Motivasi
Kita sering mendengar pernyataan, “Milikilah motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan.” Motivasi merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu. Dengan memiliki motivasi, konon katanya, kita akan lebih fokus dalam mencapai keinginan. Sementara itu, ketiadaan motivasi, akan membuat kita sulit mencapai tujuan.
Menurut saya, tidak
selalu.
Ada kalanya, dengan memiliki motivasi, kita bekerja lebih giat sehingga bisa cepat mendapatkan pencapaian. Tapi, tak jarang, motivasi justru membuat kita hanya fokus mencapai tujuan. Kita hanya sibuk memvisualisasikan dan membayangkan hasil yang kita inginkan. Kita malah tidak menikmati proses. Bahasa kasarnya, kita jadi terlalu perhitungan. Kita jadi sibuk menimbang untung-rugi, modal-hasil, dan sejenisnya.
Jadi, apakah salah
kalau kita punya motivasi?
Menurut saya, tidak
ada salahnya kita punya motivasi. Tetapi, kita perlu meluruskan motivasi. Kita
perlu menetapkan motivasi yang bersih, polos, dan lugu.
***
Tahun ini, saya suka
menonton video stand up komedi. Saya tidak hanya suka mendengarkan
lelucon mereka, tetapi juga opini dan cerita keseharian mereka.
Sampai suatu ketika,
saya menonton sebuah video milik Pandji Pragiwaksono di channel YouTube-nya.
Pandji ini suka
berkunjung ke berbagai komunitas stand up komedi di berbagai kota. Dia
senang bercakap-cakap bersama anggota komunitas, termasuk mendengar keluh kesah
mereka. Pandji juga memberikan sesi tanya jawab. Jadi, anggota komunitas
mengajukan pertanyaan terkait dunia per-stand up komedi-an, lalu dia
akan menjawabnya.
Dan, ada seorang
anggota komunitas yang bertanya, “Bang, sekarang ini, tidak ada kompetisi stand
up komedi di TV. Nah, menurut Bang Pandji bagaimana? Sebagai anggota
komunitas yang lokasinya di daerah (luar Jakarta), jujur saja, kami jadi
merasa lebih sulit dikenal orang.”
Pandji menganggukkan
kepala, lalu menjawab, “Tempatnya stand up comedian itu di panggung, bukan
di kompetisi. Ada tidaknya kompetisi, seharusnya tidak jadi masalah. Kalau
kalian memang sudah bisa stand up dengan bagus, walaupun kalian orang
daerah (bukan orang Jakarta), pasti kalian sekarang sudah dikenal orang. Terus
menurut gue, seorang stand up comedian itu harus lebih suka stand
up dibandingkan hal-hal baik yang timbul darinya. Seorang stand up
comedian harus lebih suka stand up, dibandingkan popularitas, uang,
dan keuntungan lain yang timbul dari stand up.”
Mendengar perkataan
Pandji, terus terang, saya seperti dapat pencerahan.
Eh, tapi, masih ada
lanjutannya, “Kalau pun tahun ini ada kompetisi stand up komedi di TV,
memangnya yakin, kalian bakal lolos?”
Mendengar kalimat terakhir
Pandji, saya seperti tertampar. Sekilas, perkataan Pandji itu terdengar kejam
dan sadis. Tapi, saya pikir, ada benarnya juga.
Kita, sebagai manusia,
seringkali haus akan sorotan dan penghargaan dari luar. Padahal,
sebagai pemula apalagi, kenapa kita tidak fokus mengembangkan kemampuan dulu? Dalam
hal stand up misalnya, kenapa tidak fokus pada bagaimana melakukan stand up
yang bagus dulu? Kenapa, belum apa-apa, sudah “berharap”?
Bahkan, menurut saya,
perkataan Pandji itu tidak hanya cocok diterapkan dalam dunia stand up,
tapi juga di bidang lain. Bidang apa pun yang ingin kita geluti.
***
Waktu masih kecil,
kita adalah manusia yang bersih, polos, dan lugu. Kita berlatih melakukan
sesuatu karena ingin bisa melakukannya.
Misal, kita latihan berjalan.
Kita melakukan itu semata-mata karena ingin bisa. Tak peduli sudah berapa kali
jatuh, kita akan bangkit lagi. Berlatih lagi, jatuh lagi, bangkit lagi. Begitu seterusnya,
sampai bisa. Tak peduli ada yang memuji atau tidak, kita tetap berlatih. Dan, walau
sudah berkali-kali jatuh, hingga dengkul berdarah, kita tidak kapok. Kita
tidak mengharapkan keuntungan apa pun.
Tapi, setelah beranjak
dewasa, kenapa sih, kita tidak lagi menjadi manusia yang bersih, polos,
dan lugu?
Kita cenderung memperhitungkan
segala sesuatu.
Misal, kita ingin bisa
menulis di blog. Di awal pembuatan blog, semangat menggebu-gebu. Namun, seiring berjalannya waktu, semangat kita menurun. Ketika mendapati
kenyataan bahwa blog kita tidak ada yang baca dan komentar, kita patah
semangat. Merasa menulis di blog tidak ada gunanya, hanya buang-buang waktu, dan tidak mendapatkan
keuntungan apa pun dari nge-blog.
Ya, tapi itu semua
balik lagi ke niat awal, sih. Iya, memang ada, yang dari awal melakukan
sesuatu (bukan hanya nge-blog) tujuannya sudah komersil. Tapi, kalau
kita memang masih pemula, bukankah sebaiknya kita fokus meningkatkan skill
dulu?
Jadi, di tahap awal, anggap
saja blog hanyalah wadah untuk mendokumentasikan tulisan. YouTube
hanyalah platform untuk menyimpan video, dan sebagainya. Anggap saja,
kita masih latihan. Sebagai pemula, yang kita kejar adalah jam terbang yang
tinggi. Bukan keuntungan.
Segala sesuatu itu
sudah proporsional, kok. Kita akan dikenal atau dihargai, kalau sudah
punya value berupa kompetensi. Lha, kalau kompetensi kita masih
rendah, lalu mengharapkan keuntungan saat itu juga, bukankah tidak masuk akal?
Ketika kita memiliki
motivasi yang tidak bersih, tidak lugu, dan tidak polos, energi kita akan cepat
habis.
Misalnya, kita ingin
jadi YouTuber. Dari awal, fokus kita adalah ingin mendapatkan banyak penonton. Nah,
kalau video kita tidak ada yang nonton, terus bagaimana? Kita akan putus asa. Paling-paling,
hanya membuat 3 video, setelah itu capek, males, bahkan trauma. Tidak mau buat
video lagi.
Hal yang sama juga
berlaku di bidang lain.
***
Ketika hanya berfokus
pada tujuan, kita juga cenderung terburu-buru menjalani proses.
Saya pernah melakukannya.
Saat kuliah, saya
hanya memikirkan bagaimana caranya bisa lulus tepat waktu. Akhirnya, saya
memikirkan berbagai strategi. Mulai dari memilih mata kuliah, lokasi KKN,
hingga tema skripsi. Semua keputusan saya pilih sedemikian rupa yang sekiranya
akan memudahkan lulus tepat waktu.
Selama kuliah, jujur,
saya kurang meresapi prosesnya.
Akhirnya, saya lulus
juga. Tentu, saya senang sebab target lulus tepat waktu bisa terwujud. Tapi,
beberapa waktu setelah lulus, setelah ijazah ada di genggaman, saya merasa ada
yang kurang. Ada sedikit perasaan menyesal. Mengapa dulu maunya cepat-cepat
lulus? Mengapa tidak sedikit saja berusaha menikmati proses?
Saya membayangkan
berbagai kemungkinan.
Kalau saja saat kuliah
dulu, saya bisa lebih jauh mengeksplorasi potensi diri.
Kalau saja dulu saya
tidak mengkambinghitamkan kesibukan kuliah, praktikum, dan segala tetek
bengeknya.
Kalau saja dulu saya tidak
hanya fokus kuliah, tapi juga mencari jati diri.
Dan berbagai kalau saja-kalau
saja lainnya, yang tidak habis-habis jika saya tulis semua di sini.
Saya tidak menyesal lulus
tepat waktu. Toh, bagaimana pun juga, hal ini sudah saya idam-idamkan sejak
jadi mahasiswa baru.
Setidaknya sekarang saya
tahu, bahwa setelah tujuan tercapai, itu tidak ada rasanya. Memang, ada rasa
senang dan puas. Tapi, itu hanya berlangsung selama sehari, di hari kelulusan. Setelah
itu, jujur saja, tidak ada rasanya.
Mungkin, ini gara-gara
dulu, saya menggantungkan kebahagiaan pada kelulusan. Saya pikir, kalau sudah
sarjana, saya akan bahagia.
Saya terlalu menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal di luar diri saya. Padahal, kalau ingin bahagia, ya, bahagia saja. Tidak usah mengunggu.
Saya setuju sebagai blogger pemula harus lebih banyak belajar, menikmati proses, menjaga konsistensi dan kalau udah mikirin monetasi dari awal, dan gak kesampaian bisa stres sih.
BalasHapusSalam kenal yah mbak Sekar 😁
Salam kenal mbak Yani :)
HapusHalo mbak Sekar, salam kenal! :)
BalasHapusSeneng banget baca artikel ini karena aku ini relatable banget sama aku. Penting banget untuk kita untuk menikmati proses dari pada tujuan akhir. Dalam hal blogging, aku dulu juga sempat lupa tentang kegemaranku menulis blog, seperti yang mbak tuliskan disini. Trus akhirnya jadi bingung sendiri, kok aku ngga bisa menikmati menulis blogging lagi.. eh akhirnya setelah intropeksi ke dalam, aku bisa menemukan rasa senangku kembali untuk blogging <3
Terima kasih mbak Sekar sudah berbagi ceritanya!