Kebablasan
Kadang, keterbatasan
kita jadikan alasan malas berkembang. Entah itu keterbatasan fasilitas, waktu,
tempat, dst. Lalu, kita bernafsu mengejar ketercukupan. Namun, benarkah ketercukupan
menjadikan kita auto lebih baik?
***
Namun, walaupun sudah
sebegitu mudahnya, sebegitu berlimpahnya sumber belajar, apakah lantas saya
jadi rajin belajar?
Tidak juga. Kenyataannya,
foto-foto materi pelajaran hanya nangkring di galeri HP. Sementara itu, soft
file dari guru hanya tersimpan di flash disk. Faktanya, saya baru
membuka dan membacanya ketika menjelang ulangan atau ujian.
Tapi, setidaknya perilaku saya tersebut belum sampai level membahayakan. Paling, risikonya hanyalah nilai saya tidak bagus-bagus amat.
***
Cerita terus
berlanjut. Saya kuliah di klaster saintek. Dalam satu minggu, ada 7 praktikum
yang harus saya ikuti. Setiap praktikum mewajibkan pembuatan laporan yang
diketik dan di-print.
Di kampus saya, ada 2
golongan mahasiswa dalam mengerjakan laporan praktikum. Pertama, Deadliner,
yaitu mahasiswa yang mengerjakan laporan di hari-H deadline. Kedua, Ciciler,
yaitu mahasiswa yang mengerjakan laporan secara mencicil dari jauh-jauh hari sebelum
deadline.
Saat semester 1 hingga
4, saya belum punya printer karena belum mampu beli. Walau demikian,
saya tidak mempermasalahkannya. Justru, saya menjadikannya sebagai antisipasi
agar saya mengerjakan laporan dari jauh-jauh hari. Jadi, saya termasuk
mahasiswa Ciciler.
Setiap pulang kuliah,
saya langsung mengerjakan laporan. Dan, setelah laporannya jadi, saya menuju
tempat foto copy yang juga menyediakan printer. Ini saya lakukan
setiap hari. Bolak-balik kampus, rumah, tempat foto copy. Sampai-sampai,
penjaga foto copy-nya hafal muka saya.
Saya melakukan itu bukan
karena rajin, melainkan karena tidak mau cari masalah. Saya tidak mau kalau
gara-gara menunda mengerjakan laporan, saya baru bisa nge-print saat 5
menit menjelang praktikum berlangsung, di tempat foto copy ada banyak orang
antri, lalu kalau apes, bisa saja listriknya mati atau komputernya nge-hang.
Dan, saya telat mengumpulkan laporan. Akibatnya, nilai saya dikurangi. Saya gak
mau skenario terburuk itu jadi kenyataan.
Memasuki semester 5,
saya sudah bisa membeli printer. Sejak punya printer, hidup terasa
lebih mudah. Tidak perlu lagi bolak-balik ke tempat foto copy. Lagi
pula, pasti penjaga foto copy sudah bosan melihat muka saya setiap hari.
Tapi, sejak punya printer
sendiri, saya mulai berubah. Saya berangsur-angsur menjadi mahasiswa Deadliner.
Jika sebelumnya saya mengerjakan laporan dari seminggu sebelum deadline,
sejak punya printer saya baru mengerjakan laporan H-1 deadline.
Kenapa bisa begini?
Karena saya bisa nge-print
kapan pun dengan santai. Saya bisa mengerjakan laporan jam 12 malam dan baru nge-print
pada jam 5 pagi.
Namun, di sinilah awal
mula kehancuran. Di kondisi yang sudah gampang, saya menggampangkan keadaan. Saya
merasa, kalau sudah punya printer, tidak akan ada masalah. Tapi, saya
keliru. Justru, kemudahan yang sudah saya punya, menggerogoti saya perlahan-lahan,
dan merusak saya, tanpa saya sadari.
Jadi, begini
ceritanya. Saat itu, kuliah sudah hampir mendekati akhir semester. Praktikum tinggal
2 pertemuan lagi. Dan, saya sudah lelah di semester itu. Gairah mengerjakan
laporan sudah menipis.
Sampai suatu ketika, saya
baru sadar kalau hari itu ada praktikum. Sebut saja praktikum X. Dan, saya baru
ingat, kalau saya belum mengerjakan laporan praktikum X.
Asisten praktikum X
berkata bahwa, laporan maksimal dikumpul hari itu jam 3 sore. Kalau lewat dari
waktu itu, nilainya dikurangi.
Mendengar penjelasan
asisten praktikum X, saya pun ngebut mengerjakan laporan. Namun, kali itu, langkah kerja
yang harus dilakukan cukup rumit dan hasil praktikum yang harus dilampirkan
cukup banyak. Sengebut-ngebutnya saya mengerjakan, tetap saja pada jam 3 sore belum
selesai.
Saya pun harus
menerima kenyataan kalau nilai saya akan dikurangi.
Singkat cerita, kuliah
dan praktikum sudah selesai di semester itu. Lalu, tibalah hari-hari pengumuman
nilai. Saya sudah menduga kalau nilai praktikum X akan jelek.
Dan, hasilnya?
Benar-benar jelek.
Maksud saya, untuk ukuran praktikum, itu termasuk nilai rendah. Bahkan, itu
termasuk nilai praktikum terendah selama saya kuliah.
Tapi, walau nilainya
tidak bagus-bagus amat, setidaknya saya lulus di mata kuliah praktikum X. Bayangkan,
kalau gara-gara telat mengumpulkan laporan, lalu saya tidak lulus. Artinya,
saya harus mengulang tahun depan, kan?
Lihat, betapa kemudahan
kadang membuat kita terlena. Kemudahan, jika tidak dipergunakan secara bijak
sesuai kadarnya, justru menjadi senjata makan tuan. Bukannya memudahkan, tapi
malah mematikan.
Dalam pengalaman saya
tersebut, belum sampai tahap mematikan, sih. Hanya merugikan. Andaikan saya
tidak terlena dengan keberadaan printer di rumah, tetap menjadi
mahasiswa Ciciler, dan tidak berubah menjadi mahasiswa Deadliner,
pasti saya masih bisa mengumpulkan laporan tepat waktu. Dan, pasti nilai
praktikum X saya bisa jauh lebih baik.
***
Ada satu lagi pengalaman
saya dalam hal menggampangkan keadaan. Kali ini, bukan alat yang membuat saya
terlena, melainkan waktu.
Cerita ini juga terjadi
saat saya masih duduk di bangku kuliah.
Ketika itu, tibalah
masa-masa pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) yang berlangsung selama seminggu.
Jadi, dalam rentang seminggu itu, saya harus mengisi KRS secara online
terlebih dahulu, kemudian mengisi KRS offline. Untuk KRS online,
saya cukup memilih mata kuliah di website kampus, lalu akan disetujui
oleh dosen wali. Sementara itu, untuk KRS offline, saya harus ke kampus,
mengisi blangko, lalu meminta tanda tangan dosen wali.
Saya pun mengisi KRS online
dengan tepat waktu. Seharusnya, saya mengisi KRS offline pada minggu itu
juga. Namun, saya menggampangkan keadaan. Menurut saya, tidak apa-apalah saya mengisi
KRS offline-nya minggu depan. Toh, yang penting, KRS online-nya
sudah disetujui dosen wali.
Dan, pada minggu
berikutnya, saya baru menghadap dosen wali untuk meminta tanda tangan KRS offline.
Dan, bagaimana tanggapan dosen wali saya?
Beliau tidak marah.
Tapi, beliau berkata, “Saya
orangnya gampang, tapi tolong kamu jangan menggampangkan. KRS kan sudah
ada jadwalnya. Jadi, tolong, lain kali patuhi jadwalnya. KRS online dan offline
sama-sama penting. Malah, seharusnya, kamu menemui saya dulu, baru KRS online-mu
saya ACC. Tapi, kan, walaupun minggu kemarin kamu tidak menemui, saya
langsung ACC. Kalau saya tega, bisa lho, waktu KRS online kemarin,
saya tidak meng-ACC mata kuliah yang kamu pilih. Akibatnya, kamu tidak bisa
kuliah di semester ini. Tapi, saya tidak lakukan itu. Karena saya kasihan kalau
kamu harus cuti.”
Mendengar penjelasan
dosen tersebut, saya merasa bersalah sekali. Keadaan yang sudah gampang, tapi
masih juga saya gampangkan. Mulai saat itu, saya berjanji untuk selalu KRS-an
tepat waktu.
Kemudahan, jika tidak disadari keberadaannya, dan malah diumbar, akan mengakibatkan keteledoran. Kemudahan, jika digali terus-menerus, akan menghadirkan keserakahan. Dan, saya, sudah berkali-kali hampir celaka gara-gara kebablasan memanfaatkan kemudahan.
Hi mbak Sekar, salam kenal :)
BalasHapusKonten cerita mbak, relatable banget sama aku haha..
aku dari dulu juga pengen jadi ciciler tapi tetep aja ngga bisa jadi semasa 4 tahun saya kuliah dulu, saya selalu deadliner hohoho.. deadliner akud!
aku dulu pernahnya sewaktu mengerjakan final essay untuk tugas akhir semester. Ngerjainnya ngebut semalaman, baru selesai jam 5 pagi.. trus tidur soalnya ngumpulin tugas hardcopy jam 8 pagi di kampus. Eh, ternyata kebablasan tidurnya sampai jam 10. Kalang kabut ke kampus untuk mengumpulkan tugas.. untungnya bapaknya penjaga test baik :') kalau ngga kerja sia-siaku selama satu semester diakhiri dengan nilai 0 hahaha
Halo mbak aqmarina... Wah untunglah perjuangannya tidak sia2.. Iya, kalau jadi deadliner itu lebih menantang ya.. Tapi ya gitu, kadang2 bahaya..
Hapus