Ternyata, Datang Ke Kondangan Sendirian itu Tidak Apa-apa

Menurut penjelasan Dokter Aisah Dahlan, secara umum ada dua tipe manusia. Pertama, adalah manusia yang berorientasi tugas (task oriented), yang cirinya, lebih mengutamakan target-target dan tugas-tugas atau agenda-agenda yang harus dicapai. Kedua, adalah manusia yang berorientasi hubungan (relationship oriented), yang cirinya, lebih mengutamakan hubungan sosialisasinya dengan orang lain.

Manusia yang berorientasi tugas, seringkali terlihat kurang luwes, terlalu saklek, dan terlalu fokus pada target.

Sementara manusia yang berorientasi hubungan, seringkali mereka lebih fokus pada bagaimana caranya agar mereka bisa diterima di lingkungan pergaulan. Mereka pandai menjalin relasi dengan orang lain. Tapi kelemahannya, mereka sulit untuk mengatakan tidak, karena itu tadi, mereka takut kalau sampai tidak punya teman.

Tentu saja setiap diri manusia tidak 100% murni task oriented atau pun relationship oriented. Tapi, ada yang lebih dominan.

Nah, lalu, kalau aku sendiri, tipe yang manakah?

Aku sepertinya tipe yang berorientasi tugas (task oriented).

Setiap akan melakukan sesuatu, aku lebih fokus di target, dan bagaimana cara efektif dan efisien untuk mencapai target itu.

Namun, salah satu kelemahanku adalah, aku sulit percaya pada orang lain. Akibatnya, aku cenderung untuk ingin melakukan segala sesuatu sendiri—kalau memang segala sesuatu itu bisa lebih maksimal aku kerjakan atau lakukan sendiri.

Sudah beberapa kali aku mengalami, tugas atau agenda atau kegiatan, malah lebih beres kalau aku kerjakan sendiri, dibandingkan dengan kalau aku bersama-sama dengan orang lain untuk mengerjakannya.

Jadi, ya, aku suka melakukan apa-apa sendirian. Karena menurutku, hasilnya akan lebih maksimal.

Aku sering sendirian.

Bukan hanya karena sesuatu yang aku kerjakan atau lakukan sendirian itu lebih maksimal, efektif, dan efisien.

Tetapi juga karena aku memang suka saja.

Aku suka menyendiri. Aku sendirian atau menyendiri karena memang sedang ingin. Dan, bagiku itu tidak masalah.

Tapi tidak bagi orang-orang lain yang melihatku sedang sendirian. Bagi mereka, mungkin, sendirian adalah masalah.

Saat KKN zaman kuliah dulu misalnya. Suatu siang, aku makan di warung bakso sendirian. Selain karena teman-teman sekelompokku sedang tidur, aku juga memang lagi ingin sendirian. Dan, kesendirianku, ternyata mengusik perhatian si penjual bakso.

“Kok sendirian saja, Mbak?”

Begitulah tanya si penjual bakso, dengan wajah heran.

Atau, kejadian lain, saat kuliah juga, tapi bukan saat KKN. Kadang, saat jam istirahat, aku suka sendirian, entah itu di perpustakaan, di mushola, atau di ruang kelas yang lagi kosong. Dan, teman-temanku yang bergerombol, akan bertanya dengan ekspresi kasihan, “Kok kamu sendirian?”

Padahal, sebetulnya, aku yang sedang sendirian tidak perlu dikasihani. Aku sendirian karena memang sedang ingin. Aku melakukannya (baca: sendirian), atas inisiatif dan kesadaranku sendiri.

Sendirian, memang terlihat aneh di mata manusia pada umumnya.

Kemudian aku sadar.

Bahwa, aku tidak boleh “egois”.

Aku tidak boleh—hanya karena atas nama efektivitas dan efisiensi yang ingin aku capai—aku lantas melakukan atau mengerjakan semua hal sendirian.

Aku juga tidak boleh—hanya karena atas nama kenyamanan dan keinginan—aku lantas ke mana-mana sendirian.

Bagaimana pun juga, aku tidak boleh selalu sendirian. Ada kalanya, aku juga harus bersama-sama dengan orang lain. Aku harus menjadi manusia “normal”.

Dan, sampai kemudian aku tahu, kalau ada satu hal yang semi tabu kalau aku lakukan sendirian, yakni datang ke resepsi pernikahan.

Ya, datang ke acara resepsi pernikahan sendirian adalah hal yang terkesan aneh. Sebisa mungkin, itu tidak dilakukan. Sebisa mungkin, kalau kita mau datang ke acara resepsi pernikahan, itu ya mengajak orang lain. Entah itu pasangan, teman, atau saudara.

Maka, ketika di suatu malam, aku mendapatkan undangan dari salah seorang teman SMP yang akan melangsungkan pernikahan, aku langsung mikir, “Aku harus cari barengan. Sebisa mungkin, jangan sampai aku datang sendirian.”

Dan beruntunglah aku, karena tidak berselang lama, teman sebangkuku saat SMP, mengajakku berangkat bareng.

Tapi, sayangnya, teman sebangkuku itu tidak bisa datang di hari-H. Karena di hari-H, kebetulan bersamaan dengan resepsi pernikahan saudara sepupunya.

Teman sebangkuku itu lantas memberi ide, bagaimana kalau aku dan dia bareng-bareng datang ke rumah si teman SMP yang akan menikah itu, pada H-1.

Sebetulnya, aku sudah meragukan hal ini. Karena, pikirku, ya kalau H-1 di rumahnya mengadakan acara. Kalau tidak bagaimana? Kalau sampai, pada H-1 tidak mengadakan acara di rumahnya, sementara aku dan teman sebangkuku datang ke rumahnya, bukankah kami berdua bakalan kikuk dan malu sendiri?

Tapi, teman sebangkuku berpendapat, bahwa besar kemungkinan H-1 di rumahnya ada acara, kok. “Kan biasanya, orang-orang yang nikahan itu, H-1 di rumahnya ada acara dan ada banyak tamu yang datang.” Begitu katanya.

Teman sebangkuku lalu menambahkan, “Ya kalau kamu tidak mau kita ke rumahnya di H-1, ya sudah, aku titip kado saja, ya. Soalnya kan, di hari-H nya aku tidak bisa datang. Ada sepupuku yang juga nikah.”

Aku pun dilema.

Aku bingung, pilihan manakah yang harus aku ambil.

Bersama dengan teman sebangku datang ke rumah si calon pengantin di H-1.

Atau, aku datang di hari-H, sesuai yang tertulis di undangan, tapi risikonya, aku harus berangkat sendiri?

Setelah berpikir sekian lama, akhirnya aku putuskan untuk berangkat di H-1 saja bersama teman sebangku. “Yang penting ada barengannya,” begitu pertimbanganku.

Maka, di H-1, aku dan teman sebangku berangkat bareng ke rumah si calon pengantin.

Nah, inilah salahku. Aku mengira, kalau teman sebangkuku itu sudah tahu dengan pasti, di manakah rumah si calon pengantin. Itulah kenapa, aku yakin dan mantap.

Tapi, dugaanku zonk. Ternyata, teman sebangkuku belum tahu pasti di mana rumah si calon pengantin. Teman sebangkuku hanya tahu ancer-ancernya. Kami berdua pun harus mencari alamat ke sana kemari, bertanya sampai sebanyak dua kali pada penduduk sekitar.

Dan, setelah ketemu rumahnya, apa yang terjadi?

Ternyata rumahnya sepi, dong. Tidak ada acara atau tamu satu pun di situ.

Aku dan teman sebangkuku pun baru kepikiran untuk nge-chat si calon pengantin, “Kamu lagi ada di rumah, tidak?”

Si calon pengantin membalas, “Tidak. Di rumah sekarang tidak ada acara dan tidak menerima tamu. Kalau kamu mau datang, datang besok saja pas hari-H.”

Hahaha. Setelah aku bela-belain, datang di H-1, hanya supaya aku aku ada barengannya, ternyata hasilnya seperti itu?

Sebel, sih. Tapi ya bagaimana lagi. Salahku juga, tidak dari awal menanyakan, di rumahnya pada H-1 mengadakan acara dan menerima tamu atau tidak.

Kecele, deh.

Siang itu, berakhir dengan, aku dan teman sebangku makan di warung bakso.

Sambil makan bakso, aku bilang bahwa, besok di hari-H, aku akan berangkat ke acara resepsinya sendirian saja.

Lalu, teman sebangkuku menitipkan kado kepadaku, untuk aku serahkan di hari-H.

Dan, tibalah hari-H itu.

Itu adalah hari yang bersejarah. Karena, di hari itulah, pengalaman pertamaku, datang ke acara resepsi pernikahan sendirian.

Kenapa aku sendirian banget?

Ya bagaimana lagi.

Aku masih single, belum punya pasangan yang bisa diajak.

Kebetulan juga, saat itu, tidak ada salah seorang anggota keluargaku yang bisa aku ajak.

Dan kebetulan, aku sudah lost contact dengan mayoritas teman SMP. Aku hanya masih berkomunikasi akrab dengan teman sebangku yang sayangnya tidak bisa datang itu.

Dan lagi, jarak tempuh dari rumahku ke lokasi resepsinya itu sangat dekat, hanya kurang lebih 1 km.

Jadi, berangkat ke acara resepsi pernikahan sendirian adalah langkah yang paling praktis menurutku.

Maka, di hari-H itu, aku berangkat sendirian.

Lalu, apa yang terjadi?

Tidak terjadi apa-apa, ternyata.

Tidak ada yang nge-judge.

Tidak ada yang menatapku aneh karena berangkat sendirian.

Tidak ada yang menanyaiku, “Kok sendirian saja, Mbak?”

Terlebih, karena masih covid, di acara tersebut semua orang wajib menjaga jarak dan mengenakan masker. Jadi, aku tidak perlu bingung harus bersikap bagaimana atau harus memasang mimik wajah seperti apa.

Orang-orang di acara tersebut juga mungkin tidak ngeh, kalau aku datang sendirian.

Dan, tugasku untuk menyerahkan titipan kado dari teman sebangku, beres juga.

Sepulangnya aku dari acara tersebut, aku membatin, “Kenapa sih, kok lagi-lagi, kegiatan yang aku lakukan sendiri malah lancar dan beres. Sementara itu, kalau aku bersama-sama dengan orang lain, malah tidak beres.”

Aku kan sudah berusaha agar terlihat “normal”, dengan cara memilih untuk berangkat bareng teman sebangku di H-1, agar aku tidak sendirian. Tapi ternyata, itu malah tidak beres.

Dan lagi-lagi, ketika aku berangkat sendiri, di hari-H, malah beres.

Jadi, setelah merasakannya langsung untuk pertama kalinya. Aku bisa bilang, kalau sebetulnya datang ke acara resepsi pernikahan atau ke kondangan sendirian itu tidak apa-apa.

Ya kalau bisa sih, ada barengannya. Kalau bisa.

Kalau tidak bisa, ya sendirian juga tidak apa-apa.

Komentar

  1. Aku pun begitu mbak, lebih nyaman melakukan apa2 sendiri. Karena kalau melibatkan orang lain kadang ada gak cocoknya yg malah bikin mood jelek. Tapi memang gak melulu seperti itu, berinteraksi dengan orang lain juga perlu, intinya jangan dipaksakan aja sesuatu yang tidak nyaman. Ya kan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyes mbak. Gak bisa kalo terus2 an mau sendiri, karena ada hal2 yg gak bisa kita lakukan sendiri, ada hal2 yg butuh orang lain πŸ˜„
      Yaa, fleksibel aja 😁

      Hapus
  2. Melihat judulnya, ternyata datang kondangan sendirian itu tidak apa-apa, aku jadi mikir. Selama ini aku lebih sering ke kondangan sendirian, lalu masalahnya dimana ya?πŸ€”

    Kalo ke kondangan itu yang penting amplop nya, bukan sendirian atau rame-rame.πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

    Tapi kalo ada yang ngajak ke kondangan ya aku iyakan saja, siapa tahu habis dari kondangan mampir ke tukang bakso dan di traktir.🀣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah sebenernya emang gak ada masalah sih mas agus 🀣
      Aku nya aja yg kebanyakan mikir πŸ˜†
      Dan ribet dengan pikiran itu πŸ˜‚

      Hapus
  3. Kalau cowok mungkin bisa cuek datang sendirian ya, kalau cewek di Indonesia suka jadi gunjingan. memang. Namun makin kesini orang makin tidak usil. Tapi ya kuncinya abaikan saja dan tetap fokus pada target...meja makan #eh.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…