Aneka Mahzab dalam Dunia Kepenulisan
Mahzab, dalam hal ini artinya aliran, versi, slogan, dan pendapat yang dianut setiap penulis.
Pertama, ada penulis yang berprinsip, kejarlah kuantitas dulu, urusan kualitas itu belakangan. Biasanya, dalam workshop kepenulisan, penulis jenis ini akan menyarankan kita untuk menulis minimal sekian ribu kata per hari. Tulislah apa pun. Lakukan secara konsisten. Penulis jenis ini berpendapat, bahwa kualitas akan membaik setelah kita rutin melakukan aktivitas menulis secara berulang-ulang.
Ada pula yang
berprinsip sebaliknya. Yakni, untuk tahap awal, tulislah kalimat-kalimat yang
singkat. Jangan berusaha memanjang-manjangkan kalimat agar tulisannya terkesan
banyak. Biasanya, penulis
jenis ini berprinsip, apalah artinya tulisan panjang kalau banyak pengulangan
dan kalimat tidak efektif.
Kedua, setiap
penulis punya kecocokan bentuk tulisan. Ada yang ahli menulis cerpen,
seperti AS Laksana dan Bernard Batubara. Ada yang pandai menulis novel, seperti
Andrea Hirata, Dewi Lestari, dan Tere Liye. Ada yang lihai menulis artikel,
seperti Agus Mulyadi. Ada pula yang lincah membuat Quotes, seperti Rintik Sedu
dan Marchella FP.
Ketiga, setiap
penulis punya spesialisasi. Ada yang menulis tema hijrah di kalangan anak
muda. Ada yang menulis self love dan mental health. Ada pula yang menulis tema
percintaan. Dan, spesialisasi yang lain.
Apakah menulis
perlu bakat?
Well, ini masih jadi perdebatan para ahli. Ada yang
bilang perlu, ada yang bilang tidak. Kalau menurut saya secara pribadi,
semua orang bisa menulis. Hanya saja, mereka yang berbakat akan lebih mudah,
cepat, dan bagus dalam melakukannya. Sementara itu, orang yang tidak berbakat
tetap bisa menulis, tapi butuh usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih
lama.
Saya percaya bakat
itu ada. Bakat adalah
kecerdasan ganda (multiple intelligent) yang dibawa manusia sejak lahir.
Nah, saya pernah
menonton sebuah video ceramah ibu dr.
Aisah Dahlan, bahwa orang yang berbakat menulis, adalah orang yang
punya kecerdasan linguistik serta kecerdasan intrapersonal tinggi. Mengenai
definisi rinci kecerdasan linguistik dan kecerdasan intrapersonal, sila cari
sendiri di Google.
Intinya, kecerdasan
linguistik adalah kecerdasan berbahasa. Berhubungan dengan kemampuan seseorang
dalam merangkai kalimat dan menyampaikan gagasan. Ciri orang yang kecerdasan
linguistiknya tinggi adalah suka membaca, menulis, dan bercerita.
Sementara itu, kecerdasan
intrapersonal adalah kecerdasan untuk mengenali dirinya sendiri, memotivasi
diri, mendisiplinkan diri, dan menyelesaikan tanggung jawabnya sendiri. Intinya,
kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas
sendiri. Ciri orang yang kecerdasan intrapersonalnya tinggi adalah suka menulis
diary, suka menyendiri, mengevaluasi diri sendiri, dan mengkontemplasi perjalanan
hidupnya sendiri.
Menurut saya, ini
masuk akal sekali. Coba bayangkan, penulis novel itu. Kalau mereka tidak punya
kecerdasan linguistik tinggi, ya, mereka akan susah merangkai kalimat dan
menyampaikan gagasan. Bisa-bisa, yang mereka maksud itu A, eh, tapi, malah yang
ditulis B.
Selain itu, kalau
mereka tidak punya kecerdasan intrapersonal yang tinggi, ya, lagi nulis 10
halaman udah menyerah, akibatnya, novelnya gak jadi-jadi.
Bagaimana dengan
saya?
Sejatinya, saya
masih bingung bakat saya itu apa. Saya merasa gak pantas mengaku punya
bakat menulis. Tapi, ya, gimana dong, habisnya, cuma menulislah yang bisa saya
lakukan dengan sedikit lebih baik dibanding aktivitas lain (setidaknya menurut
saya).
Nyanyi? Aduh, saya
sadar diri sajalah, suara saya pas-pasan. Menggambar? Alah, saya cuma bisa
nyontek gambar yang sudah ada, gak bisa kalau disuruh berkreasi. Olahraga?
Boro-boro, lha wong waktu sekolah aja, saya selalu kalah ketika balapan
lari keliling lapangan.
Lalu, mahzab
menulis seperti apa yang saya anut?
Well, terus terang saja, mahzab saya masih mencla-mencle
alias berubah-ubah. Saya pernah menganut mahzab, menulislah setiap hari minimal
sekian ribu kata per hari, atau istilah nge-trend-nya, One Day One
Post (ODOP). Kalau kalian lihat di blog ini, saya pernah melakukannya, dari
tanggal 2 hingga 18 Desember. Saat itu, saya memaksa diri untuk menulis minimal
1000 kata per hari.
Eh, tapi, tiba-tiba, setelah
itu, saya nge-blank. Kehabisan ide. Gak tahu apa lagi yang harus
ditulis. Menulis yang awalnya untuk bersenang-senang, tapi gara-gara saya
melakukannya setiap hari tanpa bolong-bolong, berubah jadi aktivitas menyiksa.
Akhirnya, saya
berhenti menulis sejenak. Mungkin, mahzab ODOP tidak cocok untuk saya. Sejak saat
itu, saya pindah haluan.
Kini, saya tidak lagi
mewajibkan diri menulis setiap hari. Saya hanya akan menulis jika ada yang
mau saya tulis. Mau 100 kata kek, 500 kata kek, tak apa-apa. Jika memang
cukup dituliskan secara singkat, kenapa saya harus berusaha
memanjang-manjangkannya? Kalau saya berusaha memanjang-manjangkan, yang ada,
malah jadi bertele-tele dan tidak nyambung.
Terus, untuk jenis tulisan, saya belum nemu yang 100% cocok. Masih meraba-raba gitu. Saya pernah nulis cerpen, tapi, masih kesusahan. Saya juga pernah nih, pengin nulis Quotes ala-ala Instagram gitu. Tapi, kayaknya saya bukan orang yang ahli di bidang per-Quotes-an. Ya sudah, akhirnya, saya hanya menulis apa yang ingin saya tulis. Ya, tulisan ini misalnya. BTW, tulisan ini termasuk apa ya? Ehm, kayaknya, artikel, tapi, artikel yang sangat tidak ilmiah karena kebanyakan “menurut saya”.
Berarti saya termasuk penganut mazhab freestyle alias sakarepe dewe. Hehehe...cuman berhubung diposting di blog dan bisa dibaca orang, konten dan cara penyajiannya sedikit ditata.
BalasHapusSetidaknya nggak nyakitin mata yang baca lah 😃
Hai salam kenal.. Sepertinya saya memahami kegalauan tentang menulis ini. Saya juga tidak tahu pasti apakah saya berbakat atau tidak menulis, yang jelas saya suka dan merasa lebih baik di bidang ini dibandingkan hal lain.
BalasHapusItupun saya masih dihantui rasa malas dan kalau ada kesibukan lain, langsung menjadikan menulis hal terakhir dalam list prioritas. Alhasil vakum ngeblog dan menulis selama dua tahunan.
Akhir2 ini saya sedang mengumpulkan semangat lagi, cara saya ialah dengan mengikuti lomba ngeblog. Bukan soal hadiahnya tp biar saya mampu menulis sesuai tema, sebelum deadline dan hasilnya bisa diukur melalui pendapat juri (walaupun ada banyak faktor lain yg menentukan kemenangan, tetap konon :konten is the king). 😁😁
Hummm ... saya juga mahzabnya sesuai kemauan aja Mba, seringnya semengalirnya, sedapetnya ide di kepala, menulis kalau saya mau nulis, temanya juga apapun yang penting berharap tulisannya bisa kasih inspirasi buat orang aja.
BalasHapusOiya kata mentor menulis, baiknya menulis itu bikin outline dulu, tapi saya justru belum bisa kalau di outline in dulu, malah ngeblank bikin outline, ngalirnya kalau ditulis aja dulu, eh pembahasan kadang jadi kemana-mana bercabang-cabang. Duuuh ...
Eh jadi ikutan curhat saya Mba disini ... hihi ...
Semangat ngeblog terus ya Mba
Happy Blogging
Kalo saya sepakat dengan mazhab yg mengakatakan bahwa.. Menulis aja dulu nanti lama kelamaan kualitasnya jadi meningkat. Ini, Bang Tere Liye yang mengatakan.
BalasHapusTapi, kalo tiap hari kudu post, saya sih belum sanggup eheehe 😅