Takut Tampil Beda
Umumnya, kita tidak berani jika harus berbeda dengan orang kebanyakan.
Kita cenderung mencari pasukan atau rombongan, lalu mengekor di belakangnya. Kita menganggap bahwa golongan mayoritas itu pasti benar, sementara sisanya salah.
Padahal, tidak menutup kemungkinan, justru sebaliknya.
Lewat pengalaman remeh
memilih sepeda itulah, saya bertekad tidak mau mengulanginya untuk hal lain
yang lebih besar. Akhirnya, saya memutuskan jadi diri sendiri dalam hal:
Memilih SMA
Waktu saya lulus SMP, saya dihadapkan pada 2 pilihan. Pertama, pilih daftar SMA di kabupaten tempat saya tinggal. Kedua, pilih daftar SMA di luar kabupaten tempat saya tinggal.
Ketika itu, belum ada sistem zonasi, jadi masih bisa bebas memilih. Saya memilih mendaftar SMA di luar kabupaten tempat saya tinggal (sebut saja SMA X). Bukannya apa-apa, tapi sejak lama saya memang ingin sekolah di sana.
Lagi pula, rumah saya terletak di perbatasan. Jarak rumah saya ke SMA X lebih dekat dibandingkan jarak rumah saya ke SMA-SMA lain di kabupaten tempat saya tinggal.
Di SMA X, kuota bagi
pendaftar luar daerah hanya dibatasi 20%. Orangtua sempat ragu, apakah akan
diterima. Tapi, berbekal keyakinan dan searching berapa nilai minimal anak-anak
luar daerah yang bisa diterima di SMA X itu pada tahun-tahun sebelumnya, saya
mantap hanya mendaftar di SMA X tersebut. Dan, saya benar-benar diterima.
Mendaftar Perguruan
Tinggi
Waktu saya lulus SMA, saya sengaja mendaftar di perguruan tinggi secara step by step. Saya hanya mendaftar SNMPTN, SBMPTN, dan Ujian Mandiri di satu PTN. Rencananya, kalau memang melalui 3 jalur itu semuanya gagal, barulah saya mendaftar Ujian Mandiri di PTN lain atau PTS.
Beberapa teman saya ada yang panik sehingga dia
mendaftar nyaris di semua kampus. Tapi, saya sudah memutuskan, bahwa saya mau daftar
satu per satu saja. Saya mau menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Dan, akhirnya
saya diterima lewat jalur Ujian Mandiri di PTN yang saya incar itu.
Memilih Tema Skripsi
Ketika memasuki
semester 7, saya dihadapkan pada pemilihan tema skripsi. Saya sempat bimbang
terkait tema seperti apa yang harus saya pilih. Di antara sekian banyak tema,
pasti ada tema yang dianggap bergengsi dan tema yang dianggap kurang
spektakuler. Selain itu, pasti ada dosen pembimbing yang diidolakan dan dosen
pembimbing yang ditakuti oleh banyak mahasiswa.
Tapi, kemudian saya
menyadari 1 hal. Bahwa, skripsi itu adalah tugas mandiri. Artinya, yang akan
bergelut dengan skripsi, mencari literatur ke sana kemari, membuat pembahasan,
hingga menarik kesimpulan adalah diri saya sendiri. Jadi, lebih baik saya
menambil tema skripsi yang memang sesuai dengan minat dan kemampuan saya.
Setelah menimbang ini dan itu, saya pun memilih satu tema skripsi. Tema tersebut kurang populer dan tampak tidak istimewa. Bahkan, di angkatan saya, hanya saya seorang yang mengambil tema tersebut.
Dan, saya mendapatkan seorang dosen pembimbing yang
tampak tidak terlalu istimewa. Tapi, sungguh, yang terjadi di luar dugaan.
Dosen tersebut sangat mempermudah jalan saya dalam pengerjaan skripsi. Pada
akhirnya, skripsi saya selesai tepat waktu walau pun dengan tema dan dosen
pembimbing yang biasa-biasa saja.
***
Di antara berbagai keputusan saya untuk berani beda itu, ada 1 benang merahnya. Bahwa, saya tidak ngawur dalam melakukan itu. saya memperhitungkan kapasitas diri. Saya tahu mana yang sebaiknya saya lakukan, mana yang tidak. Saya mengerti, hal apa yang bagus diterapkan di orang lain, tapi tidak bagus diterapkan pada diri saya.
Komentar
Posting Komentar