Cerpen #1: Apollo Merah Nanda

Wisuda sarjana keguruanku sudah seminggu berlalu. Pagi tadi, aku melangsungkan pernikahan di sebuah KUA kecamatan. 

Dengan diwakilkan paman tertua karena ayah telah tiada, aku dan dia, resmi menjadi suami-istri. Kami adalah sepasang guru. Dia, seorang laki-laki yang dulunya adalah mahasiswa 2 tingkat di atasku. Kami pertama kali bertemu ketika masa orientasi jurusan berlangsung.

Kini, dia menjadi guru tetap yayasan di sebuah SD swasta. Sementara itu, sejak semester akhir kuliah aku sudah bekerja sebagai guru tidak tetap di SD negeri. 

Setelah menikah, kami hidup di rumah orangtuaku yang kini tinggal ibu. Sebenarnya, kami ingin mengontrak saja agar tidak merepotkan, tetapi ibu meminta kami tinggal bersamanya agar ia tak kesepian.

Aku dan suami selalu berangkat bersama karena sekolah tempat kami mengajar searah. Bedanya, di lampu lalu lintas pertama dari rumah aku akan belok kiri sementara dia terus lurus. Kami mengendarai motor masing-masing. 

Walaupun masih berstatus guru tidak tetap, tetapi aku sering ditugaskan berkumpul di kantor kecamatan untuk membahas tugas laporan administrasi yang menjadi tanggungjawabku.

Ibuku merupakan pensiunan guru. Setelah masa dinasnya habis, dia menekuni hobinya. Siang hingga malam merajut benang warna-warni, menghasilkan aneka barang yang lucu, seperti tas, rompi, taplak meja, dan dompet. Hasilnya dipajang di etalase-etalase yang sudah dipesan secara khusus. 

Kebetulan rumah ini ada di pinggir jalan raya sehingga ada saja pengendara yang mampir kemari karena tertarik. Ibu tidak familiar dengan teknologi. Akulah yang memotret hasil rajutan ibu dan menawarkannya di akun sosial mediaku. Hitung-hitung, sambil mengisi waktu luangku sepulang mengajar.

Keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Setelah lulus kuliah, aku tidak pusing mencari sekolah yang mau menampungku, sementara teman-teman seangkatan masih bingung harus ke mana. Aku juga hanya sebentar “kosong” karena sebulan setelah menikah langsung hamil.

***  

Kelahiran anak pertama bagaikan berkah tiada tara. Rumah yang semula sepi berubah semarak. Tangis dan tawanya menggema di hari-hariku yang ceria.

Selain merajut, kini ibu juga disibukkan dengan merawat bayi ketika aku dan suami bekerja. Mungkin, ibu nostalgia, mengenang masa-masanya pertama kali menggendongku saat bayi dulu. Mungkin, bayi itu menjadi hiburannya di masa tua.

Suamiku memberi nama bayi itu Erliz Winanda. Nanda, begitu kami memanggilnya.

***

Pertumbuhan Nanda amat cepat. Tidak terasa, kini dia sudah berumur 10 bulan. Rambutnya mulai tebal. Poninya dibelah menyamping. Penjepit rambut warna pink khas anak-anak juga tak ketinggalan. Lengkap sudah keimutannya.

Aku membelikan sebuah apollo berwarna merah untuk Nanda. Alat ini bisa digunakannya untuk berpindah dengan cepat. Keberadaan apollo merah ini dapat menyangga tubuhnya yang belum kokoh untuk berlatih duduk atau berdiri.

Kami tidak perlu khawatir Nanda akan jatuh karena merayap dari tempat tidur. Kami juga tenang saat beraktivitas seperti biasa. Saat aku dan suamiku salat berjamaah, biasanya kududukkan Nanda di apollo merah. Nanda akan menyaksikan kami salat dari belakang.

Di usianya sekarang, Nanda sudah sangat lincah mengoperasikan apollonya. Dia bergerak maju, mundur, bahkan menyamping dengan satu kali hentakan kaki. Nanda juga seolah sudah hafal tata ruang rumah ini. Dia memasuki ruang demi ruang, bergantian, tak ada yang terlewat.

Yang selalu membuatku tertawa adalah kelucuannya. Dia bisa dada-dada melambaikan tangan. Ternyata sudah pintar meniru apa yang orang lain ajarkan padanya. Bahkan, ketika sedang tidur, dengan mata tertutup, tangannya melambai-lambai. Entah dia sedang berpimpi apa sehingga dia dada-dada begitu.

Melalui apollonya, Nanda sering menghampiriku ketika sedang memasak di dapur. Dengan rasa penasarannya yang tinggi, dia ingin melihat isi wajan yang sedang kugunakan untuk memasak.

***

Tadi malam, suamiku ditelepon oleh bapaknya di kampung bahwa ada salah seorang bibi yang meninggal. Maka, setelah meminta izin kepada kepala sekolah, secepatnya dia akan pulang kampung untuk melayat. 

Melihat hal itu, naluriku sebagai anggota keluarga muncul. Bagaimana pun, bibi suamiku itu telah menjadi keluargaku juga. Sebab, pernikahan bukan hanya menyatukan 2 pribadi melainkan juga 2 keluarga besar.

Sebenarnya, aku agak tak enak hati jika harus meminta izin pada kepala sekolahku. Sebab, besok saatnya aku harus mengumpulkan laporan administrasi di kecamatan. Tetapi hati kecilku berbisik, “Tidak apa-apa. Coba saja dulu. Ini kan darurat. Berita duka.”

Maka, pagi-pagi sekali, sesudah salat Subuh, aku, suami, ibu, dan Nanda bersiap berangkat ke rumah duka. Kami menghadang bus antarkota yang selalu melaju di jalan raya depan rumah kami. Kecepatan menjadi prioritas. Hanya bus antarkota inilah kendaraan yang dapat mengantarkan kami ke kampung halaman suamiku dengan segera.

Kami segera masuk ke dalam bus sesaat setelah bus berhenti. Badan kami masih bergoyang-goyang menahan laju bus yang baru bergerak, sehingga harus memegang kursi-kursi penumpang agar tidak terjungkal. Aku bisa melihat mayoritas toko di pinggir jalan masih tutup. Jalanan masih gelap sehingga bagian dalam bus juga masih remang-remang.

Ibu dan suamiku langsung memejamkan mata ketika bokong mereka menyentuh kursi. Nanda, yang kini ada di gendonganku juga tertidur pulas hingga mulutnya terbuka. Aku lebih memilih mengamati jalan melalui kaca di bagian samping kiriku.

Kampung halaman suamiku terletak di wilayah pegunungan. Perjalanan dari rumahku biasanya memakan waktu 6 jam. Tak tau, apakah kami masih bisa menyaksikan jenazah untuk terakhir kalinya. Sebab, tradisi di kampung halaman suamiku menyegerakan pemakaman.

Semula baik-baik saja perjalanan ini. Tak ada firasat aneh. Hingga sampailah bus ini di medan yang sangat curam. Kutaksir, kemiringannya hampir 45 derajat. 

Di jalan yang menanjak di atas sana nanti, bus ini harus segera berbelok ke kanan. Belokan itu terkesan begitu mendadak dan mengagetkan. Bagi orang yang baru pertama kali melewati wilayah ini, tentu akan refleks bergidik ngeri. Tapi, karena aku sudah terbiasa, ketakutanku tidak sebesar dulu, ketika pertama kali menyaksikan ini semua.

Walaupun ketakutanku melewati medan curam ini tidak sebesar dulu, sejujurnya masih ada sedikit sisa. Seperti mayoritas orang kalau dihadapkan pada ketakutan, aku spontan komat-kamit berdo’a memohon keselamatan. Aku berharap keberuntungan masih berpihak kepada kami seperti waktu-waktu sebelumnya sehingga kami selamat sampai tujuan.

Sayangnya, keberuntungan yang kuharapkan itu tidak datang. Entahlah. Mungkin, kini saatnya aku bertemu dengan kemalangan.

Mungkin supirnya masih pemula. Mungkin juga kebetulan saja dia lupa harus segera mengarahkan bus agak ke kanan di titik ini. Tiba-tiba, bus oleng ke kiri. Tak terhindarkan, bus masuk ke jurang di sisi kiri jalan.

Aku masih sadar untuk beberapa detik. Yang kuingat, penumpang bus terombang-ambing tak menentu, dan Nanda terlepas dari gendonganku. Setelah itu, semuanya gelap.

***

Aku melihat bapak dan ibu mertua tatkala membuka mata pertama kali. Kini, posisiku berbaring di sebuah ranjang. Tepat bagian atasku adalah plafon putih kotak-kotak. Beberapa bagian tubuhku terbungkus perban. Aku baru sadar. Rupanya, ini rumah sakit.

“Ibu, apa yang terjadi?” tanyaku pada ibu mertua.

“Bus yang kamu naiki oleng ke jurang. Untung jurangnya tidak seberapa dalam. Tetapi…”

Masih dengan suara setengah berbisik menahan ngilu, aku lanjut bertanya, “Tetapi apa, ibu?”

“Dari 61 penumpang, hanya ada 7 orang yang selamat. Sayangnya, Nanda tidak termasuk dalam 7 orang itu…”

Perasaanku seperti kehilangan barang kesayangan yang selama ini kurawat sepenuh jiwa. Darah dagingku telah tiada.

***

Berbulan-bulan setelah kecelakaan nahas itu, aku mulai menghibur diri. Paling tidak, aku, suami, dan ibuku masih diberi keselamatan. Itu merupakan keberuntungan bagi kami. Tidak apa. Porsi keberuntunganku pasti sudah dijatah.

Otakku sudah bisa menerima kepergian Nanda. Sayangnya, alam bawah sadarku masih memberontak. Suatu malam, tiba-tiba suamiku mengguncang-guncangkan tubuhku, memanggilku, menyuruhku bangun.

“Kamu ngelindur. Sebenarnya, aku  mau membiarkan saja, tetapi ceracauanmu tidak berhenti.” kata suamiku sambil mengernyit heran.

Aku bermimpi melihat Nanda bergerak bersama apollo merahnya. Nanda duduk di Apollo merahnya di pinggir ruang keluarga. Ruang itu tepat bersebelahan dengan garasi. Permukaan lantai ruang keluarga lebih tinggi 25 cm dari lantai garasi. Akibatnya, Nanda bersama apollo merahnya terjatuh di garasi. Ketika ingin menolongnya, suami membangunkanku dari mimpi itu.

***

Sudah berbulan-bulan tergeletak di ruang tengah, akhirnya apollo merah itu kulipat. Kumasukkan dalam kardus semula. Kuletakkan benda itu di bagian atas lemari kamar. Apollo merah itu kini tidak bertuan.

Tidak kurang usaha kami untuk kembali memiliki momongan. Sudah kulingkari tanggal-tanggal masa suburku di kalender. Suamiku sering mengantarku ke dokter spesialis kandungan. Pun, beberapa tukang pijat yang menurut testimoni orang-orang cukup tokcer juga kami datangi. Do’a tidak henti-hentinya kupanjatkan di sepertiga malamku. Namun, aku tak kunjung hamil.

Berbagai rangkaian tes kesehatan sudah kuikuti. Namun, dokter tidak menemukan adanya penyakit. Semua hasil pemeriksaan normal.

Siklus datang bulanku masih sama. Sudah bertahun-tahun tamu bulanan itu selalu datang tepat waktu. Aku sekarang justru ingin tamu bulanan itu sekali-kali tidak datang.

***

Sudah 9 tahun sejak kepergian Nanda. Sembilan tahun lalu, badanku masih ramping. Orang-orang yang tidak kenal, mengira aku masih gadis. Namun, kini badanku semakin berisi. Aku sudah tampak benar-benar matang. Tidak seperti ibu muda. Sudah benar-benar “ibu-ibu”.

Selain perbedaan ukuran tubuh, aku juga mengalami perubahan status kepegawaian. Kini, aku sudah diangkat menjadi guru tetap di SD negeri. Karenanya, sore ini aku berada di sebuah hotel bintang empat untuk mengikuti sebuah penataran seputar kurikulum.

Satu kamar diisi 3 orang guru dari berbagai kabupaten. Sekarang aku sedang bersiap memakai kerudung dan ID card. Aku menatap diriku di depan cermin besar yang berada di dalam kamar. Pukul 19 nanti aku sudah harus berada di aula untuk menyimak paparan materi.

Mulanya, aku bersama 2 orang teman sekamarku mengobrol seputar acara penataran ini. Hingga terjadilah percakapan yang sebenarnya sudah kuduga itu.

“Anaknya sudah kelas berapa?” tanya rekan sekamarku yang sedang menyisir rambutnya.

“Anak saya sudah meninggal 9 tahun lalu. Saya belum punya anak lagi sampai sekarang,” kataku sekenanya.

“Lho, kenapa belum punya anak lagi?” ujarnya tanpa beban.

Kata-kata itu. Seolah aku yang memang tidak mau punya anak. Padahal, bukan tidak mau, tapi belum bisa.

Aku malas menanggapi. Buat apa kujelaskan panjang lebar usaha yang sudah kutempuh. Paling-paling, di matanya usahaku untuk memiliki anak masih belum cukup keras.

***

Tiga jam setelah masa penataran usai, aku sudah berada di rumah. Jika tamu bulananku datang tepat waktu, seharusnya besok sudah kutemui bercak merah di celana dalamku. Aku yakin bercak merah itu akan segera datang. Tepat waktu. Seperti yang sudah-sudah.

Dugaanku meleset. Bercak merah itu tak kunjung tiba. Sudah 2 minggu berlalu. Celana dalamku, masih bersih tanpa noda.

Maka, di suatu pagi setelah azan Subuh berkumandang, aku berjalan menuju kamar mandi. Sudah kusiapkan wadah kecil bekas air mineral. Segera kutampung urinku ke dalam wadah kecil. Tidak membuang tempo, kucelupkan test pack ke dalam urinku. Kutunggu jeda waktu 8 detik untuk melihat apa yang terjadi.

Tidak ada ekspektasi dariku. Aku takut terluka jika kenyataan tak sesuai ekspektasi. Aku menduga test pack akan menunjukkan 1 garis, yang artinya aku tidak hamil.

Delapan detik sudah berlalu, kuangkat test pack dari wadah. Aku terlonjak kaget. Dua garis! Masih tak percaya dengan penglihatan ini, kukucek mataku berkali-kali. Iya, masih 2 garis. Ah, siapa tahu aku salah lihat. Tapi, saat test pack itu kuletakkan tepat di bawah sinar lampu kamar mandi, masih 2 garis. Aku senyam-senyum bahagia, keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan.

Kusembunyikan test pack itu dengan satu tangan di belakang punggungku. Suamiku sedang menyisir rambutnya di depan cermin kamar. Aku akan memberinya kejutan.

“Ayah, coba tebak apa yang kubawa?” kalimatku sukses membuatnya sejenak berhenti menyisir rambut.

“Apa?” jawabnya singkat tapi penuh rasa ingin tahu.

“Ini, garisnya dua,” ujarku seraya mengulungkan test pack.

“Alhamdullilah,” ujarnya tersenyum tetapi matanya berkaca-kaca.

***

Hari itu menjadi hari tak terlupakan bagi kami. Tepat 30 minggu dari hari itu, anak keduaku lahir di dunia. Aniz Winanda. Begitu nama yang suamiku sematkan padanya.

Panggilannya sama dengan anak kami yang terdahulu. Nanda yang kedua ini sudah seumuran Nanda yang pertama. Polah tingkahnya tak kalah gesit. Aku kembali membuka kardus di atas lemari dan membentangkan apollo merah untuk Nanda gunakan. 

Akhirnya, apollo merah itu kembali bertuan. Walau pun Nanda yang sekarang adalah orang yang berbeda dengan Nanda yang dulu, tetapi mereka sama-sama Nanda. Apollo merah Nanda kembali beroperasi di rumah ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya