Cerpen #2: Seragam Ibu

Orang-orang menyebutku "Sarjana Jalur Corona". Sudah 4 bulan aku menyandang gelar pengangguran intelektual. 

Telah selesai kewajibanku mengenyam pendidikan tinggi. Setelah 3 tahun 8 bulan berjibaku dalam dunia akademis, kini aku harus membuka mata lebar-lebar, menapakkan kaki di dunia nyata. 

Semula, kukira dengan ijazah di genggaman, masalah selesai. Rupanya, ini justru awal mula merebaknya masalah-masalah baru. Baru sekali bagiku.

Predikat alumni universitas favorit tidak cukup membantu. Selama 4 bulan ini, kuhabiskan hari dengan memelototi situs penyedia lowongan pekerjaan di internet. Di masa-masa ini, sedikit sekali perusahaan berlatar belakang sesuai disiplin ilmu jurusanku yang memasang iklan lowongan pekerjaan. 

Entahlah. Dua tahun lalu, nyaris semua dosen dan kakak tingkat mengatakan bahwa prospek kerja terbuka luas bagi alumni jurusanku. Namun, masa depan tak ada yang tahu. Aku tidak menyangka bahwa keadaan bebalik 180 derajat. Jurusanku yang dikenal sebagai jurusan dengan alumni cepat dapat kerja, nyatanya tidak berlaku kali ini.

Mungkin, seharusnya aku tidak mengharapkan imbalan dari jurusan yang kuambil. Mungkin, seharusnya aku tidak bersembunyi di balik topeng “cepat dapat kerja” yang tersemat di jurusanku. Mungkin, seharusnya aku tidak langsung menelan bulat-bulat segala label kemudahan itu. 

Iya, ini salahku. Dulu, sering kudengar nasihat orang-orang bahwa kuliah untuk cari ilmu, bukan cari kerja. Sekarang, baru kupahami maksud nasihat itu. Sekilas, nasihat itu terasa gurih. Selanjutnya, mulai terasa pahit. Pahit sekali jika waktu, tenaga, biaya, dan pikiran yang sudah kukerahkan sedemikian rupa ternyata belum menghasilkan apa-apa.

Kulihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 13.00. Kugaruk kepalaku menggunakan tangan kiri, sementara tangan kananku tak henti-hentinya menggerakkan mouse, menggulir halaman situs dari atas ke bawah, dari halaman pertama ke halaman terakhir. Sebenarnya, garukan ini bukan semata-mata karena gatal, tetapi karena kenyataan bahwa aku tak kunjung menemukan lowongan pekerjaan yang pas. 

Aku ingin mencoba realistis. Mendaftar pekerjaan apa pun walau tidak sesuai dengan jurusanku. Tetapi, berat rasanya hatiku memikirkan kemungkinan itu. Berat rasanya jika aku harus berputar haluan.

Kututup halaman situs penyedia lowongan pekerjaan ini. Kubuka galeri di laptop. Ada foto-foto sewaktu kuliah dulu. 

Lalu, kugerakkan kursor ke sebuah folder yang jarang kubuka. Folder itu berisi kumpulan foto semasa aku bersekolah. Pandanganku terhenti pada sebuah foto yang sudah lama sekali tak kubuka. Foto sewaktu aku memakai seragam putih merah.

Tunggu dulu. Sekarang aku teringat sebuah misteri. Misteri ketika SD. Misteri itu seputar seragam ibu.

***

Ibuku adalah ibu berusia 51 tahun yang berprofesi sebagai guru. Ia pernah mencoba berwirausaha kecil-kecilan, yaitu berjualan telur asin yang dipasarkan di warung makan sekitar rumah. 

Ia sudah menemukan resep terbaik agar menghasilkan cita rasa yang enak. Mitra pemasok bahan baku berkualitas unggul juga sudah dimilikinya. Sebenarnya sudah ada pangsa pasar yang membeli telur asin buatan ibu. 

Tapi itu tak berlangsung lama. Setelah kejadian gempa bumi yang memporakporandakan rumah kontrakan kami, ibu tidak lagi membuat telur asin karena putus kontak dengan mitra pemasok bahan baku. 

Dari situ, ibu merasa bahwa ia tak berbakat wirausaha karena ia tak bisa mengatasi permasalahan tersebut. Jadilah ibu kembali hanya fokus di pekerjaan utamanya.

Ketika aku masih kecil dulu, yang aku ingat adalah ibu nyaris tidak mempunyai baju lain selain seragam. Ibu mempunyai sekian banyak seragam karena mau tidak mau, setiap kegiatan ada seragam yang wajib dikenakannya. 

Akibatnya, ibu menggeser keinginannya membeli baju selain seragam yang sifatnya “sunnah” dengan seragam yang sifatnya “wajib”.

Di lemari bagian gantungan baju, terpampang jelas sederet baju seragam ibu. 

Di lemari bagian kolom-kolom, terlihat pula rok-rok seragam ibu yang dilipat lalu ditumpuk dari atas hingga bawah. 

Di ruang salat keluarga, juga ada besi tempat menggantung pakaian, yang tentu saja tidak luput dari seragam ibu yang tidak muat diletakkan di dalam lemari, karena di rumah kami hanya ada 1 lemari ketika itu. 

Di bagian garasi rumah, dipasang juga kayu panjang yang melintang di bagian atas pintu dari ujung sebelah timur ke ujung sebelah barat, yang tentu saja digunakan ibu untuk menggantung seragamnya yang belum kering dijemurnya. 

Tak sampai di situ, di bagian gagang pintu pembatas ruangan di dalam rumah juga sering ada seragam ibu, biasanya ibu menggantung seragamnya di gagang pintu jika sudah tak ada tempat lain yang luang.

Ibu mengenakan seragamnya di hampir semua acara. Ketika perjalanan berangkat ke rumah nenek, ibu biasanya menggunakan seragam batik dari sekolahnya. 

Sebenarnya ibu selalu waswas kalau sampai ada orang lain yang tau bahwa baju yang dikenakannya adalah seragam atau ketika ada orang lain di perjalanan yang menggunakan baju yang sama persis dengan yang dia kenakan. Namun, rasa waswasnya kalah dengan rasa pasrah karena tinggal itu baju yang bisa dipakainya.

Untuk bawahan, biasanya ibu menggunakan celana panjang berbahan kain satu-satunya yang ia miliki. Celana panjang tersebut berwarna hitam, bermodel simpel, dan tidak beraksesoris apa pun. 

Ibu sengaja memilih warna hitam dan model yang universal agar multi fungsi, agar pantas dikenakan di segala suasana, agar cocok dipadupadankan dengan baju apapun, agar tidak ribet dikenakan di aktivitas apa pun, dan agar tidak mudah rusak setelah dicuci menggunakan mesin cuci.

Bahkan ketika salat Idul Fitri di masjid dekat rumah nenek, ibu juga mengenakan seragamnya. Biasanya di acara ini ibu memakai baju seragam bermotif lurik atau bunga-bunga dan bawahan rok model A. 

Ketika ada acara Dasa Wisma, seragam juga tak pernah luput dari ibu. Biasanya kegiatan ini diadakan pada pukul 15.00, yang mana hanya satu jam sepulang ibu selesai dari pekerjaannya. 

Dengan alasan agar hemat cucian dan malas ganti baju, ibu mengenakan seragam yang dikenakannya hari itu untuk menghadiri Dasa Wisma. Lagi pula berdasarkan pengamatanku acara itu hanya berlangsung sebentar sehingga seragam bekas tidak akan mengganggu kenyamanan ibu.

Satu-satunya kegiatan yang ibu laksanakan dengan mengenakan baju selain seragam adalah pengajian dua kali seminggu setiap pukul 20.00 sampai dengan 22.00. 

Mungkin karena malam hari, ibu sungkan mengenakan seragam. Baju yang biasanya dikenakannya di kegiatan itu adalah gamis dengan warna dasar hitam  dan bermotif bunga berwarna coklat. 

Sebenarnya gamis tersebut adalah pakaian hamilnya ketika mengandungku dulu. Tentu saja, gamis tersebut berumur lebih tua dibandingkan umurku. 

Walaupun gamis tersebut merupakan pakaian hamil, tetapi secara visual tampak seperti pakaian biasa saja. Di badan ibu yang tidak sedang hamil memang terlihat longgar, tetapi tidak terlihat kedodoran juga sehingga bagus-bagus saja. Gamis tersebut merupakan gamis satu-satunya yang ibu miliki setelah kehamilannya.

***

“Budhe, kok pakai baju itu lagi?” tanya Indah, sepupuku yang saat itu masih duduk di kelas 2 SD di momen mudik lebaran, pada ibuku. 

Semua anggota keluarga besar berkunjung ke rumah nenek. Ibuku sengaja memisahkan baju yang dipakainya di rumah dengan baju khusus untuk mudik. Tentu, baju yang dipakainya di rumah sangat ala kadarnya, tak jauh-jauh dari kaos hadiah kegiatan gerak jalan. 

Sementara, baju yang khusus dipakainya selama mudik tentu lebih bagus. Baju khusus mudik itu tidak pernah diutak-atiknya meski baju rumahnya sudah luntur dan sobek di beberapa bagian. Juga disimpannya di tumpukan khusus dalam lemari. Dikeluarkannya hanya saat akan mudik. 

Walau pun baju itu masih bagus, tetapi karena dipakai selama bertahun-tahun tentu membuat Indah heran dan merangsangnya untuk bertanya. Sebuah pertanyaan yang kudengar itu, jujur, membuatku malu sebagai anak ibu.

***

“Nayla, cepat angkat jemurannya, pasti sudah kering seperti kerupuk,” teriak ibu menyadarkanku dari lamunan panjang. 

Kulihat jam di dinding. Pukul 14.30. Sudah 1,5 jam pikiranku melayang-layang. Kuarahkan kursor menuju kiri bawah lalu kupilih shut down. Kututup laptop setelah layarnya tidak lagi menyala. 

Aku bangkit dari posisi duduk. Segera kuambil keranjang di bawah meja makan. Aku segera berjalan menaiki anak tangga. 

Di lantai dua rumah ini, terpampang berupa-rupa pakaian yang sudah dijemur sejak pagi. Kulepas jepitan jemuran satu per satu. Kumasukkan pakaian-pakaian kering ini ke dalam keranjang.

Sambil memasukkan pakaian kering ke dalam keranjang, kembali kulanjutkan lamunanku tadi. Sesekali kupungut pakaian yang jatuh ke luar keranjang akibat tertiup angin saat jepitannya sudah kubuka. 

Di masa-masa sulitku, aku baru dapat menyibak misteri itu. Sebagai pengangguran yang kegiatan sehari-harinya hanya membantu ibu menyapu, mengepel, mencuci piring, dan mengangkat jemuran, aku baru tahu betapa seragam ibu menyimpan rahasia. 

Sebuah rahasia yang baru kumengerti akhir-akhir ini. Sebuah rahasia yang mungkin jika kuketahui sejak remaja dulu, aku tak akan bisa menikmati rasa makanan, tak akan bisa tidur nyenyak, dan tak akan tega meminta ini itu.

Dulu, di mataku ibu terlihat biasa saja. Hanya seorang guru yang harus berhemat. Hanya seorang guru yang harus menutup matanya agar tidak tergoda membeli sesuatu yang bukan barang primer. Dan hanya seorang guru yang sering tidak bisa memenuhi keinginan anaknya yang sering lapar mata ini.

Kini, semuanya terlihat gamblang. Ibuku tidak sebiasa itu. Sesungguhnya, ibu telah berhemat sedemikian rupa, hingga nyaris tak punya baju selain seragam, semata-mata untuk kehidupan yang lebih baik. Jelasnya, semata-mata agar dapat mencukupi kebutuhan lain yang lebih esensial. 

Ibuku dapat membeli tanah, membangun rumah, dan menyekolahkanku dengan tangannya sendiri. 

Jika dulu ia tidak mengencangkan ikat pinggang, mungkin sekarang keadaannya dan keadaanku tidak baik-baik saja. Dan jika dulu ia bergonta-ganti baju, mengikuti model terkini, mungkin rumah yang kutempati ini takkan ada, mungkin aku takkan bisa sekadar berteduh di sini, dan mungkin kuliahku takkan selesai.

Di masa-masa sulitku ini, aku jadi sentimental. Saat membuat telur dadar, aku baru sadar betapa berharganya sebutir telur. Saat mencuci piring, aku baru sadar betapa luar biasanya setetes sabun pencuci piring. Dan saat menyentong nasi, aku baru sadar betapa bermanfaatnya sebutir beras. 

Dan aku, belum bisa membeli itu semua dengan penghasilanku sendiri baik di tanggal tua atau pun tanggal muda. Sementara itu, ibu bisa membeli itu semua. Kapan pun ketika perlu sembako, listrik, hingga keran air yang baru, ibu selalu bisa mengeluarkan uang dari dompetnya, seolah tanpa beban, untuk membayar itu semua.

Bahkan saat ibu membeli bahan masakan di tukang sayur keliling, rasanya ingin kubungkam mulut si tukang sayur agar ia berhenti. Agar ia tidak terus-menerus memasukkan barang belanjaan ibu ke dalam kantong plastik sambil menyebutkan nominal yang harus ibu bayar. 

Iya, aku tahu, ini terdengar konyol. Aku juga tahu, ini bukan salah tukang sayur, sebab sayur-mayur itu dibeli oleh ibu atas kemauannya sendiri, yang tentu untukku juga. 

Tetapi, aku paham betul betapa mahalnya biaya yang harus ibu keluarkan dan aku tak sampai hati melihat ibu perlahan-lahan mengeluarkan berlembar-lembar uang kertas dan berkeping-keping uang receh dari dompetnya.

Dulu aku malu melihat ibu memakai seragamnya ke mana pun ia pergi. Sekarang aku justru berterima kasih dengan seragam ibu, karena berkat seragam itu, setidaknya kehidupanku dan ibuku layak walau di masa krisis ini. 

Betapa dulu ketika masih anak-anak dan remaja, pikiranku sangat dangkal. Aku malu mengingat kebodohanku di masa lalu yang sering memikirkan hal-hal remeh.

Sekarang, kehidupan kami tidak sesedih itu. Setidaknya, ibu sudah bisa membeli baju selain seragam. Ya, meski pun ibu baru bisa membelinya di event diskon yang rutin diadakan di emperan toko. Paling tidak, di sela-sela sederet gantungan baju itu ada beberapa helai pakaian selain seragam yang bisa ibu pilih.

Kututup lamunan ini yang ditandai dengan sehelai pakaian terakhir yang kumasukkan dalam keranjang. Kurasakan matahari sore sedang panas-panasnya, menyilaukanku dan membuat keringatku mengucur di pelipisku. 

Bersamaan dengan satu per satu kakiku menuruni anak tangga yang lebarnya tak lebih dari 80 cm ini sambil mengangkat sekeranjang pakaian, aku tersenyum simpul karena telah menemukan jawaban seputar misteri seragam ibu yang selama ini kucari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya