Nostalgia Kegalauan Saat Mengerjakan Skripsi

Terakhir kali saya menyentuh skripsi itu lebih dari setahun lalu. Walaupun demikian, saya masih terngiang-ngiang terhadap segala drama yang menyertai selama proses pengerjaannya, antara lain berupa:

1. Bingung Mau Pilih Tema Seperti Apa.

Untuk memilih tema skripsi, dulu saya sampai harus "bersemedi". Awalnya, saya bingung, apakah saya harus pilih tema skripsi yang spektakuler, atau yang peminatnya banyak, atau yang mudah?

Akhirnya, saya pilih yang mudah saja. Kenapa? Karena, pada akhirnya, yang akan bergumul dengan skripsi tersebut kan, saya sendiri. Bukan orang lain. Jadi, ngapain lah mempersulit diri sendiri?

Lagi pula, kalau mau pilih tema skripsi yang spektakuler misalnya. Tujuannya apa? Supaya terlihat "wow" gitu? Heleh, "wow" menurut mahasiswa, belum tentu "wow" menurut dosen.

Mau pilih tema skripsi yang peminatnya banyak? Biar apa? Biar banyak temannya? Biar bisa kerja sama? Hilih, kenyataannya tidak semudah itu.

2. Dag-dig-dug Menunggu SK Dosen Pembimbing.

Dosen pembimbing ditentukan oleh kaprodi (ketua program studi), dan dinyatakan dalam bentuk SK (Surat Keputusan). Sebenarnya, kaprodi pasti akan memilihkan dosen pembimbing yang tepat untuk mahasiswa. Tapi, dasar mahasiswa, terlalu banyak berimajinasi.

Dulu, saya bertanya-tanya.

Aku bakalan dapat dosen pembimbing yang kayak apa, ya? Galak, kah? Atau, baik hati, kah?

3. Mood Swing Saat Konsultasi.

Setelah dosen pembimbingnya sudah ditentukan, saatnya untuk konsultasi. Di masa-masa konsultasi inilah, mood swing sering melanda.

Kalau saya nge-WhatsApp dosen pembimbing, lalu beliau langsung membalas, maka mood saya membaik.

Dunia terasa indah. Masa depan terlihat cerah. Bunga-bunga bermekaran. Harum mewangi sepanjang hari. Hahaha, lebay.

Tapiii... Kalau dosen pembimbing tidak kunjung membalas, wah, saya mulai cemas sambil bertanya-tanya pada diri sendiri, apa kesalahan saya?

Kenapa, ya? Apakah kalimatku kurang sopan di mata dosen, sehingga beliau marah?

Terus, saya baca-baca lagi.

Ah, udah sopan kok, menurutku. Udah pake salam pembuka, kata maaf, dan ucapan terima kasih.

Akhirnya, saya berusaha positive thinking.

Mungkin, dosennya lagi sibuk aja.

4. Ingin Pindah Ke Lain Tema.

Di tengah-tengah pengerjaan skripsi, ada kalanya, saya bimbang, mempertanyakan ulang tema yang saya ambil.

Emangnya aku yakin, pilih tema ini? Yakin gak mau ganti yang lain?

Tidak jarang, tema lain tampak lebih menggoda di mata saya. Butuh tekad kuat untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa tema yang sudah saya pilih ini adalah benar-benar yang terbaik untuk saya, dan untuk itu, saya harus bertanggung jawab menyelesaikannya.

5. Kelabakan Mencari Literatur yang Relevan.

Literatur sih ada banyak, tapi, apakah relevan dengan tema skripsi saya?

Belum tentu.

Jadi, ternyata, hanya ada 3 buku yang memuat tema skripsi saya. Itu pun saya temukan setelah dapat petunjuk berupa rekomendasi dari dosen pembimbing.

Setelah saya menjelajah ke sana kemari, literatur yang relevan dengan skripsi saya itu sebagian besar adanya di jurnal luar negeri.

Lha, dari jurnal dalam negeri?

Gak ada.

Alhasil, dengan kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan, saya terjemahkan satu kalimat demi kalimatnya pakai Google Translate. Kalau hasil terjemahannya ngaco, misal, grammar-nya terlihat aneh, maka saya improvisasi sedemikian rupa, sambil saya kira-kira, pantasnya bagaimana. Hahahaha...

6. Mentok di Pembahasan.

Walaupun tidak ada syarat spesifik mengenai berapa lembar minimal pembahasannya, tapi, setidaknya ada syarat umum atau "norma kepantasan" yang berlaku, lho.

Jadi, idealnya, jumlah halaman di pembahasan (bab 4) itu lebih banyak dari total bab 1 sampai bab 3.

Semula, pembahasan saya terlalu sedikit. Saya bingung.

Apa lagi, ya, yang harus aku tulis di pembahasan?

Saya kira, pembahasan yang sedikit itu tidak akan menimbulkan masalah.

Eh, tapi, setelah saya serahkan ke dosen pembimbing, beliau meminta saya untuk menambah pembahasannya. Kata beliau, "Perdalam lagi analisisnya!"

Duh, pusing.

7. Penasaran, Siapa Dosen Pengujinya.

Setelah berkali-kali konsultasi, akhirnya skripsi saya di-ACC dosen pembimbing untuk diujikan di sidang skripsi. Deg-degan menunggu SK dosen pembimbing mah, gak ada apa-apanya, dibanding membayangkan, siapa dosen penguji di sidang skripsi saya nanti?

Perasaan takut kalau nantinya bakal dibantai dosen penguji, atau mendapatkan pertanyaan tidak terduga dari dosen penguji, atau bahkan, disuruh merevisi banyak bagian oleh dosen penguji? Ohhh, tidaaak!

***

Itu dia kegalauan saya dulu ketika masa mengerjakan skripsi. Sekarang, bisa dibilang saya sudah khatam dengan segala seluk-beluk per-skripsi-an. Memang begitulah masa-masa mengerjakan skripsi. Indah untuk dikenang, tapi enggan untuk diulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…