Susah Move On

Menurut saya, kelahiran 1990-an adalah Generasi Susah Move On. Mungkin, tidak semua. Tapi, mayoritas begitu. Dan saya, termasuk salah satu di antaranya. Iya, saya, susah move on.

Susah move on yang saya maksud di sini bukan perihal melupakan cinta di masa lalu, seperti: mantan gebetan, cinta pertama, cinta dalam diam, cinta tak terbalas, atau pun sudah putus tapi masih berharap. Bukan itu. Move on yang saya maksud adalah move on dalam hal masa kanak-kanak dan masa remaja. Generasi 1990-an, masih suka terngiang-ngiang masa kecilnya. Sampai sekarang.

Dari mana saya tahu?

Dari isi komentar YouTube.

Saya seringkali dengan sengaja mencari video clip lagu-lagu pop grup band Indonesia zaman dulu. Peterpan, Kangen Band, ST 12, Vierra, Geisha, dan kawan-kawannya. Kalau tidak salah, grup band-grup band tersebut berjaya sekitar tahun 2004-2013 di Indonesia. Entah kenapa, ketika sedang rebahan, tangan saya refleks mencarinya. Dan, dengan segera, saya pasang headset di telinga. Lalu, bersamaan dengan mendengarkan lagu, saya scroll kolom komentarnya. Saya baca satu per satu.

Dan, coba tebak apa mayoritas isinya?

Berikut isi kolom komentar yang saya himpun dari berbagai sumber:

Pertama, komentar yang berisi pertanyaan mengenai siapa yang nonton sekarang

“Yang nonton video clip ini tahun 2020 mana suaranya?”

“Apa cuma gue, yang dengerin lagu ini di tahun 2020?”

Terus, ada yang balas begini:

“Dasar sales kalender. Gue gak peduli kalian nonton video clip ini tahun berapa.”

“Yang dengerin lagu ini, 10% nostalgia, 90% sales kalender.”

Kedua, komentar yang berisi membandingkan perubahan generasi

“Generasi Android dan Iphone minggir dulu. Generasi Mito, Nexian, Cross, dan Nokia, mau lewat.”

“Generasi Spotify dan Joox minggir dulu sana. Generasi Bluetooth, Stafanband dan 4Shared mau lewat.”

“Generasi tabung gas LPG 3 kg minggir dulu. Generasi minyak tanah jerigen numpang lewat.”

Ketiga, komentar meratapi kesendirian

“Kalian yang tahu lagu ini dari zaman SD, harusnya sekarang udah nikah.”

“Apa cuma gue, yang dengerin lagu ini dari zaman masih jomblo, sampai sekarang masih jomblo juga?”

Keempat, komentar berisi curhat

Inget banget, dulu gue pertama kali nembak lawan jenis pake lagu ini. Eh, tapi, malah ditolak.”

“Dulu, kalau mau ngirim SMS ke gebetan, tapi pulsanya abis, gue pinjam handphone bapak. Terus, gue ngetik begini, ‘Aku sayang kamu. Gak usah dibales. Ini pake HP bapak.’ Soalnya, bapak gue gak bisa buka SMS masuk. Jadi, aman.”

Duh, jadi kepikiran. Dulu, waktu kelas 1 SMA gue nembak seorang teman sekelas pake lagu ini. Ahamdullilah, setahun yang lalu, kami nikah. Sekarang, anak gue udah umur 3 bulan.”

Inget banget, dulu, istriku setiap hari dengerin lagu ini. Sayangnya, sekarang, dia telah tiada.”

Kelima, komentar berisi ingin balik ke zaman dulu

“Jadi pengin balik ke masa kecil. Beli kaset VCD lagu ini di pasar malem. Nyatet lirik lagunya di buku tulis. Atau, request lagu di radio. Waktu pulang sekolah, lagu ini juga sering diputar di angkot.”

“Cuma generasi 90-an yang paham nikmatnya hidup di masa lalu. Boro-boro WhatsApp. Adanya cuma SMS. Sengaja cari operator yang ngasih gratis 100 SMS hanya dengan ngirim 1 SMS.”

“Senyum-senyum sendiri kalau dengerin lagu ini. Ingat banget, dulu, zaman SMA, tahun 2010, kalau ngetik SMS pakai kombinasi huruf kecil, huruf gede, dan angka. Misalnya begini, ‘Akoe Cy4nkx Kmoe Xl4m4nya’ (maksudnya: ‘aku sayang kamu selamanya’).”

***

Terus terang, perasaan saya campur aduk membaca berbagai komentar itu. Semula ketawa-ketiwi sendiri membaca lelucon mereka. Ternyata, tidak hanya saya yang berbuat konyol di masa lalu. Hampir semua generasi 90-an pernah melakukannya. Saya jadi malu sendiri kalau mengingatnya.

Tapi, satu menit kemudian, saya sedih. Bukan sedih berduka cita, melainkan sedih terharu.

Saya hanya tidak menyangka. Saya, yang dulunya anak-anak, sekarang sudah dewasa. Rasanya, baru kemarin saya memakai seragam sekolah. Ternyata, masa itu sudah lama terlewat.

Lalu, di kolom komentar YouTube, saya juga sering melihat ada orang yang berkomentar bahwa lagu-lagu pop zaman dulu lebih bagus dari lagu pop zaman sekarang. Mereka berkata bahwa lagu zaman dulu lebih hidup, lebih iconic, lebih khas, dan lebih mengena. Sementara itu, kata mereka, lagu pop zaman sekarang bukannya tidak bagus. Lagu pop zaman sekarang itu lebih mudah booming, tapi juga mudah terlupakan.

Jadi, benarkah lagu zaman dulu lebih “enak” dibandingkan lagu zaman sekarang?

Menurut saya, ada 2 jawaban. Pertama, bisa jadi, iya. Kedua, bisa jadi, belum tentu.

Berikut pendapat saya untuk jawaban pertama:

Bisa jadi, lagu zaman dulu memang lebih bagus dari lagu zaman sekarang. Zaman dulu (2004-2013) adalah era keemasan grup band pop di Indonesia. Dan, bisa jadi, sekarang, era keemasan itu sudah lewat.

Sementara itu, pendapat saya untuk jawaban kedua:

Perihal lagu bagus atau tidak itu subjektif. Seseorang berpendapat lagu X bagus, sementara orang lain berpendapat lagu Y lebih bagus. Tidak ada parameter yang pasti. Semuanya balik ke selera masing-masing.

Untuk urusan lagu, bisa jadi, sebenarnya, lagu zaman dulu atau pun sekarang itu sama saja. Bagus atau tidaknya lagu tidak tergantung kapan diluncurkan, tapi tergantung lagu itu sendiri.

Lalu, kenapa mayoritas generasi 90-an mengatakan bahwa lagu zaman dulu lebih bagus?

Menurut saya, karena, generasi 90-an tumbuh dan berkembang dengan lagu-lagu zaman dulu. Jadi, lagu zaman dulu (keluaran 2004-2013) itu menemani masa kanak-kanak dan masa remaja generasi 90-an. Ada banyak peristiwa berkesan dan monumental yang terjadi, mulai dari urusan sekolah, persahabatan, cinta monyet, dan lain-lain, yang kebetulan bersamaan dengan munculnya lagu-lagu lawas itu.

***

Memang, segala sesuatu itu indah ketika sudah berlalu. Kejadian menyedihkan di masa lalu, bisa jadi malah terkesan lucu di masa kini. Sepahit apa pun suatu pengalaman, kita akan tersenyum mengingatnya.

Jujur, dada saya sesak ketika melihat berbagai video clip lagu pop zaman dulu beserta ribuan komentar netizen. Waktu masih kecil, saya ingin cepat dewasa. Sekarang, setelah dewasa, saya ingin kembali jadi anak-anak. Ternyata, menjadi dewasa tidak semenyenangkan bayangan saya dulu.

Saya teringat nasihat salah seorang guru BK ketika SMP, “Kalau aturan sekolah mengharuskan kalian memakai dasi, ya sudah, pakai saja. Sebab, kapan lagi? Kalau kalian sekarang tidak mau, nanti menyesal lho, ketika sudah tidak ada lagi kesempatan untuk pakai dasi.”

Dan, kini, saya mengiyakan nasihat itu. Seragam sekolah beserta dasi, topi, ikat pinggang, dan kaos kaki, adalah atribut terbaik yang pernah saya pakai. Mengingatnya saja, membuat saya kangen dengan semua itu.

Mau bagaimana lagi?

Semua orang sudah berubah. Yang dulunya anggota grup band, sekarang sudah jadi bapak-bapak. Yang dulunya artis cilik, sekarang sudah punya anak.

Kita juga demikian. Harus berubah dan pasti berubah. Bagaimana pun, kita tidak akan bisa membuat keadaan sekarang sama dengan dulu. Sebab, kita hidup di masa sekarang. Bukan di masa lalu.

Komentar

  1. Aku lahir 97 masuknya tahun 90an bukan ya wkwk, tapi aku juga sama kadang suka nostalgia liat lagu" yang aku suka dulu waktu sd di youtube dan baca komentar" tapi gak ikut komen,
    Kalo lagu si menurutku dulu ya bagus karna ada kesan tersendiri yang gak mungkin ada lagi, trus yang lagu yg sekarang juga bagus karna menggunakan kesan baru karna ngikut perkembangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masuk mas. Saya 98. Wah, suka searching lagu2 lawas juga yaa..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya