Silau

Sejak di bangku Sekolah Dasar, kita sudah diajarkan perihal jenis-jenis kebutuhan. Ketika itu, kita sangat lancar menyebutkan definisi dan apa saja yang termasuk kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. 

Tapi, kenapa setelah tumbuh dewasa kita kesulitan mempraktikkannya? Kita seolah sulit membedakannya? Seolah antara ketiga jenis kebutuhan itu tidak ada batas yang gamblang?

Saat kelas 4 SD misalnya, kita bisa dengan lantang menyebutkan bahwa kebutuhan primer manusia adalah sandang, papan, dan pangan. Tapi, seiring bertambahnya usia, kenapa “itu” seolah hanya menjadi teori?

Kalau membahas ini, sebaiknya kita menilai diri kita sendiri. 

Kita tidak bisa menganggap semua orang punya prioritas dan kemampuan yang sama persis dengan kita. 

Maksudnya begini. Misal, kita menganggap bahwa membeli handphone seharga 20.000.000 adalah pemborosan. Ya sudah. Cukup terapkan pada diri sendiri – bahwa kita tidak akan membeli handphone seharga 20.000.000. 

Tapi, ketika ada orang lain yang membeli handphone seharga 20.000.000, kita tidak berhak memberi cap orang itu sebagai pemboros, karena kita tidak tahu keadaan orang itu. Mungkin saja orang itu punya kemampuan ekonomi di atas kemampuan ekonomi kita, sehingga membeli handphone seharga 20.000.000 bukan masalah baginya.

Kalau kita menyadari sepenuhnya, seberapa kemampuan kita, lalu kita hidup sesuai kemampuan kita itu, maka tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah kalau kita silau melihat gaya hidup orang lain, lalu kita merasa harus meniru gaya hidup itu.

Manusia biasanya mudah silau melihat hal-hal yang bersifat material, hal-hal yang tampak oleh mata, hal-hal yang sebenarnya hanya casing atau tampilan luar. Apabila tidak punya kontrol diri, maka manusia akan menghalalkan segala cara agar dapat terlihat se-waw-itu.

Dan, penyakit silau ini sering kali tidak memandang tingkat pendidikan. Jadi, banyak orang yang berpendidikan tinggi tapi masih kesulitan memisahkan mana kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.

Dorongan untuk tampil gemebyar juga kadang bermula dari pergaulan. 

Misalnya, seseorang bernama A yang tergabung dalam sebuah genk, di mana semua teman-teman segenk-nya adalah anak orang berada. Semua teman-teman segenk-nya itu, kalau istilan zaman sekarang, “bening-bening” dan “glowing-glowing”. 

Kemudian, si A merasa harus seperti teman-temannya. Si A merasa malu kalau tidak seperti teman-teman segenk-nya. Maka, yang terjadi adalah energi si A hanya habis untuk menyejajari kebeningan dan keglowingan teman-temannya. Padahal, sebenarnya ada banyak hal lain yang lebih penting untuk si A lakukan.

Jadi, sebaiknya apa yang harus kita lakukan, jika mendadak kita silau dengan orang lain?

Silau bisa menyerang siapa saja, kapan saja, di mana saja tanpa pandang bulu. Silau bagaikan pisau bermata dua. Dan, sebenarnya ruang lingkup silau itu luas. Tidak terbatas pada hal-hal material. Tapi, memang lebih sering pada hal-hal material. 

Jika kita silau pada hal-hal yang penting atau pada sesuatu yang positif dan kadarnya pas, maka kesilauan itu bisa memotivasi kita untuk semakin memperbaiki diri. 

Namun, jika kita silau pada hal-hal yang dangkal dan kadarnya berlebihan, maka kesilauan itu bisa membuat kita tidak bersyukur, selalu merasa kurang, minder, atau dalam istilah sekarang disebut insecure.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya