Postingan

Cinta yang Sudah Luntur

Sudah satu bulan ini saya sering blog walking . Lebih sering menjadi silent reader dibanding meninggalkan komentar. Salah satunya adalah blog Pak Anton . Tadi malam, saya menjelajahinya dari halaman depan hingga belakang. Sampailah saya pada satu judul yang menggelitik, yakni mengenai Cinta Pak Anton yang Sudah Luntur pada Buku . Membaca tulisan tersebut membuat saya terhenyak, merasa related dengan tulisan itu. Di usia 23 tahun ini, cinta saya juga sudah luntur. Bukan pada buku, sih. Tapi pada beberapa hal, yaitu: Pertama, make up . Dulu, di tahun 2016 hingga 2018, saya kecanduan video tutorial make up . Ketika itu, dalam satu hari, saya menonton 30 hingga 35 video. Saya sampai hafal nama-nama beauty vlogger . Video seperti Tutorial Make Up untuk Pemula, Tutorial Make Up Natural untuk Remaja, dan 200k Make Up Challenge sudah saya lahap semua. Saat itu, saya menjadi orang yang sangat pemikir dalam hal make up . Saya tidak bisa keluar rumah jika belum pakai bedak dan pens

Berkelana di Danau Tempe

Kemarin, saya beberes file di laptop. Ada satu file yang sukses membuat saya bernostalgia. Saya menemukan sebuah video yang diambil tatkala kuliah semester 6 dulu. Itu adalah video Danau Tempe. Danau Tempe terletak di pulau Sulawesi, tepatnya provinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi menjadi pulau ketiga yang pernah saya singgahi, setelah Jawa (tempat kelahiran hingga tinggal sekarang) dan Bali (lokasi tujuan study tour ketika SMP). Saya menyusuri Danau Tempe bersama 5 orang teman sejurusan, dalam rangka melakukan penelitian untuk Kuliah Kerja Lapangan. Ketika itu, kami menyusuri Danau Tempe menggunakan perahu. Jangan dibayangkan perahunya besar, ya. Tidak sama sekali! Perahunya kecil. Dijalankan pakai mesin, tidak didayung manual. Tapi, walau pakai mesin, jalannya pelan sekali. Selain itu, tidak ada atapnya. Jadi, kami harus berkompromi dengan cuaca di hari itu. Danau Tempe itu luas banget. Kalau tidak salah, luasnya lebih dari 350 kilometer persegi, atau hampir separuhnya luas pr

Pedagang di Pasar Tradisional: Sebuah Profesi yang Underrated

Waktu masih kecil dulu, saya memandang pasar tradisional dengan sebelah mata. Kenapa? Karena pasar tradisional identik dengan tempat kotor, becek, bau, lembab, dan berantakan. Ditambah tempat parkir yang tidak beraturan, membuat beberapa orang malas ke situ. Begitu pula dengan pedagangnya. Profesi pedagang di pasar terlihat sebagai profesi “rakyat jelata” yang tidak terlihat "wah". Sejauh pengamatan saya, tidak pernah ada anak TK atau SD yang bercita-cita ingin menjadi pedagang di pasar. Tapi, image seputar pasar dan pedagangnya di benak saya semasa kecil itu, kini sudah terpatahkan. Sebab, pasar di dekat tempat tinggal saya sekarang sudah berwujud bangunan megah 3 lantai dan bereskalator. Pokoknya, jadi mirip seperti mall. Hanya saja, setelah kita berbelanja, gak diberi nota. Lalu, bagaimana dengan pedagangnya? Well , menurut saya, pedagang di pasar adalah profesi yang underrated karena mereka punya kompetensi unggul di bidangnya, tapi belum pernah ada lembaga

Nostalgia Lukisan Zaman SD

Gambar
Tadi saya iseng buka-buka lemari di ruang tamu. Dan, surprisingly, saya menemukan lukisan-lukisan saya semasa SD. Awal mula saya menekuni melukis sebagai hobi itu bermula dari ketidaksengajaan. Begini ceritanya. Suatu hari, masjid di dekat rumah diwajibkan mengirimkan peserta lomba menyanyi, pidato, melukis, dan lain-lain. Semua lomba sudah ada pesertanya. Tapi, untuk lomba melukis, belum ada pesertanya. Singkat cerita, saya (sebagai satu-satunya anak kecil yang tersisa), ditunjuk untuk ikut lomba melukis. And then… saya dapat juara 2.

Seni Berpikir Rumit

Saya sering memperumit sesuatu yang sebenarnya sederhana. Ketika harus berhadapan dengan sesuatu yang baru, saya bisa kepikiran dari berhari-hari sebelumnya. Misalnya, saat akan bertemu orang baru, saya bingung harus ngomong apa. Saat akan menuju tempat yang belum pernah saya singgahi, rasa waswas terkait gimana kalau sampai nyasar, tidak terelakkan. Ketika bepergian ke mall, saya beberapa kali membuka tas hanya untuk memastikan bahwa dompet, handphone, kunci motor, dan karcis parkir saya gak hilang. Bahkan, ketika akan presentasi saat masih kuliah dulu, saya bingung, mata saya harus menatap ke mana dan posisi tangan saya harus bagaimana. Bayangkan! Hal-hal sepele begitu aja tidak luput dari pikiran saya. Orang lain mungkin akan heran. Kok hal-hal remeh temeh begitu aja dipertanyakan? Entahlah. Saya terlalu sibuk membayangkan skenario terburuk. Saking saya takut tertimpa hal buruk, saya akan mempersiapkan segala sesuatunya, misalnya dengan cara mencari tutorial dan

Digital Minimalism

Gambar
Satu bulan lalu, saya menghapus akun Facebook, Twitter, Line, Pinterest, Researchgate, Linkedin, Medium, dan Wattpad secara permanen. Saya juga uninstall aplikasinya di handphone . Sebenarnya, sudah sejak lama saya ingin melakukan ini. Tapi, masih maju mundur. Dan, baru satu bulan yang lalu itulah saya mantap melakukannya, tanpa keraguan dan kekhawatiran. Satu bulan lalu, saya merasa sudah tidak ada lagi hal yang mau saya lakukan di platform-platform tersebut. Saya juga merasa tidak ada lagi sesuatu yang saya dapatkan dari sana. Dengan kata lain, urusan saya dengan platform-platform tersebut sudah selesai. Dan, jadilah kini di ponsel saya hanya ada aplikasi WhatsApp dan Telegram untuk sosial medianya. Lantas, di zaman modern ini, kenapa sih, saya malah memilih sedikit "menyingkir" dari gegap gempita dunia digital? Pertama, saya melakukan ini karena terinspirasi dari seorang profesor bernama Cal Newport yang membuat campaign "Digital Minimalism".

Kecanduan Nonton YouTube

Istilah “detoks sosial media”, sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sosial media yang dimaksud adalah Facebook, Twitter, Line, dan Instagram. Banyak orang yang mengatakan, alasan mereka detoks sosial media adalah karena di sosial media, ada banyak hal toksik, banyak orang pamer, dan lain sebagainya, yang menyebabkan mereka insecure . Saya pun sependapat dengan mereka. Ya, sudah beberapa minggu belakangan, saya melakukan detoks sosial media. Masih menggunakan, tapi sangat saya kurangi durasi pemakaiannya. Tapi, bagaimana dengan istilah “detoks YouTube”? Banyak orang yang sudah menyadari dirinya kecanduan sosial media. Dan untuk itu, mereka melakukan detoks sosial media. Tapi, belum banyak orang menyadari bahwa dirinya kecanduan YouTube. Berdasarkan pengamatan saya, sebagian besar orang yang detoks sosial media itu larinya ke YouTube. Jika dulunya dalam sehari scroll Instagram 2 jam dan nonton YouTube 2 jam, sekarang, scroll Instagam cuma setengah jam sih, tapi, nonton You