Di Balik Lantai yang Kinclong Terdapat…
Dulu, saya tidak tahu apa bedanya lantai yang sudah disapu dengan yang belum. Menurut saya sama saja—sama-sama lantai keramik, sama-sama warnanya putih. Ya, kalau pun kotor, paling-paling cuma ada beberapa butir debu.
Saya pun membatin. Wah,
jam terbang ibu yang tinggi ini canggih juga, ya, sudah benar-benar pro, bisa
loh membedakan mana lantai yang sudah disapu dan mana yang belum.
Maka, saya pun menyapu, walau setelah itu, lagi-lagi, tak tahu apa perbedaannya dengan ketika belum disapu. Jadi, saya tak paham, apakah saya sudah menyapu dengan bersih, baik dan benar.
Biasanya, setelah
melihat saya benar-benar sudah menyapu, ibu akan diam. Mungkin, yang penting,
saya sudah nyapu. Urusan bersih atau belum, itu bisa dilatih nanti.
Dan, sejak lulus
kuliah dan masih jadi pengangguran, saya berusaha mencintai dunia sapu-menyapu.
Jika dulu saya menyapu hanya untuk menggugurkan kewajiban, sekarang saya
melakukannya dengan sepenuh hati dan penuh penghayatan. Saya bertekad menjadi
penyapu professional. Maka, saya menyapu setiap hari, terlepas dari disuruh
atau tidak.
Hmmm, setelah rutin
menyapu setiap hari tanpa bolong-bolong selama 1 bulan pertama, saya menyadari
1 hal. Rupanya skill saya meningkat. Saya jadi tahu, apa bedanya lantai
yang sudah disapu dan yang belum. Saya tahu mana hasil menyapu yang bersih dan
yang tidak. Ternyata benar juga kata pepatah, practice makes perfect.
Sampai suatu hari,
ketika sedang bersantai, ibu bilang, “Dulu, ada warga di dusun ini, namanya
mbah W. Beliau itu rajin sekali membersihkan rumahnya. Beliau selalu bangun
setelah subuh, kemudian mengelap semua perabotannya yang terbuat dari kayu jati,
menyapu lantai, lalu menyapu halaman sampai pukul 11 pagi. Dan, rumah beliau
itu kinclong benget. Ibaratnya, nyamuk aja meleset.”
Mendengar penjelasan
itu, saya jadi mikir. Betapa kontrasnya saya dengan mbah W. Saya saja, baru
menyapu lantai sehari sekali, rasanya sudah ngos-ngosan seperti habis lari
keliling lapangan. Itu, mbah W, perkasa banget.
Lalu, ibu menambahkan,
“Yang namanya rumah, kalau sampai kinclong, itu pasti penghuninya gigih. Rumah
gak akan kinclong kalau penghuninya males-malesan.”
Saya pun
menghubung-hubungkan hal ini dengan hal lain. Selama ini, kita sering hanya
melihat sesuatu dari luarnya. Ibaratnya, kita hanya melihat etalasenya. Tidak melihat
proses pembuatannya di balik layar.
Padahal, semakin bagus
sesuatu hal, selalu berbanding lurus dengan tingkat kerja keras. Itu sudah
hukum alam. Semua ada hitungannya. Kalau kita ingin punya value 10, ya, porsi
perjuangan kita minimal juga harus 10. Gak
masuk akal, kalau porsi perjuangan kita cuma 1, tapi berharap dapat hasil 10.
Selain itu, dunia
memang menuntut kita untuk menampilkan hasilnya saja. Dunia tak peduli dengan
segala tetek bengek kesulitan, jungkir balik, darah, keringat, dan air mata kita.
Kita memang diarahkan
untuk hanya menampilkan yang enak-enaknya saja, sementara pait-paitnya tak usahlah
diumbar ke mana-mana. Itulah kenapa, di sosial media, kita memang hanya akan
mengupload foto, video, caption, dan status yang bagus-bagus.
Misal, seorang
mahasiswa tingkat akhir, hanya akan mengupload foto dia ketika sudah selesai
sidang skripsi, memakai baju hitam putih, menggenggam bucket bunga, memakai
selempang bertuliskan namanya, dan tersenyum manis. Dia tidak akan mengupload
foto ketika dia sedang dalam masa sulit mengerjakan skripsi—entah itu
mengejar-ngejar dosen pembimbing, revisi yang tak kunjung selesai, dan referensi
yang tak kunjung ketemu.
Selama ini, kita
sering hanya terkagum-kagum ketika melihat sesuatu yang bagus sambil membatin. Ah,
betapa enaknya jadi dia. Punya rumah yang lantainya sekinclong itu.
Tanpa kita sadari,
bahwa di balik lantai yang kinclong, terdapat waktu dan tenaga yang harus
dikerahkan untuk mencapai itu. Selalu ada harga yang harus dibayar. Ingin
lantai yang shining, shimmering, splendid, ya, harus dibayar dengan keringat
yang bisa jadi menetes ketika proses menyapu berlangsung.
Jadi, di balik lantai yang kinclong, terdapat penghuni rumah yang bekerja keras.
Betul sekali kak. Kalau mau sukses ya usaha dan bekerja keras, bukan hanya malas-malasan, harus mau untuk keluar dari zona nyaman kita sendiri. Semangat!
BalasHapusGak tau kenapa, baca tulisan ini kok sambil ketawa sendiri ya. Sosok ibu dan mbak mengingatkan saya akan rumah. Adik saya itu seperti mbak yang kalau disuruh nyapu, sering bilang "kayaknya gak ada yang kotor lho" hehe.
BalasHapusTulisan ringan tapi ada pesan yang jempolan. Nice mbak :)