Pintar Olahraga adalah Privilege

Sebagian besar murid, mungkin, tidak menyukai mata pelajaran matematika. Tidak dengan saya. Sepanjang sekolah, dari SD hingga SMA, pelajaran yang saya benci adalah olahraga. Mungkin hal ini terkesan aneh. Pasalnya, olahraga identik dengan pelajaran santai dan main-main, yang semua orang sepertinya bisa mengikuti. Tapi, tunggu dulu, benarkah demikian?

Kenyataannya, tidak.

Pelajaran olahraga tidak semudah itu. Saya sangat kesulitan mengikuti pelajaran olahraga. Khususnya, olahraga yang berhubungan dengan bola, baik itu sepak bola, futsal, voli, basket, bahkan kasti. Entah kenapa, saya tidak punya ketertarikan dengan bola. Apa saja peraturannya, istilah yang digunakan, hingga nama-nama klubnya, tidak saya ketahui sedikit pun. Kalau orang lain, ketika main bola, berusaha mengejar bola itu, saya malah sebaliknya, ketika ada bola mendekat, justru saya menghindar.

Jadi, saya cukup pusing ketika pelajaran olahraga di SMA mensyaratkan jumlah minimal dribel, servis, dan lain-lain, dalam satu menit. Tentu saja, saya hampir selalu gagal mencapai jumlah minimal yang ditetapkan oleh guru olahraga. Sehingga, mau tak mau, saya ikut remidi. Bayangkan! Remidi pelajaran olahraga! Betapa memalukan!

Tidak hanya urusan bola yang mengusik pikiran saya. Pelajaran olahraga jenis lain, seperti misalnya lari sprint, lari maraton, lompat jauh, lompat tinggi, hingga lempar lembing pun saya tak pecus. Saya selalu kalah dalam balapan lari. Saya selalu meraih jarak tersingkat dalam lompat jauh dan lompat tinggi. Saya sering meraih jarak terpendek dalam lempar lembing. Saya, laksana pelanggan kegagalan setiap pelajaran olahraga berlangsung. Dan, sepertinya, teman sekelas saya sampai hafal.

Ketika masih sekolah dulu, bagi saya, ikut pelajaran olahraga hanyalah formalitas belaka. Kalau boleh milih, mending saya gak usah ikutan. Sebab, ada atau tidaknya saya, tidak ada bedanya. Sama saja.

Dalam permainan olahraga apa pun, saya adalah orang yang dihindari oleh teman-teman sekelas. Kalau mereka bisa memilih, mereka tidak akan memilih saya menjadi anggota timnya. Jadi, sebuah tim permainan olahraga yang “mendapatkan” saya pasti karena keterpaksaan, atau karena tinggal saya orang yang tersisa, yang belum dapat kelompok, sehingga mereka mau tidak mau harus menampung saya.

Kebodohan saya dalam bidang olahraga ini, sekali lagi, cukup meresahkan. Karena kemampuan olahraga pas-pasan, saya seringkali bingung. Ketika akan Ujian Akhir Semester mata pelajaran olahraga, saya harus belajar dari mana? Iya sih, ujiannya tertulis, tapi, sama saja, saya tetap tidak paham ketika membaca LKS atau buku paket. Tidak ada materi yang masuk ke otak. Akibatnya, nilai mata pelajaran olahraga saya di rapor sangat rendah dibandingkan nilai saya pada mata pelajaran lain. Sehingga, rangking saya jadi jeblok.

Tidak seperti mata pelajaran lain, matematika misalnya, yang kalau kita tidak bisa, ya sudah, ketika ulangan, nilainya jelek. Nilai jelek itu hanya kita, guru, Tuhan, dan malaikat yang tahu. Teman-teman sekelas tak akan mengetahuinya (kecuali kalau ngintip). Sebab, matematika hanya pelajaran tertulis, hanya ditulis di kertas, tidak akan disaksikan di depan umum.

Sementara itu, olahraga, adalah pelajaran yang “terlihat”. Pelajaran olahraga dipraktekkan di lapangan. Ketika kita sedang menderibel bola misalnya, semua orang di lapangan akan menyaksikan. Sejauh mana kemampuan kita, mahir atau tidak, akan sangat kentara. Ketidaklihaian saya dalam menderibel bola, akan sangat tampak mencolok.

Kenapa saya sebegitu tolol dalam pelajaran olahraga?

Bisa jadi, karena tidak ada pembiasaan.

Keluarga saya, tidak familiar dengan olahraga. Olahraga tidak menjadi gaya hidup di lingkungan tempat tinggal saya. Akibatnya, saya seperti tidak punya alasan untuk menyukai pelajaran olahraga.

Saya juga tidak pernah berinisiatif sendiri untuk latihan olahraga di rumah. Pernah, sih. Bersepeda. Tapi, itu kan, tidak ada di pelajaran olahraga sekolah. Jadi, itu termasuk olahraga tidak, sih?

Begitulah. Jadi, saya hanya berolahraga di sekolah ketika ada mata pelajaran olahraga.

Sebenarnya ada jenis olahraga yang bisa saya lakukan, yaitu senam. Dalam olahraga senam, saya tinggal menghafalkan gerakan. Tidak perlu “memperebutkan” bola.  

***

Hal yang paling saya syukuri selepas lulus SMA adalah tidak ada lagi pelajaran olahraga.

Terus terang, hal ini sangat melegakan bagi saya. Saya hanya fokus pada mata kuliah teori dan praktikum. Tidak ada lagi perasaan malu dan minder karena selalu kalah balapan lari keliling lapangan. Saya, seperti merdeka dari beban berat.

***

Apakah ketidakmampuan saya dalam hal olahraga hanya disebabkan oleh tidak adanya pembiasaan?

Tidak juga.

Sebab, saya tahu, banyak teman saya yang tidak pernah latihan olahraga di rumah, tapi bisa-bisa saja mengikuti pelajaran olahraga dengan baik. Mereka tidak payah-payah amat ketika harus menderibel bola, walaupun itu adalah pengalaman pertama.

Jadi, ada kemungkinan, saya memang lemah di bidang olahraga. Saya memang tidak punya bakat di bidang olahraga.

Olahraga, berkaitan erat dengan kemampuan refleks gerakan tubuh. Dan saya, sepertinya memang punya refleks yang jelek.

Beberapa kali saya jatuh dari motor hanya karena jalannya tidak rata. Bagi orang yang punya refleks bagus, tentu mereka bisa menyesuaikan diri dan menjaga keseimbangan sehingga tidak jatuh. Tapi, bagi bagi saya yang punya refleks jelek ini, menaiki motor pada jalan tidak rata akan mengakibatkan kepanikan, tanpa berupaya menjaga keseimbangan, sehingga jatuh beneran, deh.

***

Bagi saya, pintar olahraga adalah privilege. Setidaknya, orang yang pintar olahraga, tidak pernah khawatir ketika ada pelajaran olahraga. Ketika disuruh mewakili kelas dalam pertandingan olahraga atau class meeting misalnya, mereka akan melenggang dengan santai.

Saya, ketika masih sekolah dulu, sering disalahpahami karena tidak pernah ikut class meeting. Padahal, saya, bukannya tidak mau. Tapi, benar-benar tidak bisa. Saya sadar diri kemampuan olahraga saya di bawah rata-rata. Sehingga, lebih baik saya tak usah ikut agar tidak malu-maluin amat. Biarlah, yang ikut class meeting itu mereka yang passionate di bidang olahraga saja. Saya ikut bantu, kok. Bantu doa lebih tepatnya.

***

Momen pelajaran olahraga di masa sekolah yang saya nikmati adalah ketika pelajaran sudah usai, dan tiba saatnya ganti baju di kamar mandi. Ketika SMP, saya selalu ganti baju bersama teman-teman. Biasanya, dalam 1 kamar mandi, ada 2 hingga 4 orang yang ganti baju bersama. Masing-masing saling memunggungi dan menghadap pojok ruang kamar mandi.

Setelah itu, saya akan membeli es di kantin sekolah. Ketika menyedot minuman menggunakan sedotan, dinginnya es terasa sejuk membasahi tenggorokan saya. Rasanya lega sekali. Setidaknya, saya masih hidup di hari itu, setelah berupaya keras menguatkan diri untuk mengikuti pelajaran olahraga selama 2 jam lamanya.

Tapi, kelegaan itu hanya sebentar. Sebab, 1 minggu lagi, saya harus kembali begelut dengan pelajaran olahraga. Hal ini terus berlangsung selama saya duduk di bangku sekolah.

Maka, ketika lulus sekolah, saya merasa telah terbebas dari kerangkeng. Akhirnya, saya tidak lagi bertemu dengan pelajaran olahraga. Selamat tinggal mata pelajaran olahraga. Saya tahu kalau kamu bermanfaat. Tapi maaf, saya belum bisa mencintaimu.

Komentar

  1. Hi mba Sekar, salam kenal 😁

    Tulisan ini saya banget, saya bisa relate soalnya saya pun sangat malas dalam urusan pelajaran olahraga, sampai rasanya ingin ijin 'halangan' terus setiap masuk jamnya hahahahahaha 😂 Though saya termasuk bisa olahraga, seperti volley atau basketball, tapi entah kenapa selalu malas melakukannya. Apa mungkin karena saya nggak merasa fun dengan pelajaran itu, ya? 🙈 Dan ini nggak terjadi hanya pada saya namun beberapa teman saya juga 🤣

    Alasan salah satu teman saya justru lebih kocak lagi, dia malas olahraga karena setelah olahraga harus ganti seragam. Nah, dia nggak nyaman keringatan tanpa mandi terus pakai seragam, rasanya lengket dia bilang 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah dikomen mbak eno..
      Ya begitulah mb, kalau gak fun jadi gak enak ngelakuinnya
      Biasanya yg lebih gak suka pelajaran olahraga itu murid cewek yaa

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya