Ilusi VS Kenyataan
Apa yang terlintas di benak kita saat sedang membuka YouTube, tiba-tiba muncul di beranda, “Cara Mudah Membuat Blablabla” ditambah gambar thumbnail yang menarik, judul yang waw, serta jumlah viewer yang banyak? Hampir dipastikan, kita akan meng-klik video tersebut.
Kita memang menyukai
kemudahan. Kalau bisa, usaha minimal mendatangkan hasil maksimal. Termasuk
video bombastis itu. Melihatnya lewat sekelebatan, kita jadi berfantasi bahwa
melakukan apa yang ada di dalam video itu benar-benar mudah dan hasilnya
langsung bagus.
Namun, benarkah
semudah itu?
Kenyataannya, tidak.
***
Saya pernah beberapa
kali mengalaminya.
Beberapa bulan lalu,
video “Tutorial Mudah Membuat Pie Susu” nongol di beranda YouTube
saya. Tanpa pikir panjang, saya langsung menontonnya. Alatnya cuma teflon,
garpu, sendok, gelas, dan tutup panci, yang semuanya sudah ada di rumah. Bahannya,
cukup pakai tepung terigu, tepung maizena, susu kental manis, air, dan kuning
telur, yang semuanya bisa saya beli di minimarket terdekat. Jadi, tanpa mikir
dua kali, saya bergegas praktik membuat.
Pada percobaan
pertama, saya gagal. Teflon yang saya gunakan masih bau sabun. Dan, saya lupa
memeriksanya. Jadilah pie susu yang saya buat juga bau sabun. Pie-nya
terlalu tipis. Topping atau bagian atasnya kurang manis.
Pie susu hasil buatan saya tentu sangat kontras
dengan pie susu di video YouTube. Pie susu di video YouTube
terlihat bagus dan enak, sementara punya saya gak keruan.
Ternyata, resep dan
tips yang ada di video YouTube tidak semuanya bisa saya copy paste. Dalam
video Youtube tersebut, resep tepung terigunya adalah 10 sendok. Setelah saya
praktekkan, pie-nya jadi terlalu tipis. Saya pun mengevaluasinya. Mungkin,
ukuran diameter teflon saya berbeda dengan teflon di video Youtube itu. Jadi,
tepung terigu 10 sendok pas diterapkan di pembuat video Youtube itu, tapi tidak
pas di saya. Untuk mendapatkan ketebalan pie yang tepat di teflon saya, barangkali
idealnya 15 sendok tepung terigu.
Pun dengan bau sabun. Walau
terkesan sepele, tapi ini tidak main-main. Seenak apa pun masakannya, tapi
kalau bau sabun, ya, tidak akan nikmat dimakan. Jadi, sebelum memasak, saya
harus mencium teflon dulu, memastikan tidak bau sabun. Kalau masih bau sabun,
saya harus mencucinya lagi. Dan, hal ini, tidak diajarkan di mana pun.
Bahkan, cara mengaduk
saja mempengaruhi hasil masakan. Pertama kali membuat pie, saya membuat topping-nya
dengan urutan: menuang susu kental manis ke gelas, memasukkan tepung maizena, menuang
air, baru semuanya saya aduk. Ternyata, hasil akhirnya tidak merata. Tepung
maizenanya tidak larut sempurna. Masih berbentuk butiran-butiran seperti
kerikil.
Baru setelah satu kali
percobaan itu, saya mencoba cara lain. Kali kedua ini, saya coba mengubah
urutannya: memasukkan tepung maizena dalam gelas dulu, menuang air, mengaduknya
hingga rata, baru terakhir, menuang susu kental manis. Hasil akhirnya cukup
memuaskan. Tepung maizena bisa larut dan merata, tidak ada lagi gumpalan-gumpalan
seperti kerikil yang mengganggu penglihatan.
Hal-hal sepele tersebut
tidak ada dalam video YouTube. Tapi, walau sepele dan remeh, nyatanya
berpengaruh penting.
Di sinilah saya
menyadari bahwa tidak ada yang mudah dalam melakukan segala sesuatu.
Membayangkan itu lebih
mudah dari mengeksekusi.
Termasuk membuat pie
susu menggunakan teflon. Tetap tidak segampang itu.
Kita lebih mudah
membayangkan dari mengeksekusi. Kenapa? Karena, saat membayangkan, yang ada di
benak kita adalah skenario terbaik. Sementara itu, saat mengeksekusi, kita
berhadapan dengan realita yang bisa jadi adalah skenario terburuk.
Ketika membayangkan,
kita hanya memikirkan manis-manisnya. Nah, pada waktu mengeksekusi, kita
melongo. Ternyata, ada faktor X, pengganggu, penghambat, yang tidak kita
perkirakan sebelumnya, tapi terjadi.
***
Di era modern ini,
kita selalu disuguhi tayangan-tayangan menarik. Apalagi sejak pandemi, berbagai
tutorial, tips and trick, modul, kursus, pelatihan, dan webinar ada di
mana-mana. Semuanya itu menawarkan kepraktisan dan kemudahan.
Karena ingin bisa,
ingin menambah keterampilan, dan ingin lebih meningkatkan kemampuan, kita
mengikuti banyak webinar atau pelatihan itu. Kita ingin belajar.
Namun, yang perlu kita
renungi, kita jatuh cinta dengan objek yang dibahas, atau, kita jatuh cinta
dengan ilusi kemudahan yang kita ciptakan sendiri?
Ibaratnya, kita merasa
jatuh cinta dengan lawan jenis yang kita kenal lewat media sosial. Namun, hei, coba
dipikir matang-matang dulu. Kita sungguh jatuh cinta dengan dia, atau jatuh
cinta dengan ilusi kita sendiri? Jangan-jangan, kita membayangkan, dia adalah
orang yang baik, good looking, begini, begitu. Tapi, itu semua hanya
ilusi. Kenyataannya, kita belum tahu dia sebenarnya seperti apa. Jangan-jangan,
nanti, setelah ketemu, ternyata dia tidak sesuai ekspektasi kita, kita lantas
kecewa. Lalu, kita menyalahkan dia. Padahal, dia tidak salah. Yang salah adalah
ekspektasi kita yang terlalu tinggi.
Paham maksudnya?
Jadi, kita termasuk
yang mana?
Misal, kita ikut
kursus bahasa Inggris. Nah, coba perhatikan. Kenapa kita memutuskan ikut?
Kita ini termasuk
golongan pertama, yaitu orang yang memang benar-benar suka dengan bahasa
Inggris, jatuh cinta dengan bahasa Inggris, dan bertekad ingin tahu bahasa Inggris
lebih jauh. Atau termasuk golongan kedua, yaitu kita jatuh cinta dengan
ekspektasi kita sendiri (bahwa belajar bahasa Inggris itu mudah)?
Kalau kita termasuk golongan
pertama, kita akan lebih kokoh. Ketika iklan kursus bahasa Inggrisnya
menyatakan bahwa belajar bahasa inggris itu mudah, tapi setelah kita coba
ternyata sulit, kita cenderung tidak kecewa. Sebab, keinginan kita untuk kursus
itu real, bukan ilusi.
Nah, sebaliknya. Kalau
kita termasuk golongan kedua, ya, kita akan lebih mudah menyerah di tengah
jalan. Tanpa kita sadari, bahwa kita hanya jatuh cinta dengan iklannya, dengan
marketingnya, dan dengan ilusinya. Ketika kita praktik belajar bahasa Inggris
sungguhan, kok, ternyata tidak semudah itu, kita akan kecewa. Persis
seperti orang yang merasa jatuh cinta dengan lawan jenis, padahal sebenarnya kita
jatuh cinta dengan ekspektasi sendiri.
Eh, tapi, ada juga
golongan ketiga. Yaitu, orang yang membeli atau mengikuti sesuatu hanya untuk
merasa aman.
Seperti dalam kasus
kursus bahasa Inggris itu. Mengikutinya demi mendapatkan rasa aman. Setelah mendaftar,
membayar, lalu mendapatkan modul, ada sensasi aman di benak kita. Kita merasa
sudah punya “senjata”.
Padahal, modul bahasa Inggris
itu tidak akan bekerja sendiri. Modul akan bekerja dan bermanfaat jika kita
membukanya. Tanpa pernah dibuka, modul hanya akan menjadi setumpuk file PDF yang
memenuhi memori penyimpanan kita.
Membuka modul saja
tidak cukup. Kita harus membacanya. Jika membaca satu kali masih belum paham,
kita perlu baca tiga kali, lima kali, kalau perlu sepuluh kali. Masih belum paham?
Maka, kita perlu menulisnya, lagi, lagi, dan lagi.
Jadi, memasukkan
informasi ke otak tidak pernah gampang.
Nonton video tutorial, atau membaca modul, memang gampang. Tapi, memastikan bahwa apa yang kita tonton dan kita baca benar-benar masuk ke otak, itu yang tidak mudah. Dan, itulah tugas utama kita dalam belajar. Yakni, memastikan semua informasi masuk ke otak.
Komentar
Posting Komentar