Postingan

Seni Berpikir Rumit

Saya sering memperumit sesuatu yang sebenarnya sederhana. Ketika harus berhadapan dengan sesuatu yang baru, saya bisa kepikiran dari berhari-hari sebelumnya. Misalnya, saat akan bertemu orang baru, saya bingung harus ngomong apa. Saat akan menuju tempat yang belum pernah saya singgahi, rasa waswas terkait gimana kalau sampai nyasar, tidak terelakkan. Ketika bepergian ke mall, saya beberapa kali membuka tas hanya untuk memastikan bahwa dompet, handphone, kunci motor, dan karcis parkir saya gak hilang. Bahkan, ketika akan presentasi saat masih kuliah dulu, saya bingung, mata saya harus menatap ke mana dan posisi tangan saya harus bagaimana. Bayangkan! Hal-hal sepele begitu aja tidak luput dari pikiran saya. Orang lain mungkin akan heran. Kok hal-hal remeh temeh begitu aja dipertanyakan? Entahlah. Saya terlalu sibuk membayangkan skenario terburuk. Saking saya takut tertimpa hal buruk, saya akan mempersiapkan segala sesuatunya, misalnya dengan cara mencari tutorial dan ...

Digital Minimalism

Gambar
Satu bulan lalu, saya menghapus akun Facebook, Twitter, Line, Pinterest, Researchgate, Linkedin, Medium, dan Wattpad secara permanen. Saya juga uninstall aplikasinya di handphone . Sebenarnya, sudah sejak lama saya ingin melakukan ini. Tapi, masih maju mundur. Dan, baru satu bulan yang lalu itulah saya mantap melakukannya, tanpa keraguan dan kekhawatiran. Satu bulan lalu, saya merasa sudah tidak ada lagi hal yang mau saya lakukan di platform-platform tersebut. Saya juga merasa tidak ada lagi sesuatu yang saya dapatkan dari sana. Dengan kata lain, urusan saya dengan platform-platform tersebut sudah selesai. Dan, jadilah kini di ponsel saya hanya ada aplikasi WhatsApp dan Telegram untuk sosial medianya. Lantas, di zaman modern ini, kenapa sih, saya malah memilih sedikit "menyingkir" dari gegap gempita dunia digital? Pertama, saya melakukan ini karena terinspirasi dari seorang profesor bernama Cal Newport yang membuat campaign "Digital Minimalism".

Kecanduan Nonton YouTube

Istilah “detoks sosial media”, sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sosial media yang dimaksud adalah Facebook, Twitter, Line, dan Instagram. Banyak orang yang mengatakan, alasan mereka detoks sosial media adalah karena di sosial media, ada banyak hal toksik, banyak orang pamer, dan lain sebagainya, yang menyebabkan mereka insecure . Saya pun sependapat dengan mereka. Ya, sudah beberapa minggu belakangan, saya melakukan detoks sosial media. Masih menggunakan, tapi sangat saya kurangi durasi pemakaiannya. Tapi, bagaimana dengan istilah “detoks YouTube”? Banyak orang yang sudah menyadari dirinya kecanduan sosial media. Dan untuk itu, mereka melakukan detoks sosial media. Tapi, belum banyak orang menyadari bahwa dirinya kecanduan YouTube. Berdasarkan pengamatan saya, sebagian besar orang yang detoks sosial media itu larinya ke YouTube. Jika dulunya dalam sehari scroll Instagram 2 jam dan nonton YouTube 2 jam, sekarang, scroll Instagam cuma setengah jam sih, tapi, nonton You...

Sang Ahli Stalking yang Ingin Insaf

Stalking atau kepo terhadap kehidupan orang lain itu awalnya terasa menyenangkan.   Jujur saja, dulu ketika masih sekolah atau kuliah, aku sering stalking teman-temanku yang hitz atau populer atau primadona. Mereka adalah orang-orang yang selalu menarik perhatian. Biasanya, untuk tahap awal, aku search di Google, lalu munculah nama sosial media mereka, mulai dari Instagram, Facebook, Twitter, AskFm, hingga LinkedIn. Kemudian, aku telusuri satu per satu foto, video, dan status mereka. Benar-benar kupelototi semua. Dengan mengubek-ubek itu semua, mulanya, aku bangga. Seolah-olah, wawasanku bertambah. Juga, seakan-akan, aku adalah detektif yang bisa mengungkap suatu rahasia. Tapi… Seiring berjalannya waktu, ada rasa tidak nyaman yang menyelimutiku setelah sesi stalking usai: Pertama, aku menyesal sudah membuang-buang waktu berjam-jam —yang sebetulnya bisa kugunakan untuk hal lain yang lebih berfaedah. Kedua, aku jadi tahu sisi gelap, kekurangan, dan kesalahan seseora...

Cerita Fiksi: Pesan Terakhir si Handphone Tua

Aku adalah sebuah handphone berumur 5,5 tahun. Termasuk tua dibandingkan teman-temanku yang masih hidup. Akan kusampaikan sebuah pesan padamu, kawan, yang selama ini hanya kupendam. Masih membekas di benakku. Dulu, ketika baru, aku disayang-sayang pemilikku. Tubuhku tak dibiarkan telanjang; diberi pakaian berupa soft case terbaik; dibelai-belai; disentuh dengan lembut. Tapi, lama-lama, pemilikku memperlakukanku dengan brutal. Ketika dia ingin buang air besar misalnya, aku diajaknya ke kamar mandi. Dia menyiksaku dengan aroma yang keluar dari duburnya. Sementara itu, di saat bersamaan, aku disuruh menghiburnya; melantunkan lagu kesukaannya. Tak hanya itu. Aku dipekerjakan selama 12 jam non-stop setiap hari. Padahal, manusia saja sudah mengeluh ketika bekerja 8 jam sehari. Bisa kau bayangkan, betapa lelahnya diriku? Ketika pemilikku bersantai, aku justru bekerja keras. Aku disuruh menyajikan apa pun yang ingin dia lihat saat itu juga. Bahkan, pemilikku sering menyuruhku multitasking ....

Meng-kudet-kan Diri

Warning Alert! Tulisan ini murni pendapat pribadi. Tidak ada maksud menyudutkan pihak mana pun. Seperti yang kita tahu, kata “viral” itu sudah ada dari dulu, tapi baru banyak dipakai sekitar empat tahun belakangan. Berita viral ada di mana-mana, seperti Line Today, YouTube, Instagram, hingga platform khusus media online seperti Babe dan sejenisnya. Judul berita viral selalu diawali dengan kata “Viral”, “Menyedihkan”, “Geger”, dan diakhiri dengan 3 buah tanda seru di belakangnya. Berita viral terus bergulir. Mulai dari “Om Tetolet Om”, “Makan Daging Anjing dengan Sayur Kol“, “Keke Bukan Boneka”, hingga “Odading”. Beberapa hari belakangan, aku sengaja menutup mata dari berita viral. Berita viral terakhir yang kutahu Cuma “Semongko Sis”. Aku tidak tahu sekarang ada berita viral apa lagi. Aku sudah terlalu jenuh dengan semua kegaduhan itu. Aku ingin hidup tenang. Sebab, aku adalah pecinta suasana sunyi, baik di dunia nyata maupun dunia maya. *** Jadi, ketika video yang sekiran...

Aneka Mahzab dalam Dunia Kepenulisan

Mahzab, dalam hal ini artinya aliran, versi, slogan, dan pendapat yang dianut setiap penulis. Berdasarkan analisis cetek saya, ada beberapa mahzab yang dianut penulis. Pertama, ada penulis yang berprinsip, kejarlah kuantitas dulu, urusan kualitas itu belakangan . Biasanya, dalam workshop kepenulisan, penulis jenis ini akan menyarankan kita untuk menulis minimal sekian ribu kata per hari. Tulislah apa pun. Lakukan secara konsisten. Penulis jenis ini berpendapat, bahwa kualitas akan membaik setelah kita rutin melakukan aktivitas menulis secara berulang-ulang. Ada pula yang berprinsip sebaliknya. Yakni, untuk tahap awal, tulislah kalimat-kalimat yang singkat. Jangan berusaha memanjang-manjangkan kalimat agar tulisannya terkesan banyak. Biasanya, penulis jenis ini berprinsip, apalah artinya tulisan panjang kalau banyak pengulangan dan kalimat tidak efektif. Kedua, setiap penulis punya kecocokan bentuk tulisan . Ada yang ahli menulis cerpen, seperti AS Laksana dan Bernard Batubara. ...