Postingan

Cerpen #2: Seragam Ibu

Orang-orang menyebutku "Sarjana Jalur Corona". Sudah 4 bulan aku menyandang gelar pengangguran intelektual.  Telah selesai kewajibanku mengenyam pendidikan tinggi. Setelah 3 tahun 8 bulan berjibaku dalam dunia akademis, kini aku harus membuka mata lebar-lebar, menapakkan kaki di dunia nyata.  Semula, kukira dengan ijazah di genggaman, masalah selesai. Rupanya, ini justru awal mula merebaknya masalah-masalah baru. Baru sekali bagiku. Predikat alumni universitas favorit tidak cukup membantu. Selama 4 bulan ini, kuhabiskan hari dengan memelototi situs penyedia lowongan pekerjaan di internet. Di masa-masa ini, sedikit sekali perusahaan berlatar belakang sesuai disiplin ilmu jurusanku yang memasang iklan lowongan pekerjaan.  Entahlah. Dua tahun lalu, nyaris semua dosen dan kakak tingkat mengatakan bahwa prospek kerja terbuka luas bagi alumni jurusanku. Namun, masa depan tak ada yang tahu. Aku tidak menyangka bahwa keadaan bebalik 180 derajat. Jurusanku yang dikenal sebagai jurusan

Awet

Aku adalah pecinta barang awet. Barang di sini artinya luas ya, bisa HP, laptop, motor, dll.  Rasanya puas aja kalau melihat barang yang sudah kugunakan selama sekian tahun masih layak, bahkan masih bagus.  Bukankah yang lebih menyenangkan itu kalau punya barang baru?  Betul, punya barang baru memang menyenangkan. Tapi, aku pribadi lebih puas dengan barang yang awet. Punya barang awet itu sensasinya beda. Rasanya, aku seperti sudah mencecap hingga sari-sarinya. Hingga tetes terakhir.   Kesukaanku akan barang awet sepertinya nurun dari ibu. Ibuku itu ya, kalau punya barang, diawet-awet banget. Ibu selalu merawat barangnya dengan telaten dan sepenuh hati. Hampir setiap malam, ibuku mengelap lalu menyemir tas kulitnya. Dan, ibu kalau nyemir tas, gak ada satu centi pun bagian tas yang terlewat. Alhasil tas kulit ibu selalu mengkilat dan awet hingga belasan tahun.  Begitu pula kalau ada barangnya yang rusak, ibu akan berusaha sekuat tenaga supaya barang itu tetap bisa digunakan.  Pernah sua

Curhatan Pemilik Kaki Kecil

Sebagai pemilik kaki kecil, aku sering kesulitan menemukan sepatu yang cocok. Bagaimana tidak, sepatu berukuran 36 yang konon merupakan ukuran sepatu terkecil untuk orang dewasa saja, masih sering kegedean di kakiku.  Padahal, tidak semua merk sepatu mengeluarkan ukuran 36.  Itu pun, tidak semua stok sepatu ukuran 36 masih ada di toko.  Itu pun, tidak semua sepatu ukuran 36 yang ada di toko pas untuk kakiku.  Itu pun (lagi), hanya sepatu ukuran 36 yang benar-benar kecil saja yang pas untuk kakiku.  Itulah kenapa, bagiku membeli sepatu adalah salah satu ujian hidup.   *** Pernah suatu ketika, aku harus membeli sepatu, karena sepatu yang lama udah rusak.  Aku pun mengunjungi salah satu toko sepatu. Semua sepatu wanita berukuran 36 kucoba, tapi gak ada yang pas, semuanya kegedean.  Lalu, aku tanya ke pelayan tokonya, apakah masih ada stok sepatu lain, atau, apakah ada sepatu dewasa ukuran 35?  Jawabannya sudah bisa ditebak = Gak ada! Pelayan tokonya hanya bisa melihatku dengan iba campur

Menunggu

Ngomongin tentang menunggu, tentu yang langsung terngiang di kepalaku adalah... Menunggu, sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku.  Saat ku harus bersabar dan terus bersabar.  Yap, itu adalah potongan lirik lagu Zivilia-Aishiteru yang hits pada waktu aku SMP. Ada bermacam-macam menunggu.   Ada menunggu yang menyenangkan . Di situasi ini, kita cenderung gak sabaran. Pengin supaya waktu berjalan lebih cepat. Misalnya, waktu membeli barang baru yang sudah lama kita idam-idamkan. Kita gak sabar untuk segera menyentuh barang itu. Kita membayangkan seperti apa kiranya barang itu. Lalu, ketika kita berhasil membelinya, kita akan menyentuhnya dengan lemah lembut. Ibaratnya, jangan sampai lecet barang setitik pun. Ada pula menunggu yang menggelisahkan . Biasanya, hal ini terjadi ketika kita merasa belum siap. Misalnya, kita adalah seorang siswa menunggu menghadapi ujian akhir sekolah. Rasanya belum siap. Rasanya belum belajar maksimal. Dan rasa belum-belum lainnya.  Ada juga menunggu yang mendeb

Setahun Pakai Pembalut Kain

Awalnya, saya tidak pernah kepikiran untuk memakai pembalut kain a.k.a menstrual pad . Saya pun menjalani hari-hari menstruasi dengan pembalut sekali pakai.  Sampai suatu ketika...  Saya melihat kakak ipar sedang memakaikan bayinya popok kain. Kakak ipar mengatakan bahwa memakaikan bayinya popok kain adalah salah satu cara mengurangi sampah.  "Setidaknya, dengan menggunakan popok kain yang bisa dicuci dan dipakai lagi, itu tidak menyumbang bertumpuk-tumpuk sampah popok setiap hari," begitu katanya.   Kejadian itu menginspirasi saya.  Kalau bayi bisa berperan menjaga lingkungan dengan cara memakai popok kain, kalau saya dengan memakai pembalut kain. Begitu pikir saya.  Maka, saya pun segera membeli pembalut kain di sebuah online shop .  ***  Tak terasa, terhitung, bulan Juli tahun 2021 ini sudah satu tahun lamanya saya memakai pembalut kain.  Sejauh ini ada beberapa hal yang saya rasakan. Ada poin plus dan minusnya.  Poin plus-nya:  1. Gak perlu khawatir kehabisan stok pemb

5 Duka Penglaju Sepeda Motor

Kalau biasanya orang-orang menceritakan "anak kos", kali ini saya mau menceritakan kebalikannya, yaitu "anak nglaju". Eh, tapi kok kalau saya nyebut "anak nglaju" jadi terdengar aneh, ya? Baiklah, saya sebut "penglaju" aja.  Penglaju itu apa, sih?  Penglaju adalah orang-orang yang melakukan perjalanan pulang-pergi dari rumah menuju ke tempat tujuan (kantor, sekolah, kampus, dsb) setiap hari. Biasanya, jarak antara rumah hingga tempat tujuan itu cukup jauh, bisa belasan hingga puluhan kilometer.  Saat kuliah dulu, saya adalah mahasiswa penglaju sepeda motor. Setiap hari, saya menempuh total jarak 40 km menggunakan sepeda motor. So, saya sudah merasakan asam garam per-nglaju-an. Seperti yang terpampang di judul, saya tidak akan menceritakan suka-duka, tetapi hanya dukanya saja.  Apa sajakah itu? 1. Berangkat Kesiangan yang Berujung Disemprit Polisi.  Sebenarnya, saya sudah tahu, kalau amannya berangkat dari rumah maksimal jam 06.15 untuk kuliah pag

Bisa Makan Cepat Adalah Privilege

"Kamu tuh makan atau ngemut, sih? Kok lama banget." Kata seorang teman di lokasi KKN dulu. Ya, dari dulu, satu hal yang jadi problem saya, yaitu gak bisa makan dengan cepat. Terutama kalau pagi hari, dengan udara yang masih dingin, entah kenapa membuat saya agak kesulitan menelan makanan.  Apa lagi kalau nasinya lembek. Ketika nasinya baru saya kunyah, lalu perlahan-lahan hendak saya telan, itu rasanya mual. Sehingga, nasi tersebut termuntahkan begitu saja.  Kalau sudah begini, saya hanya bisa diam. Diberi jeda. Setidaknya, 5 menit kemudian, baru bisa memasukkan makanan ke dalam mulut lagi. Itu pun, ngunyah dan nelannya harus slow motion . Kalau enggak, ya, muntah lagi. Akibatnya, durasi makan saya gak bisa cepat. Hal ini menyebabkan orang-orang yang melihat jadi geregetan.   "Kalau makan tuh yang cepet. Keburu rasanya berubah." Kata ibu saya.  Lha, bayangkan saja, saya yang lebih dulu makan, tapi selesainya belakangan. Sementara ibu saya yang mulai makan lebih akh