Postingan

Menampilkan postingan dengan label Observasi

Orientasi Keluarga

Saya percaya bahwa setiap keluarga punya orientasi masing-masing. Kalau di jurusan kuliah saya, orientasi artinya penunjuk arah utara dalam peta. Tapi, orientasi yang saya maksud di sini adalah kecenderungan untuk mengutamakan sesuatu hal. Atau, dengan kata lain, bisa juga disebut sebagai prioritas. Pasti ada yang melatarbelakangi, mengapa suatu keluarga cenderung memprioritaskan satu hal dibanding hal lain. Dulu, saya kira ini semata-mata karena tingkat ekonomi. Namun, seiring berjalannya waktu, saya mengamati, bahwa orientasi keluarga tidak selalu dipengaruhi oleh tingkat ekonomi. Ada hal-hal kompleks yang mempengaruhi jenis orientasi dalam suatu keluarga. Hal-hal tersebut bisa berupa tipe kepribadian, tradisi dalam keluarga, hingga jumlah anggota keluarga. Tapi, saya tidak akan menjelaskan yang kompleks-kompleks itu. Di sini, saya hanya menulis jenis-jenis orientasi keluarga berdasarkan observasi kecil-kecilan yang saya lakukan. Tentu, ini tidak ilmiah. Jadi, hanya untuk seru-seru

Diet

Kalau mendengar kata “diet”, apa yang terlintas di benak kita? Mayoritas akan membayangkan diet adalah upaya mengurangi porsi makan untuk menurunkan berat badan. Tidak makan nasi, tidak makan gorengan, dan tidak minum manis. Itu yang membekas di kepala kita. Padahal, sebenarnya diet adalah upaya mengatur pola makan. Jadi, tidak selalu ditujukan untuk menurunkan berat badan. Seseorang yang ingin menaikkan berat badan lalu menambah porsi makannya juga tergolong diet. *** Oh, iya. Diet yang akan saya tulis di sini hanyalah diet dalam perspektif ibu saya. Ibu saya bukan dokter atau ahli gizi. Jadi, tulisan di bawah ini tidak berisi teori-teori diet ideal menurut kesehatan, tetapi lebih ke aspek filosofisnya. Tidak ada maksud menyinggung, menghina, menyalahkan, atau menyudutkan siapa pun dalam tulisan ini. Tulisan berikut lebih membahas diet untuk menghasilkan berat badan yang wajar. Ibu saya sudah berumur 60 tahun namun berat badannya masih tergolong stabil. Beliau punya pengalaman d

Di Balik Lantai yang Kinclong Terdapat…

Dulu, saya tidak tahu apa bedanya lantai yang sudah disapu dengan yang belum. Menurut saya sama saja—sama-sama lantai keramik, sama-sama warnanya putih. Ya, kalau pun kotor, paling-paling cuma ada beberapa butir debu. Ketika disuruh ibu nyapu, dan saya belum melakukannya, ibu tahu—dan akan terus-terusan menagih saya untuk nyapu. Saya pun membatin. Wah, jam terbang ibu yang tinggi ini canggih juga, ya, sudah benar-benar pro, bisa loh membedakan mana lantai yang sudah disapu dan mana yang belum. Maka, saya pun menyapu, walau setelah itu, lagi-lagi, tak tahu apa perbedaannya dengan ketika belum disapu. Jadi, saya tak paham, apakah saya sudah menyapu dengan bersih, baik dan benar. Biasanya, setelah melihat saya benar-benar sudah menyapu, ibu akan diam. Mungkin, yang penting, saya sudah nyapu. Urusan bersih atau belum, itu bisa dilatih nanti. Dan, sejak lulus kuliah dan masih jadi pengangguran, saya berusaha mencintai dunia sapu-menyapu. Jika dulu saya menyapu hanya untuk menggugur

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…

Jika ditanya, siapa orang beruntung di dunia, maka Ibu saya adalah jawabannya. Jawaban ini didasarkan pada hasil pengamatan kecil-kecilan yang saya lakukan. Tentu, parameternya saya buat dan tetapkan sendiri. Jadi, mungkin akan valid bagi saya, tapi tidak bagi orang lain. Ibu saya adalah produk tahun 1960. Berbeda jauh dengan saya yang kelahiran 1998. Selisih umur mendatangkan perbedaan signifikan di antara kami, dari segi pola pikir, kebiasaan, dan kesulitan. Akhir-akhir ini, perbedaan-perbedaan tersebut menggelitik saya. Saya tertarik untuk mengulik, lalu membandingkannya. Dan, berdasarkan kesimpulan saya, ternyata Ibu punya sederet kemudahan yang tidak saya miliki. Sederet kemudahan yang mungkin menurut ibu biasa saja, tapi menurut saya itu suatu kemewahan. Oke, langsung saja saya jabarkan. Ibu saya beruntung dalam hal: Tidak Pernah Merasa Salah Jurusan Ibu saya mengenyam pendidikan di SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Alasannya, bukan karena sudah punya passion ingin jadi gur

Pentingnya Bagi Tugas

Dulu, saya berpikir bahwa pembagian tugas hanya perlu diterapkan di bangku sekolah dan kuliah.  Waktu sekolah, kita punya jadwal piket. Kita wajib mengurus kebutuhan kelas seperti mengisi ulang tinta spidol, menghapus papan tulis yang penuh tulisan, dan menyapu.  Sementara saat kuliah, kita akrab dengan tugas kelompok. Selalu ada pembagian tugas – si A mencari bagian ini dan si B mengumpulkan materi bagian itu. Semua itu bertujuan memudahkan, meringankan, dan menyeimbangkan beban setiap anggota. Baru setelah sarjana, saya menyadari 1 hal. Bahwa, pembagian tugas juga penting diterapkan di keluarga. Walau pun keluarga itu kesannya santai dan tidak ilmiah, tapi tanggung jawabnya tidak kalah berat dibandingkan piket anak sekolah dan tugas presentasi kelompok anak kuliah.  Bahkan, ibu saya pernah berkata, “Urusan rumah tangga itu ketatnya melebihi urusan dinas.” Ibu saya lalu menambahkan, “Contohnya, si orang tua lagi dikejar deadline pekerjaan. Kebetulan anaknya sakit. Ya, entah bagaima

Ikhlas

Dulu, ketika mendengar kata “ikhlas”, maka yang terbayang di benak saya adalah ikhlas ketika kehilangan barang kesayangan, diperlakukan tidak baik, dan ditinggalkan orang tercinta. Sekarang, saya menyadari 1 hal. Bahwa, ruang lingkup ikhlas tidak sesempit itu. Ikhlas, dalam pengamatan saya, ternyata juga berkaitan dengan pendidikan tinggi. Dunia pendidikan tinggi (kuliah), tidak pernah menjanjikan apa-apa.  Kuliah hanya mengajarkan kita tata cara belajar, mengulur akal, sehingga harapannya kita bisa punya bekal lebih untuk bertahan hidup. Dan, sungguh, kuliah tidak menjamin bahwa setelah lulus kita pasti akan punya penghidupan lebih baik, lebih mudah, dan lebih mulus. Dengan kuliah, harapannya adalah wawasan kita meningkat, sehingga kesempatan kita ikut bertambah luas. Namun, ternyata tidak jarang, jarak pandang kita justru menyempit ketika lulus kuliah. Misalnya, kita mengambil jurusan X. Dan, pengetahuan kita menjadi hanya berkutat terbatas di bidang jurusan X tersebut. Tentu ini b

Silau

Sejak di bangku Sekolah Dasar, kita sudah diajarkan perihal jenis-jenis kebutuhan. Ketika itu, kita sangat lancar menyebutkan definisi dan apa saja yang termasuk kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.  Tapi, kenapa setelah tumbuh dewasa kita kesulitan mempraktikkannya? Kita seolah sulit membedakannya? Seolah antara ketiga jenis kebutuhan itu tidak ada batas yang gamblang? Saat kelas 4 SD misalnya, kita bisa dengan lantang menyebutkan bahwa kebutuhan primer manusia adalah sandang, papan, dan pangan. Tapi, seiring bertambahnya usia, kenapa “itu” seolah hanya menjadi teori? Kalau membahas ini, sebaiknya kita menilai diri kita sendiri.  Kita tidak bisa menganggap semua orang punya prioritas dan kemampuan yang sama persis dengan kita.  Maksudnya begini. Misal, kita menganggap bahwa membeli handphone seharga 20.000.000 adalah pemborosan. Ya sudah. Cukup terapkan pada diri sendiri – bahwa kita tidak akan membeli handphone seharga 20.000.000.  Tapi, ketika ada orang lain yang membeli han

Gen Tidak Pernah Bohong

Bagiku, omongan orang tentang kemiripan itu sangat jujur dan spontan. Tak ada orang yang rela membohongi kata hatinya. Orang-orang hanya mengatakan apa yang mereka lihat. Sewaktu masih kecil dulu, orang-orang sering berkata bahwa aku mirip ayah.  Ketika itu, aku tak terima mendengar komentar tersebut.  Aku tidak percaya bahwa memang sungguh-sungguh ada fenomena anak mirip orang tuanya. Ketidakpercayaanku itu disebabkan karena ketidakpahamanku. Otakku masih belum sampai.  Aku membatin, “Bagaimana mungkin, aku yang berjenis kelamin perempuan mirip dengan ayahku yang berjenis kelamin laki-laki?” Berdasarkan pengamatanku, anak kecil perempuan cenderung tidak suka dimirip-miripkan ayahnya. Fakta ini kuperoleh saat ada saudara sepupuku berjenis kelamin perempuan yang marah setiap orang-orang mengatakan bahwa dia mirip ayahnya. Dia ingin dibilang mirip ibunya. Lambat laun ketika menginjak bangku SMA, aku menyandingkan fotoku ketika masih bayi umur 6 bulan dengan foto ayah. Ternyata, bukan lag

Tentang Bakat

Bakat menggambar? Waktu SD, saya merasa berbakat menggambar. Saya ikut les di sebuah sanggar lukis. Gambar saya dianggap paling bagus satu sekolah. Akhirnya, saya diikutkan lomba. Singkat cerita, saya meraih juara satu di tingkat kecamatan. Dan, masuk 8 besar di tingkat kabupaten. Saya bangga dengan pencapaian itu. Tetapi, rasa bangga itu terkikis sedikit demi sedikit.  Kenapa?  Karena di SMP, beberapa murid punya gambar yang jauh lebih bagus dan kreatif dibandingkan gambar saya. Padahal, saya tau persis, mereka gak pernah ikut les menggambar.  Dari situ saya berpikir kalau sebenarnya saya gak berbakat menggambar. Selama SD, saya hanya punya akses. Punya akses untuk ikut les, ikut lomba, dan diajari oleh guru yang memang tau teori-teori menggambar. Gambar saya cuma menang di warnanya yang bergradasi, sementara kreativitasnya gak ada sama sekali.  Anak-anak lain yang berbakat menggambar, ketika ikut lomba dan diberi tema khusus, misalnya tema Dunia Tumbuhan, mereka punya ide yang