Postingan

Ilusi VS Kenyataan

Apa yang terlintas di benak kita saat sedang membuka YouTube, tiba-tiba muncul di beranda, “Cara Mudah Membuat Blablabla” ditambah gambar thumbnail yang menarik, judul yang waw , serta jumlah viewer yang banyak? Hampir dipastikan, kita akan meng-klik video tersebut. Walau pada awalnya kita tidak berminat dengan objek bahasannya, tapi karena ada kata “mudah”, “gampang”, “cepat”, “praktis”, dan “dijamin langsung bisa”, pertahanan kita goyah juga. Kita jadi tertarik nonton. Kita memang menyukai kemudahan. Kalau bisa, usaha minimal mendatangkan hasil maksimal. Termasuk video bombastis itu. Melihatnya lewat sekelebatan, kita jadi berfantasi bahwa melakukan apa yang ada di dalam video itu benar-benar mudah dan hasilnya langsung bagus. Namun, benarkah semudah itu? Kenyataannya, tidak. *** Saya pernah beberapa kali mengalaminya. Beberapa bulan lalu, video “Tutorial Mudah Membuat Pie Susu” nongol di beranda YouTube saya. Tanpa pikir panjang, saya langsung menontonnya. Alatnya cuma

Sibuk Latah

Setiap waktu, trend bergulir. Bergulirnya trend itu layaknya pergerakan roda, yakni terus memutar. Sesuatu yang dulu menjadi trend , beberapa waktu kemudian akan tenggelam, lalu sekarang kembali naik daun. Dan manusia, pada dasarnya sibuk latah terhadap trend atau sesuatu yang viral. Ya, kita sangat menginginkan apa yang sedang kita tonton. Kita akan penasaran, membicarakannya siang malam, hingga lama-kelamaan ikut membeli atau melakukan trend . Mulai dari trend Gelombang Cinta, batu akik, hingga berkebun yang booming akhir-akhir ini, selalu menggelitik perhatian kita. Kalau dilihat, fenomena trend polanya sama. Dimulai dengan media yang sibuk. Entah bagaimana caranya, benda atau kegiatan yang sedang diberitakan itu tampak menarik. Lalu, semua orang ingin memiliki. Dan akhirnya, barang tersebut dijual dengan harga melambung. Sejak itulah, ternobatkan sebagai barang yang lagi nge- trend . Menurut saya, keinginan tiba-tiba meningkat karena kita terus-menerus terpapar informas

Orientasi Keluarga

Saya percaya bahwa setiap keluarga punya orientasi masing-masing. Kalau di jurusan kuliah saya, orientasi artinya penunjuk arah utara dalam peta. Tapi, orientasi yang saya maksud di sini adalah kecenderungan untuk mengutamakan sesuatu hal. Atau, dengan kata lain, bisa juga disebut sebagai prioritas. Pasti ada yang melatarbelakangi, mengapa suatu keluarga cenderung memprioritaskan satu hal dibanding hal lain. Dulu, saya kira ini semata-mata karena tingkat ekonomi. Namun, seiring berjalannya waktu, saya mengamati, bahwa orientasi keluarga tidak selalu dipengaruhi oleh tingkat ekonomi. Ada hal-hal kompleks yang mempengaruhi jenis orientasi dalam suatu keluarga. Hal-hal tersebut bisa berupa tipe kepribadian, tradisi dalam keluarga, hingga jumlah anggota keluarga. Tapi, saya tidak akan menjelaskan yang kompleks-kompleks itu. Di sini, saya hanya menulis jenis-jenis orientasi keluarga berdasarkan observasi kecil-kecilan yang saya lakukan. Tentu, ini tidak ilmiah. Jadi, hanya untuk seru-seru

Diet

Kalau mendengar kata “diet”, apa yang terlintas di benak kita? Mayoritas akan membayangkan diet adalah upaya mengurangi porsi makan untuk menurunkan berat badan. Tidak makan nasi, tidak makan gorengan, dan tidak minum manis. Itu yang membekas di kepala kita. Padahal, sebenarnya diet adalah upaya mengatur pola makan. Jadi, tidak selalu ditujukan untuk menurunkan berat badan. Seseorang yang ingin menaikkan berat badan lalu menambah porsi makannya juga tergolong diet. *** Oh, iya. Diet yang akan saya tulis di sini hanyalah diet dalam perspektif ibu saya. Ibu saya bukan dokter atau ahli gizi. Jadi, tulisan di bawah ini tidak berisi teori-teori diet ideal menurut kesehatan, tetapi lebih ke aspek filosofisnya. Tidak ada maksud menyinggung, menghina, menyalahkan, atau menyudutkan siapa pun dalam tulisan ini. Tulisan berikut lebih membahas diet untuk menghasilkan berat badan yang wajar. Ibu saya sudah berumur 60 tahun namun berat badannya masih tergolong stabil. Beliau punya pengalaman d

Kebablasan

Kadang, keterbatasan kita jadikan alasan malas berkembang. Entah itu keterbatasan fasilitas, waktu, tempat, dst. Lalu, kita bernafsu mengejar ketercukupan. Namun, benarkah ketercukupan menjadikan kita auto lebih baik? *** Zaman saya sekolah dulu, setiap guru punya materi pelajaran di Power Point (PPT). Dan, selalu ada saja murid yang meminta materi itu lewat flash disk atau pun dipotret saat slide PPT ditayangkan di depan kelas. Saya juga hampir selalu memotret slide PPT pakai kamera HP. Namun, walaupun sudah sebegitu mudahnya, sebegitu berlimpahnya sumber belajar, apakah lantas saya jadi rajin belajar? Tidak juga. Kenyataannya, foto-foto materi pelajaran hanya nangkring di galeri HP. Sementara itu, soft file dari guru hanya tersimpan di flash disk . Faktanya, saya baru membuka dan membacanya ketika menjelang ulangan atau ujian. Tapi, setidaknya perilaku saya tersebut belum sampai level membahayakan. Paling, risikonya hanyalah nilai saya tidak bagus-bagus amat. *** Cer

Kuota Apes

Berdasarkan pengamatan saya, ada 2 tipe orang dalam merespon aturan. Pertama, orang yang suka patuh aturan. Kedua, orang yang suka melanggar aturan. Tentu keadaan ini dinamis. Orang yang suka patuh aturan, ada kalanya satu atau dua kali melanggar. Begitu pula orang yang suka melanggar, ya, sesekali patuh aturan juga. Namun, biasanya, orang yang suka melanggar itu adalah orang yang beruntung. Maksudnya, ketika dia sedang melanggar, kebetulan sedang tidak ada razia, tidak ketahuan, sehingga tidak dihukum. Sekalinya lagi ada razia, lha kok kebetulan pas dia lagi patuh aturan. Sedangkan, orang yang suka patuh aturan itu biasanya tidak terlalu beruntung. Maksudnya, ketika dia sekali saja mencoba melanggar, kebetulan ada razia, langsung ketahuan saat itu juga, dan akhirnya dikenai hukuman, deh . Sayangnya, saya termasuk golongan ini. Ketika SMP, selalu ada upacara bendera tingkat kecamatan pada tanggal 17 Agustus di setiap tahun. Upacara ini diadakan di sebuah lapangan yang lokasinya

Di Balik Lantai yang Kinclong Terdapat…

Dulu, saya tidak tahu apa bedanya lantai yang sudah disapu dengan yang belum. Menurut saya sama saja—sama-sama lantai keramik, sama-sama warnanya putih. Ya, kalau pun kotor, paling-paling cuma ada beberapa butir debu. Ketika disuruh ibu nyapu, dan saya belum melakukannya, ibu tahu—dan akan terus-terusan menagih saya untuk nyapu. Saya pun membatin. Wah, jam terbang ibu yang tinggi ini canggih juga, ya, sudah benar-benar pro, bisa loh membedakan mana lantai yang sudah disapu dan mana yang belum. Maka, saya pun menyapu, walau setelah itu, lagi-lagi, tak tahu apa perbedaannya dengan ketika belum disapu. Jadi, saya tak paham, apakah saya sudah menyapu dengan bersih, baik dan benar. Biasanya, setelah melihat saya benar-benar sudah menyapu, ibu akan diam. Mungkin, yang penting, saya sudah nyapu. Urusan bersih atau belum, itu bisa dilatih nanti. Dan, sejak lulus kuliah dan masih jadi pengangguran, saya berusaha mencintai dunia sapu-menyapu. Jika dulu saya menyapu hanya untuk menggugur