang ada upacaranya, itu termasuk pelanggaran. Karenanya, kemungkinan besar bakal dihukum. Hukumannya adalah dibariskan secara terpisah, lalu berhadap-hadapan dengan murid-murid lain yang tertib.

Untuk mencegah kena hukuman, pilihannya ada 3. Pertama, pura-pura sakit sehingga bisa sembunyi di ruang UKS. Kedua, pinjam teman yang bawa topi dan dasi dobel. Ketiga, beli di koperasi sekolah.

Agar topi dan dasi gak ketinggalan, ada 1 trik yang bisa diterapkan, yaitu tidak gonta-ganti tas. Jadi, selalu taruh topi dan dasi di dalam tas itu. Dan, jangan lupa untuk selalu memasukkan topi dan dasi setelah memakainya agar gak hilang.

Kedua, Belum Mengerjakan PR dan Tugas.

Ini bisa terjadi karena 2 hal, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Sengaja, artinya tau kalau ada PR dan tugas, tapi karena malas atau tidak paham, kita dengan sengaja belum mengerjakannya. Tidak sengaja, artinya belum mengerjakan karena kita lupa bahwa hari itu ada PR dan tugas.

Kalau PR dan tugas itu ada di jam pelajaran pertama, kita bisa mengerjakannya di pagi hari sebelum bel masuk sekolah berbunyi. 

Kalau ada di jam pelajaran terakhir, kita bisa nyolong-nyolong waktu di jam pelajaran sebelumnya. Jadi, ketika guru sedang menjelaskan, kita pura-pura memperhatikan padahal lagi mengerjakan PR. 

Kalau kita sudah pro biasanya tidak kelihataan kalau sedang mengerjakan PR. Tapi, kalau masih amatir biasanya gerak-gerik kita tampak mencurigakan sehingga hampir dipastikan ketahuan oleh guru yang sedang mengajar.

Ketiga, Ditunjuk Guru.

Ada guru yang suka menunjuk murid maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal atau menjawab pertanyaan. Ada guru yang suka menunjuk murid secara acak. Ada yang menunjuk murid urut tempat duduk. Ada juga yang menunjuk murid urut nomor presensi.

Kalau ditunjuk urut tempat duduk atau nomor presensi, biasanya murid menghitung kemungkinan dia akan kebagian soal nomor berapa. Lalu, kalau dia belum tau jawabannya, dia akan tanya dulu ke temannya yang dianggap “bisa”.

Masalah tunjuk-menunjuk ini ini kadang cukup menegangkan. Karena, ada saja guru yang marah kalau murid yang ditunjuk gak bisa jawab pertanyaan. Dan, bagi murid, disuruh mengerjakan soal di depan kelas itu rasanya kayak perjuangan mempertahankan harga diri.

Keempat, Jadi Ketua Kelompok.

Dalam satu semester, pasti ada tugas kelompok. Di setiap kelompok, harus ada ketuanya. Ketua kelompok itu harus membagi tugas, siapa yang mengerjakan bagian A, B, C, dan seterusnya. Harus memastikan bahwa kelompoknya mengumpulkan tugas tepat waktu. Dan, harus bertanggung jawab terhadap jalannya presentasi.

Ada kelompok yang semua anggotanya itu rajin, pinter, dan punya jiwa kepemimpinan. Nah, biasanya kelompok tipe ini gak akan kesulitan karena pasti ada saja yang dengan suka rela mencalonkan diri jadi ketua. 

Tapi, kalau kebetulan isi kelompoknya itu orang-orang yang gak punya jiwa kepemimpinan, maka urusan pencarian ketua kelompok ini cukup memusingkan. 

Ujung-ujungnya, kalau memang gak ada yang mau, ketua kelompok ditunjuk secara acak atau berdasarkan hasil lotre. Hasilnya, si “korban” gak ikhlas menjabat sebagai ketua kelompok.

Kelima, Duduk Paling Depan Ketika Ada Ulangan.

Bagi sebagian murid, lokasi duduk itu menentukan sukses/tidaknya ulangan berlangsung. Lebih tepatnya, sukses/tidaknya mencontek saat ulangan berlangsung. Kalau hari itu ada ulangan, biasanya murid akan berlomba-lomba berangkat pagi. 

Bahkan mereka rela sampai sekolah pada jam 05.30, menghentikan motor tepat di depan ruang kelas, lari masuk ke dalam kelas dan dengan secepat kilat menaruh tasnya di tempat duduk bagian paling belakang alias tempat duduk primadona.

Murid bakalan down mentalnya, kalau mereka sampai di sekolah itu kalah pagi dari teman-temannya, lalu mau gak mau harus duduk di kursi paling depan. Murid menganggap bahwa dapat tempat duduk di belakang adalah keberuntungan, sementara dapat tempat duduk paling depan adalah kutukan yang menimbulkan kesialan di hari itu.

Keenam, Ikut Lomba Kartini.

Kalau ditanya, kayaknya nyaris gak ada yang mau ditunjuk ikut lomba Dimas Diajeng di hari Kartini. Jadi, biasanya mereka yang ikut lomba ini adalah karena terpaksa. Atau, karena dijadikan tumbal oleh teman-temannya.

Ketujuh, Ikut Remidi.

Ada 2 macam remidi. Pertama, soal UAS dikerjakan ulang di rumah, lalu dikumpulkan ke ruang guru beberapa hari setelahnya. Kedua, murid yang ikut remidi disuruh mengerjakan ulang soal UAS, lalu dikumpulkan saat itu juga. Tipe remidi seperti apa yang digunakan tergantung keputusan guru.

Setiap selesai UAS (Ulangan Akhir Semester), ada pengumuman siapa saja yang harus ikut remidi karena nilainya di bawah KKM (Kriteris Ketuntasan Minimal). 

Ada murid yang “bersih” dari remidi. Ini adalah suatu kehormatan. 

Tapi, ada juga murid yang mengikuti remidi di hampir semua mata pelajaran. Istilah bagi mereka adalah “panitia remidi”. Mereka yang menjadi “panitia remidi” bahkan seringkali pusing, karena gak jarang jadwal remidi antara 1 mata pelajaran dengan mata pelajaran lain itu bentrok sehingga harus negosiasi dengan guru.

***

Kalau dipikir-pikir lagi, kesulitan-kesulitan zaman sekolah itu gak ada apa-apanya dibandingkan kesulitan hidup yang sebenarnya. 

Tapi, kita gak bisa menyalahkan anak-anak sekolah yang mengeluh, lalu membandingkannya dengan kesulitan anak kuliah. Atau, membandingkan anak kuliah dengan dunia kerja. Atau, membandingkan dunia kerja dengan dunia rumah tangga. 

Kenapa? 

Karena manusia diberi kemampuan sesuai tingkatannya. Gak relevan kalau membandingkan satu kesulitan dengan kesulitan lain yang levelnya berbeda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie