Postingan

Dikucilkan

Ngomong-ngomong tentang kucil-mengucil, pasti sudah tidak asing di kehidupan kita.  Dalam suatu lingkungan, entah itu di sekolah, kuliah, bahkan tempat kerja, hampir selalu ada orang yang dikucilkan.  Lantas, mengapa seseorang bisa dikucilkan?  Menurut pengamatan saya, seseorang bisa dikucilkan karena dianggap tidak berdaya, dianggap tidak kompeten, dianggap tidak setara dengan orang lain, dianggap aneh, dianggap melakukan kesalahan, atau bahkan, tanpa sebab yang jelas.

Merindukan Kesederhanaan

Kemarin, saya mengganti template blog. Nama template blog yang sekarang saya pakai ini adalah Essential. Template ini bawaan dari Blogger.  Alasan saya memilih template bawaan Blogger adalah saya merindukan kesederhanaan. Saya rindu dengan template blog yang sederhana.  Sebenarnya, template lama saya juga sudah sederhana, kok. Tapi, masih kurang sederhana. Masih ada ornamen hiasan yang kurang perlu. Warnanya juga terlalu unyu dan girly .

Ketika Satu Per Satu Teman Mulai Menikah…

Sekarang, pukul 01.49. Beberapa jam menjelang salat Idul Fitri dilangsungkan. Saya mengetik ini di kamar yang lampunya sudah saya matikan sedari tadi. Dengan diiringi letupan bunyi mercon beserta takbir yang berkumandang bersahut-sahutan, saya menulis ini. Tadi sore, saya mendengar kabar. Lagi dan lagi, mengenai seorang teman masa kecil saya yang sebentar lagi akan menikah. Begitu mendengar kabar itu, saya menarik napas panjang. Ada perasaan saya yang entah apa. Sulit dideskripsikan lewat kata-kata. Tidak, tidak. Saya tidak merasa tertinggal atau bagaimana. Saya hanya takjub dengan cepatnya sang waktu berlalu . Saya hanya belum bisa move on dari bayangan sosok teman saya itu ketika kecil dulu. Tidak menyangka saja. Seseorang, yang dulunya masih anak-anak itu, sebentar lagi akan menikah. Rupanya begini, ya, rasanya menjadi orang dewasa, yang menyaksikan satu per satu teman masa kecil mulai menikah. Sekali lagi, pokoknya rasanya itu sulit digambarkan dengan kata-kata. Piki

Nostalgia Kegalauan Saat Mengerjakan Skripsi

Terakhir kali saya menyentuh skripsi itu lebih dari setahun lalu. Walaupun demikian, saya masih terngiang-ngiang terhadap segala drama yang menyertai selama proses pengerjaannya, antara lain berupa: 1. Bingung Mau Pilih Tema Seperti Apa. Untuk memilih tema skripsi, dulu saya sampai harus "bersemedi". Awalnya, saya bingung, apakah saya harus pilih tema skripsi yang spektakuler, atau yang peminatnya banyak, atau yang mudah? Akhirnya, saya pilih yang mudah saja. Kenapa? Karena, pada akhirnya, yang akan bergumul dengan skripsi tersebut kan, saya sendiri. Bukan orang lain. Jadi, ngapain lah mempersulit diri sendiri? Lagi pula, kalau mau pilih tema skripsi yang spektakuler misalnya. Tujuannya apa? Supaya terlihat "wow" gitu? Heleh, "wow" menurut mahasiswa, belum tentu "wow" menurut dosen. Mau pilih tema skripsi yang peminatnya banyak? Biar apa? Biar banyak temannya? Biar bisa kerja sama? Hilih, kenyataannya tidak semudah itu. 2. Dag-dig-dug M

Cinta yang Sudah Luntur

Sudah satu bulan ini saya sering blog walking . Lebih sering menjadi silent reader dibanding meninggalkan komentar. Salah satunya adalah blog Pak Anton . Tadi malam, saya menjelajahinya dari halaman depan hingga belakang. Sampailah saya pada satu judul yang menggelitik, yakni mengenai Cinta Pak Anton yang Sudah Luntur pada Buku . Membaca tulisan tersebut membuat saya terhenyak, merasa related dengan tulisan itu. Di usia 23 tahun ini, cinta saya juga sudah luntur. Bukan pada buku, sih. Tapi pada beberapa hal, yaitu: Pertama, make up . Dulu, di tahun 2016 hingga 2018, saya kecanduan video tutorial make up . Ketika itu, dalam satu hari, saya menonton 30 hingga 35 video. Saya sampai hafal nama-nama beauty vlogger . Video seperti Tutorial Make Up untuk Pemula, Tutorial Make Up Natural untuk Remaja, dan 200k Make Up Challenge sudah saya lahap semua. Saat itu, saya menjadi orang yang sangat pemikir dalam hal make up . Saya tidak bisa keluar rumah jika belum pakai bedak dan pens

Berkelana di Danau Tempe

Kemarin, saya beberes file di laptop. Ada satu file yang sukses membuat saya bernostalgia. Saya menemukan sebuah video yang diambil tatkala kuliah semester 6 dulu. Itu adalah video Danau Tempe. Danau Tempe terletak di pulau Sulawesi, tepatnya provinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi menjadi pulau ketiga yang pernah saya singgahi, setelah Jawa (tempat kelahiran hingga tinggal sekarang) dan Bali (lokasi tujuan study tour ketika SMP). Saya menyusuri Danau Tempe bersama 5 orang teman sejurusan, dalam rangka melakukan penelitian untuk Kuliah Kerja Lapangan. Ketika itu, kami menyusuri Danau Tempe menggunakan perahu. Jangan dibayangkan perahunya besar, ya. Tidak sama sekali! Perahunya kecil. Dijalankan pakai mesin, tidak didayung manual. Tapi, walau pakai mesin, jalannya pelan sekali. Selain itu, tidak ada atapnya. Jadi, kami harus berkompromi dengan cuaca di hari itu. Danau Tempe itu luas banget. Kalau tidak salah, luasnya lebih dari 350 kilometer persegi, atau hampir separuhnya luas pr

Pedagang di Pasar Tradisional: Sebuah Profesi yang Underrated

Waktu masih kecil dulu, saya memandang pasar tradisional dengan sebelah mata. Kenapa? Karena pasar tradisional identik dengan tempat kotor, becek, bau, lembab, dan berantakan. Ditambah tempat parkir yang tidak beraturan, membuat beberapa orang malas ke situ. Begitu pula dengan pedagangnya. Profesi pedagang di pasar terlihat sebagai profesi “rakyat jelata” yang tidak terlihat "wah". Sejauh pengamatan saya, tidak pernah ada anak TK atau SD yang bercita-cita ingin menjadi pedagang di pasar. Tapi, image seputar pasar dan pedagangnya di benak saya semasa kecil itu, kini sudah terpatahkan. Sebab, pasar di dekat tempat tinggal saya sekarang sudah berwujud bangunan megah 3 lantai dan bereskalator. Pokoknya, jadi mirip seperti mall. Hanya saja, setelah kita berbelanja, gak diberi nota. Lalu, bagaimana dengan pedagangnya? Well , menurut saya, pedagang di pasar adalah profesi yang underrated karena mereka punya kompetensi unggul di bidangnya, tapi belum pernah ada lembaga