Bapaknya Guru Matematika, Tapi Anaknya Tidak Pintar Matematika?
Kok bisa, bapaknya guru matematika, tapi anaknya, nilai matematikanya
jelek?
Bukankah seharusnya, karena mereka serumah, itu lebih
gampang ya, untuk si bapak ngajari anaknya matematika?
Bukankah, karena mereka adalah anak dan bapak,
seharusnya, si anak bisa bebas, mau tanya tentang pelajaran matematika ke si
bapak, kapan pun, sepuasnya?
Itu yang ada di benak orang-orang, yang heran, kenapa
bapaknya guru matematika, tapi anaknya tidak pintar matematika.
Kenyataannya, adanya ikatan darah di antara mereka berdua—dalam
hal ini adalah bapak dan anak—tidak selalu mempermudah proses belajar
matematika di rumah.
Adanya ikatan darah di antara mereka berdua, justru, kadang,
membuat proses belajar menjadi kurang plong.
Ketika si bapak berniat mengajari anaknya mata pelajaran
matematika di rumah, yang ada di benak si anak adalah:
Tidak percaya kalau orang yang ada di hadapannya a.k.a bapaknya
itu betulan guru matematika. Si anak pun kurang antusias dan kurang memiliki
rasa “takut”.
Selain itu, si bapak juga lebih merasa bahwa yang sedang dia
ajari itu adalah anaknya a.k.a darah dagingnya, bukan muridnya. Si bapak pun
kurang memiliki rasa “tega”.
Pun, ketika si anak minta diajari matematika ke si bapak,
yang terjadi adalah:
Si bapak berkali-kali menjelaskan materi pelajaran, tapi si
anak belum paham-paham juga, kemudian si bapak mulai agak-agak emosi, lalu si
bapak khilaf—mengeluarkan kata-kata kasar dengan nada yang keras dan nyelekit.
Si anak pun nangis. Atau, si anak dan si bapak ribut.
Akhirnya, si bapak pun menyerah.
Dalam hati si bapak, “Eee… terserah kamu, Nak. Kamu mau mudeng,
terserah. Tidak mudeng, juga terserah. Sak karepmu!”
Dan semenjak kejadian itu, di rumah, si anak dan si bapak tidak lagi membahas matematika.
Komentar
Posting Komentar