Membakar Buku Diary
Tiga hari lalu, aku membuat sebuah keputusan yang cukup besar: membakar buku diary. Sebetulnya, sudah sejak lama aku ingin melakukannya. Tapi, dulu masih maju mundur antara iya, enggak, iya, enggak, iya, enggak, begitu terus.
Hingga akhirnya... tiga hari lalu, pada sore hari sebelum mandi, bulat sudah keputusanku untuk membakar buku diary.
Jadi, sore itu, aku mengendap-endap menuju kebun di belakang rumah. Kubakar buku diary-ku di situ, di antara tumpukan daun-daun kering. Aku lega sekali karena proses pembakaran berlangsung lancar. Tidak ada orang lain yang melihat. Sebab, kalau sampai aku ketangkap basah sedang membakar sesuatu, pasti aku bingung harus mengatakan apa. Ya kali aku bilang lagi bakar-bakar buku diary? Hehehe...
Kenapa sih, kok aku sampai berpikiran harus bakar diary-ku?
Jadi begini. Buku diary yang kubakar itu aku miliki sejak SMP. Dan sejak saat itu jugalah, diary tersebut aku isi beraneka ragam curhatan. Segala macam peristiwa dan permasalahan aku tulis di situ tanpa sensor.
Dulu sih, aku merasa aman-aman aja. Tapi seiring berjalannya waktu, dan setelah aku baca-baca ulang, aku merasa terlalu banyak aib yang kutulis di situ. Aib yang sebetulnya gak boleh diketahui orang lain, keluargaku sekali pun. Aib yang... kalau sampai ada orang lain yang baca, itu memalukan banget. Oh gak cuma memalukan, tapi juga berbahaya.
Walaupun (dulunya) diary itu sudah kusimpan di tempat tersembunyi, tapi, tetap aja kan, ada kemungkinan ditemukan orang lain, entah gimana caranya? Maka, sebelum hal itu terjadi, aku bakar aja, biar lenyap sekalian.
Selain itu, aku memutuskan untuk membakar diary karena aku merasa sudah tidak berurusan lagi dengan curhatan-curhatan di dalamnya. Maksudnya, kuanggap masalah-masalah yang aku tulis di dalamnya itu sudah selesai. Kuanggap masalah-masalah yang kutulis di diary tersebut adalah bagian dari masa lalu yang tidak perlu diingat-ingat lagi.
Komentar
Posting Komentar