Postingan

Hari Gini Masih Nulis di Blog?

Aku membuat blog ini tahun 2015, saat kelas 2 SMA. Waktu itu, ada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Salah satu materi pembelajarannya adalah membuat blog . Jadilah aku mulai membuatnya. Tapi, isinya masih asal-asalan copy paste dari Wikipedia. Ya, aku hanya menggugurkan kewajiban agar dapat nilai saja, sih . Kemudian, tahun 2016, aku kembali menulis di blog. Ketika itu, aku sedang ospek, dan kampus mewajibkanku menulis pengalaman menjadi mahasiswa baru di blog . Aku pun kembali asal-asalan mengisi blog. Setidaknya, aku bisa lulus ospek dan dapat sertifikat. Begitu pikirku. Bertahun-tahun kemudian, blog ini terbengkalai. Tulisan-tulisan tahun 2015 hingga 2016 kuhapus semua. Dan, pada bulan Oktober tahun 2020, aku mengurusnya lagi. Pertanyaannya, apakah nge- blog di tahun 2020 masih worth it ? Atau, sudah ketinggalan zaman?     Aku akan menjabarkan alasanku masih nge- blog di tahun 2020: Semua Bermula dari Pencarian Hobi Dulu, aku adalah manusia yang

Ilmu

Apakah ilmu atau keterampilan yang kita pelajari di masa kecil itu tidak akan berguna saat kita dewasa? Memang, kita sering menjumpai, bahwa, sesuatu yang kita pelajari di masa lalu tidak ada hubungannya dengan bidang yang kita jalani sekarang. Namun, apakah berarti, ilmu yang telah kita pelajari itu sia-sia? Menurut saya, tidak. Walau tidak berhubungan langsung, tapi pasti ada sedikit keterkaitan. Waktu kelas 4 SD, saya pernah menjuarai lomba menggambar. Karena itulah, ibu memasukkan saya ke sebuah sanggar menggambar. Ibu merasa, saya punya sedikit talenta di bidang ini. Jadi, harapannya, kemampuan menggambar saya bisa meningkat. Memang benar, setelah ikut les di situ rutin setiap 2 kali seminggu, skill menggambar saya sedikit mengalami kemajuan. Gambar saya membaik. Setidaknya, saya tahu ada istilah perspektif, garis kontur, garis cakrawala, background , dan gradasi warna. Lomba menggambar dan mewarnai pun semakin intens saya ikuti. Beberapa kali juara. Sisanya tidak. Ketika

Pintar Olahraga adalah Privilege

Sebagian besar murid, mungkin, tidak menyukai mata pelajaran matematika. Tidak dengan saya. Sepanjang sekolah, dari SD hingga SMA, pelajaran yang saya benci adalah olahraga. Mungkin hal ini terkesan aneh. Pasalnya, olahraga identik dengan pelajaran santai dan main-main, yang semua orang sepertinya bisa mengikuti. Tapi, tunggu dulu, benarkah demikian? Kenyataannya, tidak. Pelajaran olahraga tidak semudah itu. Saya sangat kesulitan mengikuti pelajaran olahraga. Khususnya, olahraga yang berhubungan dengan bola, baik itu sepak bola, futsal, voli, basket, bahkan kasti. Entah kenapa, saya tidak punya ketertarikan dengan bola. Apa saja peraturannya, istilah yang digunakan, hingga nama-nama klubnya, tidak saya ketahui sedikit pun. Kalau orang lain, ketika main bola, berusaha mengejar bola itu, saya malah sebaliknya, ketika ada bola mendekat, justru saya menghindar. Jadi, saya cukup pusing ketika pelajaran olahraga di SMA mensyaratkan jumlah minimal dribel, servis, dan lain-lain, dalam satu

Susah Move On

Menurut saya, kelahiran 1990-an adalah Generasi Susah Move On . Mungkin, tidak semua. Tapi, mayoritas begitu. Dan saya, termasuk salah satu di antaranya. Iya, saya, susah move on. Susah move on yang saya maksud di sini bukan perihal melupakan cinta di masa lalu, seperti: mantan gebetan , cinta pertama, cinta dalam diam, cinta tak terbalas, atau pun sudah putus tapi masih berharap. Bukan itu. Move on yang saya maksud adalah move on dalam hal masa kanak-kanak dan masa remaja. Generasi 1990-an, masih suka terngiang-ngiang masa kecilnya. Sampai sekarang. Dari mana saya tahu? Dari isi komentar YouTube. Saya seringkali dengan sengaja mencari video clip lagu-lagu pop grup band Indonesia zaman dulu. Peterpan, Kangen Band, ST 12, Vierra, Geisha, dan kawan-kawannya. Kalau tidak salah, grup band -grup band tersebut berjaya sekitar tahun 2004-2013 di Indonesia. Entah kenapa, ketika sedang rebahan, tangan saya refleks mencarinya. Dan, dengan segera, saya pasang headset di telinga. Lalu

Motivasi

Kita sering mendengar pernyataan, “Milikilah motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan.” Motivasi merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu. Dengan memiliki motivasi, konon katanya, kita akan lebih fokus dalam mencapai keinginan. Sementara itu, ketiadaan motivasi, akan membuat kita sulit mencapai tujuan. Namun yang jadi pertanyaan, apakah motivasi selalu berdampak positif? Menurut saya, tidak selalu. Ada kalanya, dengan memiliki motivasi, kita bekerja lebih giat sehingga bisa cepat mendapatkan pencapaian. Tapi, tak jarang, motivasi justru membuat kita hanya fokus mencapai tujuan. Kita hanya sibuk memvisualisasikan dan membayangkan hasil yang kita inginkan. Kita malah tidak menikmati proses. Bahasa kasarnya, kita jadi terlalu perhitungan. Kita jadi sibuk menimbang untung-rugi, modal-hasil, dan sejenisnya. Jadi, apakah salah kalau kita punya motivasi? Menurut saya, tidak ada salahnya kita punya motivasi. Tetapi, kita perlu meluruskan motivasi. Kita perlu menetapkan motivasi yang

Ilusi VS Kenyataan

Apa yang terlintas di benak kita saat sedang membuka YouTube, tiba-tiba muncul di beranda, “Cara Mudah Membuat Blablabla” ditambah gambar thumbnail yang menarik, judul yang waw , serta jumlah viewer yang banyak? Hampir dipastikan, kita akan meng-klik video tersebut. Walau pada awalnya kita tidak berminat dengan objek bahasannya, tapi karena ada kata “mudah”, “gampang”, “cepat”, “praktis”, dan “dijamin langsung bisa”, pertahanan kita goyah juga. Kita jadi tertarik nonton. Kita memang menyukai kemudahan. Kalau bisa, usaha minimal mendatangkan hasil maksimal. Termasuk video bombastis itu. Melihatnya lewat sekelebatan, kita jadi berfantasi bahwa melakukan apa yang ada di dalam video itu benar-benar mudah dan hasilnya langsung bagus. Namun, benarkah semudah itu? Kenyataannya, tidak. *** Saya pernah beberapa kali mengalaminya. Beberapa bulan lalu, video “Tutorial Mudah Membuat Pie Susu” nongol di beranda YouTube saya. Tanpa pikir panjang, saya langsung menontonnya. Alatnya cuma

Sibuk Latah

Setiap waktu, trend bergulir. Bergulirnya trend itu layaknya pergerakan roda, yakni terus memutar. Sesuatu yang dulu menjadi trend , beberapa waktu kemudian akan tenggelam, lalu sekarang kembali naik daun. Dan manusia, pada dasarnya sibuk latah terhadap trend atau sesuatu yang viral. Ya, kita sangat menginginkan apa yang sedang kita tonton. Kita akan penasaran, membicarakannya siang malam, hingga lama-kelamaan ikut membeli atau melakukan trend . Mulai dari trend Gelombang Cinta, batu akik, hingga berkebun yang booming akhir-akhir ini, selalu menggelitik perhatian kita. Kalau dilihat, fenomena trend polanya sama. Dimulai dengan media yang sibuk. Entah bagaimana caranya, benda atau kegiatan yang sedang diberitakan itu tampak menarik. Lalu, semua orang ingin memiliki. Dan akhirnya, barang tersebut dijual dengan harga melambung. Sejak itulah, ternobatkan sebagai barang yang lagi nge- trend . Menurut saya, keinginan tiba-tiba meningkat karena kita terus-menerus terpapar informas