Dikucilkan

Ngomong-ngomong tentang kucil-mengucil, pasti sudah tidak asing di kehidupan kita. 
Dalam suatu lingkungan, entah itu di sekolah, kuliah, bahkan tempat kerja, hampir selalu ada orang yang dikucilkan. 

Lantas, mengapa seseorang bisa dikucilkan? 
Menurut pengamatan saya, seseorang bisa dikucilkan karena dianggap tidak berdaya, dianggap tidak kompeten, dianggap tidak setara dengan orang lain, dianggap aneh, dianggap melakukan kesalahan, atau bahkan, tanpa sebab yang jelas. 

What? Tanpa sebab yang jelas? 
Iya, terkadang begitu. Terkadang, beberapa orang mengucilkan seseorang hanya karena rasa tidak suka. Yang mana, tidak sukanya kenapa, dalam hal apa, dan atas dasar apa, pun sulit dideskripsikan. 

Orang yang dikucilkan biasanya akan mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan dari orang-orang yang mengucilkan. 
Seperti misalnya tidak diajak bicara, kalau bertanya tidak dijawab, tidak mendapat teman untuk tugas kelompok, dan sebagainya. 

Selain itu, menurut saya, seseorang bisa dikucilkan karena lagi "apes" saja, sih. 
Iya, apes. Kalau kata orang Jawa, "Menungsa kuwi kanggonan apes lan lali." Artinya, "Manusia itu tempatnya apes dan lupa." Walaupun sudah berhati-hati dan berdo'a, tetap saja, sesekali kita tidak bisa mengelak dari yang namanya apes.

Mengenai orang yang kena apes itu. Katakanlah, seseorang itu pernah berbuat salah. Sebenarnya, kesalahannya tidak seberapa. Tapi, kebetulan, kesalahan itu disaksikan oleh orang yang usil, atau, oleh orang yang memang dari awal sudah punya bibit tidak suka. Jadilah, kesalahan (yang sebenarnya tidak seberapa) itu diingat terus, dan akhirnya orang yang berbuat salah itu dikucilkan. 

Pengucilan bisa menyerang siapa saja, termasuk kita. 

Terus, apa yang harus kita lakukan, kalau kita menjadi orang yang dikucilkan? 
Well, mungkin, jawabannya adalah ikhlaskan saja dan jalani apa yang ada.  

Ikhlas atas apa? 
Ikhlas, atas perlakuan dan pandangan orang lain terhadap kita. Ikhlas berarti menerima. Dalam hal ini, berarti menerima pandangan orang lain terhadap kita, tanpa ada perasaan ingin balas dendam. 

Mengutip buku Filosofi Teras, bahwa ada hal yang berada di dalam kendali kita, ada juga yang di luar kendali kita. 
Perspektif atau pandangan atau pemikiran orang lain terhadap kita, itu di luar kendali kita. Kita juga tidak bisa 100% menghindar dari ke-apes-an. Yang ada di dalam kendali kita hanyalah respon kita atas kejadian tersebut. 

Kalau kita sudah terlanjur menjadi pihak yang dikucilkan, kita hanya perlu bertahan seperti pohon bambu. Pohon bambu, ketika tertiup angin kencang dari segala penjuru, tetap berdiri. Palingan hanya terguncang dan bergoyang ke kanan-kiri. Tapi, tidak tumbang, kan? 

Selain itu, ada tindakan yang dapat membuat kita terhindar dari pengucilan. Ya, setidaknya meminimalisir. Yaitu menjalani sesuatu sebagaimana mestinya. Misal, ada aturan, ya, ditaati. Ada tuntutan, ya, beradaptasi. Ada saat-saat yang mengharuskan kita unjuk kompetensi, ya, tunjukkan bahwa kompetensi kita tidak kalah. Pokoknya, semaksimal mungkin, usahakan agar orang lain tidak punya akses untuk mengucilkan kita. 

Lalu, bagaimana kalau kita jadi orang yang mengucilkan? 
Hmmm, bisa jadi, lho, tanpa kita sadari, mungkin, kita pernah mengucilkan orang lain. Mungkin, kita tidak bermaksud demikian. Mungkin juga, kita mengucilkan hanya karena ikut-ikutan. 

Kita bisa mengucilkan orang lain, karena kita lupa. Lupa, bahwa orang yang pernah berbuat salah itu tidak selamanya salah. Lupa, bahwa orang yang saat ini kurang kompeten itu, bisa saja, di masa yang akan datang, akan melesat jauh di atas kita. Lupa, bahwa ketidakberdayaan orang itu tidak permanen.

Kita bisa mengucilkan orang lain, karena hanya melihat kondisi orang itu saat ini. Padahal, orang itu terus tumbuh dan berkembang, dan akan jadi seperti apa kelak, masih misteri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…