Diary Sarjana Jalur Corona

Aku adalah sarjana jalur corona. Sebenarnya, gak juga sih. Aku sidang skripsi di awal Maret 2020. Waktu itu, corona sudah mulai terdengar beritanya. Tapi belum heboh. Aku masih bisa melangsungkan ujian skripsi dengan datang langsung ke kampus. Masih bertemu langsung dengan dosen pembimbing dan penguji. Masih bertegur sapa dengan teman-teman seangkatan.

Sekitar 2 minggu setelahnya, tiba-tiba kabar corona santer terdengar. Instruksi meliburkan sekolah dan kampus langsung keluar. Akhirnya, aku harus revisi skripsi via online. Konsultasi revisi skripsi lewat WhatsApp dan E-mail. Semua ada plus minusnya. Plusnya, aku yang malas gerak ini gak perlu repot-repot naik motor ke kampus. Minusnya, komunikasi dengan dosen agak tersendat. Tapi, syukurlah semuanya teratasi.

Wisudanya di bulan Mei 2020. Gak ada wisuda online. Cuma ada pengambilan ijazah di bagian akademik fakultas. Jujur, aku malah lebih senang dengan sistem ini. Aku bukan tipikal orang yang maniak acara atau maniak foto. Jadi, aku gak masalah kalau gak ada acara wisuda. Gak masalah kalau gak punya foto pakai toga sambil nenteng ijazah.  

Di hari itu, datang banyak ucapan selamat di grup angkatan. Aku merasa lega. Tapi, kelegaan itu memang cuma ada di hari itu. Setelah ijazah ada di genggaman, lalu apa? Aku merasa, sebagai seorang sarjana ada beban berat yang kupikul di pundak. Ada sesuatu yang harus kupertanggungjawabkan. Ada sesuatu yang harus kubuktikan.

Kelegaan itu berubah jadi kekhawatiran. Aku khawatir menjadi seorang sarjana yang gagal. Istilahnya, sarjana kopong.

Aku lulus di saat-saat sulit. Di masa corona ini, sedikit sekali lowongan pekerjaan yang ada. Terutama yang sesuai dengan jurusanku. Dan, yang lokasinya ada di kotaku atau sekitarnya.

Setiap hari membuka situs LinkedIn, bukannya tercerahkan tapi malah insecure. Insecure melihat profil orang lain yang sudah punya pengalaman kerja. Insecure melihat berderet pencapaian yang tertulis di situ. Satu postingan seputar lowongan pekerjaan dari HRD, akan dilikes dan dikomentari ratusan orang, dari junior yang belum punya pengalaman hingga senior yang sudah belasan tahun berkecimpung di antah-berantah pekerjaan.

Berbulan-bulan siklus tidurku kacau. Aku gak bisa tidur di malam hari. Mataku baru bisa terpejam pada pagi hingga siang hari.

Dan, inilah statusku sejak diwisuda hingga hari ini. Pengangguran. Dulu, kukira jadi pengangguran itu biasa saja. Ternyata, capek luar biasa. Aku mulai merasakan momen-momen canggung ketika ditanya.

“Jadi, sekarang kesibukannya apa?”

Tiba-tiba, aku jadi gagu. Karena memang, aku bingung harus menjawab apa. Kesibukanku, hanya cari pekerjaan (yang sampai sekarang belum ketemu), bebersih rumah, dan sesekali momong keponakan yang baru berumur 1 tahun. Oh, ada lagi. Baca buku di iPusnas. Dari bulan Maret sampai Oktober ini, total sudah ada 50 buku di iPusnas yang sudah kubaca.

Tapi, segala hal yang kulakukan itu belum terlihat sebagai “sesuatu”. Tuntutan orang-orang cuma 1. Segera dapat pekerjaan. Titik.

Komentar

  1. Mbaak keren banget bisa baca buku sampai 50 hanya dalam waktu beberapa bulan. Lah sayaa, satu buku Dan Brown aja nggak kelar-kelar😫

    Memang situasi pandemi ini bikin keadaan kita lelah ya, secara mental dan fisik. Untuk mbak yg baru lulus, kekhawatiran muncul karena salah satunya kita nggak bisa banyak berbuat. Cuma cari-cari referensi via online aja bisanya. Sebagai mahasiswa tua yang diujung tanduk, saya sendiri belum merasakan ada di posisi mbak sekarang. Tapi jujur skripsian di masa pandemi emang nggak banget deh, sumber kurang banget karena cuma mengandalkan jurnal dan e-book yang terbatas keberadaannya, komunikasi dengan dosbing pun terhambat, dan seabrek urusan yang tersendat🤧

    Semoga apapun kondisinya, mbak tetap diberi ketabahan dan kekuatan ya, semoga juga segera dilapangkan rezekinya, termasuk dalam hal pekerjaan. Aamiin, semangat mbak!💪🏻

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat skripsian mbak.
      Iya di masa corona ini kita berat banget untuk terlihat "baik baik saja".
      Saya dulu waktu berita covid muncul, udah tinggal revisi skripsi. Tapi, itu pun rasanya gak enak. Mau nge-WA dosen, minta ACC takut dikira gak sabaran, tapi kalo gak nge-WA, bisa2 dosennya terlalu santuy dan revisi skripsi kita terlupakan begitu saja.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya